|
Kita sebagai manusia, memang tidak bisa hidup sendiri. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan membawa diri kita memiliki hidup yang lebih baik, kita perlu hidup bersama dengan orang lain, entah kita berada di dunia kerja, dunia pendidikan, atau dunia komersial. Dalam kehidupan sosial apapun itu, kita sebagai manusia berusaha untuk menghidupkan dan dihidupkan oleh manusia lain. Manusia hidup untuk saling menghidupkan sesamanya, begitulah pada prinsipnya kehidupan semestinya berjalan. Untuk menjaga keseimbangan hubungan antar manusia, setiap dari kita hendaknya menyadari bahwa apa yang kita berikan kepada manusia lain, entah dalam bentuk pelayanan, perilaku, dan perkataan, memberikan dampak kepada mereka. Apa yang kita berikan kepada manusia lain, akan diberi balasan yang seharusnya kepada kita, sebagaimana hukum karma. Sayangnya, kita cenderung apatis atau lupa akan hukum karma yang berlaku dalam kehidupan sosial ini. Kita terlambat datang menghadiri sebuah pertemuan penting dengan klien, kita mencari alasan atau pembanaran kepada atasan karena pekerjaan kita tidak selesai sesuai dengan target dan jadwal, kita enggan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada kustomer karena sudah merasa cukup dengan apa yang bisa kita berikan sebagai pekerja saat ini, kita enggan mengembalikan hutang kepada teman sendiri, kita enggan berusaha memenuhi janji, kita selalu mencari kesalahan orang lain untuk mencuci tangan kita sendiri, kita berusaha menampilkan diri menjadi sosok yang diidolai meski itu bukan karakter asli kita, kita membeli sesuatu yang melampaui batas kemampuan finansial kita, kita enggan menggantikan kembali sesuatu yang telah kita rusak dari teman dan relasi kita, dan tentu saja masih ada beberapa contoh lain tentang kurangnya rasa bertanggung jawab terhadap apa yang kita lakukan dan dampaknya terhadap orang lain. Alkisah, di sebuah kantor yang sedang diisi oleh kegiatan rapat, seorang pegawai humas meminjam beberapa buah name plate dari pegawai pergudangan. Di kantor tersebut, ada peraturan bahwa ketika sebuah unit kerja meminjam peralatan dan perlengkapan dari unit lain harus menyertakan surat peminjaman inventaris kantor sebagai dasar peminjaman perlengkapan tersebut. Kemudian, dengan alasan dikejar oleh waktu sang pegawai humas hanya melakukan komunikasi lisan untuk meminjam barang dari unit pergudangan, dengan bahasa perintah yang mengatasnamakan kepentingan pimpinan perusahaan. Pegawai pergudangan yang diperintah tidak memiliki pilihan selain mengiyakan permintaan pegawai humas dan memberikan sejumlah name plate yang diminta. Sayangnya, setelah kegiatan rapat tersebut selesai, pegawai humas lalai menjaga keberadaan name plate sehingga barang inventaris pergudangan tersebut hilang entah dibawa oleh siapa, sehingga ketika pegawai pergudangan menagih pengembalian satu paket name plate tersebut, pegawai humas hanya bisa mengatakan permohonan maaf atas kehilangan barang tersebut karena diambil orang tidak dikenal yang tidak bertanggung jawab. Dalam kasus ini, memang orang tidak dikenal – lah yang bersalah karena menjadi penyebab atas hilangnya barang tersebut, namun jika kita berpikir lebih rinci lagi tentu siapapun paham bahwa pegawai humas juga menjadi pihak yang bertanggung jawab atas hilangnya name plate itu, karena membiarkan name plate setelah kegiatan selesai begitu saja hingga memberikan kesempatan pada orang asing untuk mencurinya. Tapi kelalaian pegawai humas tersebut tidak diakui dalam penjelasan itu. Kejadian ini seakan sudah menjadi hal yang biasa terjadi, sehingga ada banyak di antara kita yang tidak lagi mempermasalahkan rasa tanggung jawab terhadap sesuatu yang orang lain titipkan pada kita. Menghilangkan menjadi sebuah kehilangan, itulah yang terjadi dalam kasus di atas. Padahal, menghilangkan dan kehilangan adalah dua kata yang artinya sama sekali berbeda. Ada perbedaan mendasar pada dua kata kerja di atas. Kehilangan berarti barang menjadi tidak ada bukan karena diambil oleh seseorang semata, sedangkan menghilangkan berarti barang menjadi tidak ada karena ada seseorang yang mencurinya. Mengatakan bahwa barang hilang tanpa mengakui bahwa barang tersebut hilang karena lalai menjaganya adalah bentuk pengingkaran tanggung jawab tersebut. Bagi kita yang sudah terbiasa mengabaikan hilangnya barang kecil dan menjadikan kasus tersebut sebagai masalah sepele yang tidak perlu diselesaikan. Dan, di luar sana, tentu saja ada begitu banyak ungkapan yang menunjukkan bahwa tanpa sadar kita menganggap atau berharap bahwa terjadinya suatu hal yang tidak diharapkan bukan karena perbuatan kita. Pemilihan kata sebagai bentuk respon terjadinya suatu kasus sesungguhnya mewakili pola pikir dan cerminan karakter asli kita sendiri. Tidak mudah menjadi seseorang yang bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan dalam keseharian hidup yang dipenuhi oleh orang – orang di sekitar kita yang mungkin saja sudah apatis terhadap pentingnya rasa tanggung jawab. Di satu sisi, kita dituntut untuk berusaha, memberi, melayani, dan mengayomi orang lain dengan rasa tanggung jawab dengan sungguh – sungguh, sementara di tempat dan waktu yang sama atau berbeda, orang yang sudah kita layani dan kita beri dengan rasa tanggung jawab, tidak memberikan balasan berupa sikap melayani dan memberi yang baik pula. Disini, pepatah air susu dibalas dengan air selokan menjadi sebuah realita yang harus kita alami, dan bisa menimbulkan keengganan untuk menjaga sikap bertanggung jawab kepada orang lain di masa depan. Kita jangan sampai berbalik menjadi sama dengan mereka yang tidak peduli akan rasa tanggung jawab, karena itu bukan jalan keluarnya. Tetap bersikap bertanggung jawab atas apa yang kita berikan kepada mereka, baik dalam bentuk perbuatan maupun perkataan, tanpa mengharap diberi balasan yang lebih baik, bukankah merupakan cerminan bahwa kita lebih mulia dari mereka, bahwa tangan yang berada di atas tangan yang ada di bawah itu lebih baik? 行動はあなたが誰であるかを反映します。
0 Comments
Leave a Reply. |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |