|
Ada suatu hari, di saat manusia mengimpikan sesuatu atau seseorang yang menjadi obsesi pribadinya, justru malah diberkahi kepada manusia lain, dan kemudian keadaan itu menjadi alasan baginya untuk menyimpan perasaan iri dan dengki pada seseorang yang mendapat mimpinya. Dalam kondisi seperti itu, rasa syukur terhadap apa yang sudah dimilikinya, sekalipun sesungguhnya ia memiliki lebih banyak hal berharga daripada siapapun, menjadi tidak ada lagi dalam dirinya. Dalam kasus yang lebih parah, manusia bisa meluapkan rasa dengki dan iri itu menjadi usaha untuk merebut apa yang ia impikan dari manusia lain. Sekuat apapun manusia bermimpi, ia tetaplah manusia yang hanya bisa berimajinasi, berencana dan berusaha, namun tidak bisa menentukan hasil akhir dari proses pencapaian impiannya. Tuhan tetap menjadi penentu berhak tidaknya seorang manusia memiliki mimpi itu, dan pada akhirnya manusia hanya bisa pasrah menerima apa yang Tuhan berikan padanya. Manusia mungkin sulit untuk memahami mengapa ia berada di suatu tempat yang tidak diharapkannya, menjabat sebuah profesi yang tidak sesuai dengan cita – citanya, berpasangan dengan seseorang yang tidak ia harapkan bersama dirinya, diberikan kepercayaan memegang titipan yang ia sendiri ragu untuk memegangnya, hidup dalam dimensi zaman yang tidak sesuai dengan harapannya, menyaksikan suatu hal yang tidak ingin ia lihat, mendengar apa yang tidak ingin ia dengar, dan melakukan sesuatu atas kepentingan pragmatis sekaligus membuang idealisme pribadinya. Manusia itu hidup bersama banyak paradoks, seakan – akan ia hidup untuk belajar menerima banyak hal yang tidak sesuai dengan apa yang ia inginkan. Keadaan seperti itu sungguh tidak menyenangkan, namun tanpa disadarinya itu membuat manusia menjadi lebih kuat dari hari ke hari, seiring dengan pendewasaan dirinya, meski banyak manusia tetap tidak berubah dari karakter aslinya. Apa yang manusia senangi, seringkali menjadi sesuatu yang belum tentu baik bagi dirinya, dan sebaliknya apa yang manusia benci, seringkali menjadi sesuatu yang menjadi baik bagi dirinya. Kalau benar demikian begitu apa adanya, apakah manusia hanya bisa menjalani hidup seperti air yang mengalir di sungai dan kemudian jatuh terbawa arus seperti air terjun ketika ia telah berada di penghujung hidupnya? Jika pertanyaan di atas dianggukkan setuju oleh semua manusia, manusia tidak akan menemukan arti hidupnya, maka ia menjadi tidak berbeda dengan sesuatu ciptaan Tuhan lainnya. Alangkah sayangnya jika manusia diciptakan untuk hidup seperti itu saja. Manusia itu, bagaimanapun garis hidupnya digoreskan Tuhan, tetaplah harus memiliki keinginan dan berusaha. Pasrah bukanlah kata yang selalu berarti benar bagi manusia ketika ia menjalani hidup, karena ada hal yang lebih berarti daripada hasil itu sendiri, yang disebut proses. Proses sebagai perjalanan seorang manusia untuk mencapai sesuatu yang harus dan ingin dia peroleh, seringkali tidak dipikirkan oleh banyak orang. Bagi manusia yang hidup di era teknologi dan kebebasan informasi, ketika segala sesuatu bisa diciptakan dan disampaikan dengan cara yang instan, proses menjadi seakan hilang dalam benak pemikiran kebanyakan orang. Secara berangsur – angsur, manusia jadi enggan untuk memikirkan proses bagaimana sesuatu yang mereka dapatkan itu berjalan, dan menjadi terbawa dalam kehidupan sehari – hari. Akibatnya, kini tidak sulit bagi siapapun untuk melihat begitu mudahnya manusia menyia – nyiakan sesuatu yang telah ia miliki, mengabaikan hal – hal esensial yang seharusnya ia perhatikan dalam pekerjaannya, dan menuntut sesuatu sesegera mungkin meskipun hasilnya ia harus menghilangkan sisi kemanusiaannya pada manusia lain. Rasa puas dan bahagia yang diperoleh begitu cepatnya datang dan segera hilang, namun kekecewaan sama cepatnya datang dan sulit untuk dipulihkan, menjadi sesuatu hal yang biasa ketika kita telah terbiasa mendapatkan sesuatu dengan mudah dan cepat. Padahal, proses itu sendiri jika dijalani dengan ketekunan, kesabaran, dan keuletan, akan memberi kepuasan yang lebih besar pada manusia daripada pada saat memperoleh hasilnya. Menikmati prosesnya, tak peduli seperti apapun hasilnya yang akan diperoleh nanti, menjadi sesuatu yang berharga namun amat jarang disadari dan disyukuri oleh banyak orang. Jadi, alangkah bahagianya manusia yang menjalani hidupnya dengan mensyukuri proses yang ia lalui dan tulus menerima hasil dari setiap usahanya, selagi Tuhan masih memberikan sisa umur di rentang hidupnya. Di balik proses itu sendiri, manusia yang kurang menghargai apa arti proses cenderung kurang memiliki rasa syukur. Apa yang sudah ia peroleh dari proses pencapaian usahanya di masa lalu seakan menjadi tidak berarti jika dibandingkan dengan apa yang sedang ia usahakan di hari ini dan ia rencanakan di masa depan, padahal bukan mustahil suatu saat ia akan kehilangan semua apa yang ia miliki hari ini. Ia seringkali lupa bahwa apa yang ia sudah ia miliki juga menjadi impian bagi manusia lain di seputar dirinya, dan bisa saja sesungguhnya ada banyak orang yang dengki dan iri terhadap apa yang hendak ia sia – siakan hari ini. Haruskah manusia mengalami kehilangan segala apa yang telah ia miliki dan memulai asa yang baru untuk memperoleh apa yang hilang dari dirinya agar ia belajar memahami rasa syukur? Tidak, mungkin tidak perlu sampai seperti itu, hanya saja manusia perlu disadarkan bahwa hal itu bisa terjadi padanya jika ia lupa bagaimana caranya mensyukuri kehidupan dan dirinya sendiri saat ini. Categories
0 Comments
Leave a Reply. |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |