|
Lima tahun telah berlalu, melewati musibah yang melanda muka bumi ini, dan kemudian selamanya mengubah arah perjalanan hidup banyak manusia, mungkin juga termasuk diantaranya kita.
Kini, kita hidup dalam banyak ketidakpastian dan kebohongan. Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity, seakan menjadi rumus baru dalam kehidupan kita yang telah melewati masa pandemi Covid-19. Pandemi ternyata bukan satu cobaan besar yang harus kita hadapi di dekade 2020-an ini, tapi juga perang, inflasi, terbatasnya lapangan pekerjaan, stagnansi ekonomi, dan meningkatnya perceraian yang diiringi penurunan minat generasi muda pada menikah. Imajinasi kehidupan bahagia dan masa depan cerah yang kudambakan semasa aku masih remaja dulu, di tahun 2000-an hingga 2010-an awal, perlahan telah sirna. Aku dihadapkan pada kenyataan, bahwa tidak semua imajinasi dan mimpi di masa muda menjadi nyata sebagaimana yang dulu aku pikirkan. Media sosial dan teknologi komunikasi yang dulu menjadi bagian dari kegemaranku di masa remaja dan masuk dewasa muda, yang dulu kuanggap sebagai tempat untuk membuka diri dan menambah persahabatan dari luar lingkungan keluarga, ternyata kini justru menjadi "penjara" baru bagi diriku sendiri (dan mungkin banyak orang yang berpikir demikian). Tidak ada kedekatan dengan Orangtua, saudara, keluarga besar, dan bahkan teman kerja di dalam friendlist akun media sosialku, aku justru malah tenggelam dalam mengikuti akun gaya hidup dan selebgram atau selebriti yang membuatku (merasa) lebih dekat dengan mereka dan menjadi konsumtif mengikuti gaya hidup mereka, namun justru aku berjarak dengan teman dan keluargaku sendiri, karena ada rasa segan dan enggan menanggapi respon dari mereka terhadap apa yang aku ungkapkan di media sosial. Dulu ketika aku masih sekolah dan kuliah, kupikir aku bisa memakai ilmu yang kupelajari di tempat aku bekerja sesuai dengan passion dan keahlianku, namun kenyataan yang aku hadapi kini bekerja hanya untuk mengejar kenaikan karier pribadi, untuk memenuhi kebutuhan dan memuaskan hasrat kesukaanku pada traveling, mobil, dan apapun yang berbau Jepang. Aku memang mendapatkan teman dan keluarga baru dari lingkungan kantorku, tapi lingkaran pergaulanku di kantor amatlah kecil karena aku sadar tidak bisa semua rekan kerja menjadi "teman" dan "keluarga" dalam hidup. Sebagaimana yang aku alami, ada banyak kepentingan perusahaan ataupun kepentingan pribadi yang membayangi ruang pergaulan di tempat kerja. Persaingan dalam dunia kerja tidak tidak mengenal batas golongan, warna kulit, suku, agama, ras, dan strata sosial. Teman bisa menjadi musuh, tapi terkadang orang yang awalnya sebagai musuh bisa kemudian tampil sebagai teman. Masih banyak hal muncul di usia menjelang separuh kehidupan, yang mengubah caraku berpikir dan bertindak, dan menyikapi hidup. Kehidupan ini bukan dunia fantasi seperti yang ada di film-film atau buku cerita yang kunikmati di masa kecil dulu, tapi realitas yang harus dihadapi dan diterima dengan keikhlasan tanpa batas.
0 Comments
Leave a Reply. |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |