|
Tiga tahun hampir kulalui sejak aku meninggalkan Semarang (dan juga Yogyakarta) yang kucinta untuk memenuhi panggilan bertugas di Ibukota bernama Jakarta, sesuai Surat Perintah Pemanggilan Mutasi Kerja. Dan, sampai hari ini pun perasaanku kepada Ibukota yang megah ini tidak juga berubah. Tidak semua manusia menyukai perubahan, termasuk berada di tempat baru. Dan aku pun termasuk salah satu di antara mereka yang mengalami masa – masa seperti itu. Sayangnya, aku tidak mengalami fase penerimaan menghadapi pemindahan lokasi tempat aku bekerja sekarang. Tiga tahun kulalui dengan kesan dan perasaan yang tidak berubah : Keengganan dan rasa benci. Bagaimanapun megah dan indahnya kota metropolitan berhiaskan lampu – lampu dari gedung pencakar langit yang nyaris tak terhitung jumlahnya bagaikan miniatur New York di tengah Negeri Mutiara Khatulistiwa ini, tetap tidak mencerahkan hatiku di sini. Ada banyak alasan untuk aku mengapa aku tidak mengubah perasaan hatiku pada kota ini : Egosentrisnya budaya kerja orang disini, padatnya kapasitas penduduk di kota ini, kemacetan yang diakibatkan terus bertambahnya kendaraan bermotor disini, konsumerisme atau budaya belanja yang tidak terkendali seakan nilai uang tidak ada artinya, rendahnya moral dan spiritualitas masyarakat, sikap tidak menghargai sesuatu yang sudah mereka miliki, ketidakpedulian pada akar budaya dan tempat asal masing – masing, rasa tidak menghargai pada mereka yang berpikiran “berbeda dari yang lain,” dan cara menilai seseorang karena pakaian yang mereka kenakan dan bukan apa yang ada di dalam mereka. Tiga hingga dua tahun yang lalu pun, aku pernah mengalami fase adaptasi yang sulit untuk tetap menjadi diriku seperti apa adanya dulu, aku terjebak dalam budaya konsumerisme dan hasrat mengikuti gaya hidup masyarakat kebanyakan di sini, yang lambat laut kupahami (kembali) bahwa itu semua tidak akan ada artinya jika aku kehilangan jati diriku yang dulu. Aku mengakui bahwa ada saatnya aku berusaha menerima kehidupanku di ibukota dengan melihat sisi yang bisa aku sukai di sini : Senayan, Blok M, Kemang, dan Salihara. Namun, betapapun kuat pesona dari sisi Jakarta yang memberikan kepuasan terhadap Kebudayaan Jepang, literatur, atau tempat makan enak yang memang aku minati, tidak bisa membuatku melupakan keinginan untuk kembali ke Jawa Tengah atau memalingkan pandangan ke Indonesia Timur. Kemegahan Ibukota dengan segala yang dimilikinya mampu memuaskan nafsu duniawi semua orang, namun hanya sedikit yang menemukan kepuasan jiwa dan spiritual di sini. Di suatu saat, tidak jauh dari sekarang, aku mulai menyadari bahwa meratapi apa yang sudah menjadi tanggung jawabku tidak akan mengubah keadaan apapun. Betapapun keras aku berteriak kepada Tuhan untuk mengubah keadaan sesuai apa yang kuharapkan seperti di Semarang dan Yogyakarta dulu, aku tetap belum bisa mendapatkan kembali apa yang dulu pernah kumiliki tersebut. Aku harus terus bergerak agar tidak tewas begitu saja oleh keras dan kacaunya manusia – manusia Ibukota yang ada di sekitarku. Aku perlahan sadar, bahwa selama tiga tahun ini aku sudah belajar, berlatih, dan mengembangkan diri untuk membentuk diriku menjadi sosok manusia yang lebih kuat, sesuatu yang belum pernah kumiliki sebelum aku berada disini. Meski proses menjadi lebih kuat ini memang membuat diriku tidak bahagia, aku merasakan perubahan diriku menjadi diri yang agak berbeda denganku yang dulu. Ada kekuatan hati, pendayagunaan energi dan otak hingga mendekati titik maksimal, keteguhan mempertahankan tekad, kemampuan melaksanakan tugas berbeda secara bersamaan dengan tuntutan seharmonis mungkin, kemampuan mempertahankan senyum di wajah dan keramahan sikap di bawah tekanan amarah orang yang harus aku layani, dan melakukan cara menyelesaikan tugas dengan cerdik yang mungkin tidak pernah dilakukan orang lain. Meski pada awalnya itu mengingkari prinsip pribadiku untuk mengerjakan sesuatu dengan mengikuti mandiri, harmoni, mementingkan proses, dan mengutamakan pencapaian hasil yang bersih, namun seiring waktu berjalan aku mulai mengerti bagaimana mendamaikan idealisme pribadi dalam bekerja dengan tuntutan bekerja untuk melayani orang di tempatku bekerja, yang tentu saja sebagian besar dari mereka tidak akur dengan idealisme yang tertanam dalam benakku. Memang menyakitkan prosesnya, tapi dari sana Tuhan seakan berbisik padaku, bahwa proses seperti inilah yang mendewasakan diriku, menguji keyakinanku dalam mempertahankan idealisme dan kebenaran di bawah tekanan, membuktikan seberapa dalam kesabaran dan ke – welas asih – an diriku dalam menghadapi mereka yang sudah terlanjur terasimilasi dengan budaya manusia Jakarta yang dalam sudut pandang kebenearan yang kuyakini – biadab. Ketika aku memikirkan kembali ketidaksesuaian idealisme dengan realitas yang kuhadapi di kehidupan di Jakarta ini, aku tercenung oleh sikapku yang selama ini hanya mengeluhkan keadaan, padahal sesungguhnya ini hanyalah bagian kecil dalam kehidupanku yang memberikan kekuatan pada diriku sendiri untuk menghadapi suatu masalah yang lebih besar lagi di kemudian hari. Seakan membuka buku lama yang sudah kubaca namun aku lupa intisarinya, aku teringat kisah kepahlawanan dalam sebuah buku cerita, bahwa seorang tokoh utama yang menjadi pahlawan pun dulunya menjadi manusia yang salah atau bahkan penjahat yang kemudian belajar dari kesalahan dan kekalahannya untuk menjadi ksatria. Seorang pahlawan pun akan mengalami sakitnya kekalahan sebelum ia berhasil memenangkan perjuangan untuk membuktikan kebenaran yang ia yakini atau membela orang lain yang harus dilindunginya. Tidak peduli meskipun sang pahlawan harus berjuang seorang diri, ia terus berjuang dengan berusaha tidak mengkhianati keyakinannya. Kesukaran tidak akan menjadi sukar apabila dihadapi dengan ekspresi wajah dingin dan tubuh yang tidak pernah merasa lelah bekerja hingga pekerjaan dan tanggung jawab terselesaikan, dan sebaliknya kesukaran itu menjadi kian sukar apabila dihadapi dengan sikap keengganan dan rasa kalah sebelum menghadapi perang yang sesungguhnya. Seperti halnya keyakinan yang kuat membawa seseorang pada kemenangan yang hendak ia rengkuh, ketidakyakinan pun menggiring orang tersebut pada kekalahan pula, walau tidak semua manusia cukup beruntung untuk memperoleh kemenangan. Meskipun aku digariskan oleh Tuhan untuk kalah dalam beberapa hal perjuangan, namun aku merasakan bahwa proses berjuang untuk memperoleh sesuatu itu bukanlah hal yang buruk pada akhirnya, malah di akhir perjuanganku itu adalah suatu hal yang memberikanku kesan dan makna mendalam, sebagai pelajaran terbaik untuk memperbaiki diri di kemudian hari, memperoleh kemenangan di perjuangan lain. Dan, ironisnya, terkadang aku justru mendapatkan apa yang ingin aku rengkuh di perjuangan masa laluku di kemudian hari, suatu berkah dari Tuhan yang kedatangannya tidak aku sangka sama sekali. Dan, sebagian dari kemenangan yang tertunda itu kini menjadi milikku, dan mengajarkanku untuk menjaganya dan menghargai apa yang sudah kumiliki saat ini. Terkadang, perubahan manusia dari sosok yang lemah menjadi seseorang yang lebih kuat dan tegar, menjadikannya ia sombong dan melupakan akarnya seperti pepatah kacang yang lupa akan kulitnya ia berasal. Aku masih menyadari bahwa itu pun tidak boleh terjadi pada diriku. Jika peningkatan pada diriku mengubahku menjadi arogan dan sombong, maka seluruh perjuanganku selama ini akan mengubah jalan hidupku dari jalan hidup yang bermakna menjadi jalan menuju kehancuran untuk diriku sendiri. Tak peduli meskipun kini aku berjuang di Kota Metropolitan, aku harus berjanji pada diriku sendiri untuk tetap menjadi manusia yang memegang idealisme, prinsip kesederhanaan, dan setiap pada kebenaran yang kuyakini seperti ketika aku masih di Yogyakarta dan Semarang dulu. Manusia boleh saja hidup berjuang dengan bertualang dari satu medan perang ke medan perang yang lain, namun ia tetap tidak boleh lepas dari akar dirinya berasal, dan aku sangat percaya akan hal itu. Sekeras apapun mereka membawaku untuk berubah menjadi seperti rupa dan karakter mereka, jiwaku tetap tidak akan bisa diubah, sebagaimana manusia yang memiliki keyakinan pada Tuhan sesuai agama yang ia anut, ia memiliki hak untuk mempertahankan keyakinan pada agama yang dia anut. Bukankah kuatnya keyakinan seseorang yang beragama terbentuk dari perlakuan yang ia terima dari orang – orang disekitarnya agar ia meninggalkan keyakinan pada agama tersebut beserta Tuhan yang harus dia abdi? Kepada Tuhan yang aku percaya, terima kasih telah membawaku ke dalam jalan kehidupan yang seperti ini di medan perang berwujud Kota Metropolitan ini. Aku pasti memenuhi janji untuk setia memegang nilai – nilai luhur Budaya Jawa meskipun aku berada di tengah – tengah manusia metropolisatau manusia pendatang dari luar Jakarta yang sudah larut dalam racunnya budaya Kota Metropolitan yang terus mendehumanisasikan menusia ke dalam nilai – nilai materialisme semu yang eksistensinya tidak akan kekal, sebagaimana Manusia Jepang yang dengan kekuatan hati dan loyalitasnya tetap mempertahankan Nilai – nilai Luhur Jepang meski kakinya menjejak di luar Tanah Air – nya, di tengah – tengah kesombongan Budaya Barat dan arus populisme budaya dari belahan dunia lainnya. Terus berakselerasi dalam jalan kehidupan yang kian terjal dan banyak tikungan, sambil terus berinovasi dan meningkatkan kekuatan otak dan tubuh, untuk melayani lebih banyak orang di sekitarku, tanpa melupakan jati diriku yang dulu, bagaikan matahari yang tak pernah bosan terus menyinari bumi walaupun tak semua manusia atau bahkan organisme hidup lainnya di bumi mensyukuri eksistensinya di alam semesta, dan semoga aku bisa terus bertahan sampai kelak Tuhan membisikkanku untuk kembali pada – Nya untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah kuperbuat untuk manusia lain dan dunia ini, semoga. Categories
0 Comments
Leave a Reply. |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |