|
Tahukah kamu, bahwa ada kalimat dalam satu ayat kitab suci salah satu agama yang menyebut, “apa yang kamu sukai mungkin bukan sesuatu yang baik bagimu, dan apa yang kamu benci mungin adalah sesuatu yang baik bagimu, dan sesungguhnya Tuhan lebih mengetahui apa yang kamu butuhkan?” Kalimat ayat kitab suci itu memang terdengar sangat mencerahkan untuk dikatakan, meski kenyataannya banyak manusia menghindari segala sesuatu yang ia benci dan berusaha hanya memperoleh apa yang mereka sukai.
Manusia itu hidup dalam realitas, dan realitas itu berisi banyak hal yang tidak sesuai dengai mimpi dan harapan kebanyakan manusia. Salah satunya, bisa kita saksikan dari pengalaman mereka yang pergi merantau dari daerah asal untuk memperoleh kehidupan di Ibukota, yang pada awalnya mereka kira sebagai “jalan cerah” untuk memperoleh kenaikan kesejahteraan dan gaya hidup mereka. Manusia memang berhak dan harus berusaha meningkatkan kesejahteraan hidupnya, karena hanya dengan jalan itulah manusia bisa benar – benar menemukan apa arti eksistensi mereka di dunia dan sebagai wujud pembuktian mereka dalam berusaha di kehidupan yang tidak berjalan lama ini. Arti hidup manusia tidak akan ditemukan hanya dengan berdiam diri di tempat terpencil, manusia akan menemukan arti eksistensi dan kegunaan dirinya dalam berusaha memberikan sesuatu kepada manusia yang lain. Akan tetapi, ketika mimpi untuk menggapai kesejahteraan dan gaya hidup menjadi obsesi, manusia yang paling baik, welas asih, dan sederhana pun bisa menjelma menjadi predator bagi manusia yang lain. Tanpa memandang identitas suku, ras, agama, kebangsaan, latar belakang, dan status sosial, mereka yang hidup dalam kota metropolitan akan tergerak menggunakan segala cara untuk memperoleh dan mempertahankan apa yang sudah mereka miliki dari apa yang mereka sebut sebagai “keberhasilan.” Kemajuan menjadi agama yang sesungguhnya bagi mereka, dan uang menjadi Tuhan yang baru bagi manusia – manusia penyembah keyakinan akan kemajuan itu. Bahkan, agama yang mereka yakini sebagai jalan kebenaran untuk mencapai kehidupan yang hakiki setelah kehidupan duniawi ini hanyalah menjadi topeng atau motif untuk menggapai impian duniawi itu sendiri. Apa yang terjadi dan sudah menjadi pengetahuan umum di kota metropolitan itu, memang sudah kuketahui jauh sebelum aku berada di sini, di kota metropolitan ini. Tapi, pada saat itu, aku belum memiliki pengalaman nyata menjadi bagian dari kaum urban disini. Aku hanya memiliki imajinasi, bukan pengalaman realis yang kualami dan kusaksikan sendiri. Dan, aku menyadari bahwa untuk mengetahui sesuatu hal, tidak cukup hanya dengan mengetahui saja. Manusia membutuhkan pengalaman dan kesaksian yang nyata terhadap suatu hal yang tidak mereka sukai, agar manusia benar – benar belajar, mengetahui secara langsung apa yang mereka butuhkan walau itu harus membuat mereka menderita. Seperti cahaya yang membutuhkan kegelapan agar cahaya itu tampak nyata terangnya, atau seorang pahlawan yang membutuhkan penjahat agar pahlawan itu dapat membuktikan kekuatan dan jati dirinya sebagai sosok yang dikagumi oleh banyak orang. Disini, aku sudah menjadi bagian dari kaum urban itu. Dua setengah tahun sudah aku merasakan menjadi bagian dari mereka. Perjalananku disini mungkin masih amat panjang, tapi dengan pengalaman selama itu aku sudah merasakan sendiri bagaimana sesungguhnya kehidupan masyarakat metropolitan yang penuh dosa, dosa – dosa yang dilumuri oleh kecemerlangan palsu dan bahkan nilai – nilai kemanusiaan dan kebenaran. Tempat aku berpijak sekarang, adalah tempat terkutuk, tempat dimana manusia berperilaku menjadi predator buas untuk manusia lainnya dengan mengatasnamakan kepercayaan akan apa yang mereka sebut sebagai kemajuan dan Perintah Tuhan. Memang, dulu aku pernah mengalami masa – masa mengeluhkan betapa beratnya menjalani hidup dengan terus berpura – pura, berakting, mendapat perlakuan tidak adil, dan apapun perilaku yang tidak seharusnya kulakukan dan kuterima. Kemudian, aku sadar bahwa aku harus mengubah sudut pandang, bahwa tempat ini bukanlah tempat untuk menjadi halaman rumahku yang menjadikanku sebagai manusia humanis. Ini adalah tempat untukku, dan mereka, berjuang melepaskan kebanggaan diri untuk mencapai derajat kehidupan yang lebih baik daripada manusia yang lain. Terus begitu, hingga suatu saat mereka, dan bisa saja aku, tidak lagi merasakan sakit dan derita oleh tekanan hidup kota metropolitan. Maukah engkau bergabung dengan mereka, dan denganku, untuk melumuri tangan dan menambah catatan dosa – dosamu menjadi bagian dari kami, di tempat aku berpijak saat ini? Tidakkah kamu ingin merasakan sendiri seperti apa tempat terkutuk dimana manusia – manusia berkumpul mempermainkan Tuhan untuk mencapai apa yang mereka mau, kemudian menyia – nyiakannya begitu saja? Dan di dalam hingar – bingar yang salah ini, aku masih tetap menjadi waras, sambil mengenakan topeng sosial kepada manusia – manusia di Ibukota ini yang, entah sudah menjadi predator bagi manusia lain, atau berakting sama seperti aku.
0 Comments
Leave a Reply. |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |