|
Media sosial yang sepuluh tahun lalu bukan sesuatu yang saya gunakan, sekarang telah menjadi semacam kebutuhan sekunder bagi saya. Rasanya tidak mungkin bagi saya untuk eksis atau dikenal orang di dunia nyata, tanpa bantuan media sosial. Pendapat yang sama, mungkin juga ada dalam benak Anda, yang memiliki Facebook, Twitter, Instagram, Path, Google Plus, dan lain sebagainya.
Saya masih mengingat, saya mulai menggunakan media sosial sekitar sepuluh tahun yang lalu, tepatnya ketika saya masih mahasiswa tahun kedua. Media sosial yang pertama saya miliki adalah Friendster. Dua tahun kemudian berlalu, Facebook yang tengah populer untuk semua kalangan di saat ini pun saya coba, dan sejak saat itulah saya mulai antusias menggunakan media sosial untuk mengekspresikan diri saya di jagat dunia maya, mulai dari kesukaan saya terhadap budaya populer Jepang hingga pendapat pribadi saya tentang kehidupan sosial saya. Satu tahun kemudian, saya mulai aktif bermain di Twitter. Dan selanjutnya, ketika saya mulai memegang laptop mutakhir dan smartphone, saya mencoba memiliki media sosial lebih banyak lagi : Instagram, Path, Vine, Linkedin, dan Steller. Ketika saya sudah bermain media sosial, saya seperti sudah menemukan dunia saya yang sesungguhnya. Media sosial menjadi tempat dimana saya bisa mengekspresikan sesuatu yang enggan atau tidak bisa saya keluarkan di dunia nyata, tanpa batas etika dan norma lagi. Mungkin tidak masalah jika saya mempublikasikan foto – foto atau ilustrasi hasil goresan tangan saya, namun saya juga sadar bahwa saya terlalu banyak mengungkapkan hal – hal yang tidak seharusnya diketahui orang lain seperti pendapat personal, masalah hubungan sosial, pandangan tentang ideologi suku dan agama, atau hal – hal pribadi yang kalau diketahui teman dan pengikut saya sendiri justru merusak hubungan saya dan mereka. Perubahan diri saya sejak mengenal media sosial, tidak hanya ada pada hubungan sosial saya di kehidupan nyata. Minat saya pada membaca dan menulis, perlahan tapi pasti menurun hingga untuk mengetik puisi sepuluh bait saja saya merasa tidak punya ide. Dahulu, ketika saya hanya menggunakan Facebook, Twitter, dan Wordpress, dampak media sosial terhadap keterampilan menulis dan ketekunan membaca saya tidak begitu besar, justru saya amat sering membuat catatan/blog terkait pada saat itu. Saya baru merasakan malasnya menulis dan membaca ketika memegang smartphone dengan berbagai aplikasi – aplikasi media sosial yang menampilkan fitur memamerkan foto dan kicauan hati belaka seperti Instagram dan Path. Aplikasi media sosial seperti itu memang mudah digunakan dan mampu menampilkan Ekspresi penggunanya dengan praktis, tidak perlu banyak berpikir. Cukup dengan memasang foto disertai dengan keterangan singkat (caption), teman akan segera bisa melihat posting apa yang kita publikasikan. Ditambah dengan fitur like untuk mengekspresikan rasa suka pada foto dan tulisan singkat tersebut, semua pengguna seakan kecanduan untuk mendapatkan like sebanyak – banyaknya dari teman mereka sendiri. Media sosial agaknya berhasil membuktikan, bahwa untuk mendapat pengakuan sosial dalam pergaulan bukan hal yang sulit, meskipun itu hanya pengakuan belaka sesaat yang akan segera dilupakan oleh mereka. Bagi sebagian pengguna media sosial yang lain, media sosial juga mengubah kondisi fisik dan psikologis mereka. Ada yang jam tidurnya berkurang karena sebelum tidur dan pada saat bangun langsung bereaksi membuka media sosial, ada yang ritme pekerjaannya jadi terganggu karena media sosial menimbulkan distraksi pada saat dia bekerja, ada yang pola makannya menjadi buruk karena terlalu sibuk membuka media sosial atau justru mengikuti tren kuliner yang sedang popular di media sosial, ada anak yang merasa kurang diperhatikan orangtuanya yang keranjingan media sosial, bahkan ada yang merasa kehilangan arti hidup tanpa menjaga eksistensi di media sosial. Berapa banyak pengorbanan sia – sia yang muncul akibat dari kecanduan media sosial? Saya sudah tidak bisa menghitung berapa kerugian waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang sia – sia oleh kesukaan saya pada media sosial. Celakanya, bagi saya sendiri, melepaskan diri dari kecanduan media sosial bukan hal yang bisa dilakukan beberapa hari saja, karena ketika saya memutuskan untuk berhenti dari salah satu media sosial (ex : Facebook), justru saya menemukan kesenangan bermain pada media sosial yang lebih baru. Tidak jarang, saya menunda pemberhentian satu akun media sosial karena adanya dorongan dari teman kerja dan keluarga agar saya tidak meninggalkan media sosial tersebut. Dengan begitu, jelas terlihat media sosial kini seakan menjadi alat untuk menjamin eksisnya hubungan sosial antar individu di dunia nyata. Berdasarkan pengalaman pribadi saya tentang kecanduan media sosial, ditambah cerita dan pengalaman dari orang di sekitar saya yang juga menunjukan adanya gejala kecanduan sosial, penyakit psiko – sosiologis ini menimbulkan dampak pada penderitanya sepertri berkurangnya kemampuan berpikir, perilaku narsistik atau terobsesi pada diri sendiri, dan kecemburuan sosial. Penderita kecanduan sosial, seperti yang telah saya alami sendiri, umumnya menjadi enggan berpikir kritis karena sudah sangat terbiasa menyerap informasi yang muncul begitu saja dari media sosial. Sudah banyak contoh kasus media sosial digunakan orang – orang yang tidak bertanggung jawab seperti informasi palsu, berita yang kebenarannya disembunyikan dan ditutupi dengan kebohongan yang seolah – olah nyata (hoax), fitnah dengan menggunakan sentiment suku ras dan agama (SARA), dan celakanya banyak pengguna media sosial yang langsung terpengaruh dengan berbagai bentuk informasi salah itu. Media sosial yang memang sejak awal diciptakan untuk memamerkan diri sendiri pada orang lain juga memunculkan perilaku narsis bagi penggunanya. Apa saja bisa dipamerkan di media sosial : Makanan dan minuman, pertemuan dengan kekasih baru, kegiatan berkumpul dengan banyak teman dan/atau keluarga, mobil dan motor baru, foto hasil kunjungan wisata di suatu tempat, bahkan kegiatan ibadah pada Tuhan pun bisa menjadi bahan untuk mendapat predikat like dari teman kita sendiri. Di satu sisi, bagi sebagian pengguna media sosial yang lain, ajang pamer di media sosial menjadi alasan mengapa mereka menyimpan rasa cemburu dan dengki, entah karena mereka sendiri tidak punya kesempatan atau kemampuan untuk memiliki hal yang dipamerkan tersebut. Efeknya memang bisa berpengaruh pada pergaulan di kehidupan nyata, hingga sesama pengguna media sosial yang awalnya bersahabat baik menjadi dingin satu sama lain karena konflik di media sosial. Bagaimana gejala kecanduan sosial itu ada pada seseorang, kita bisa memperhatikan perilaku diri kita sendiri atau orang di sekitar kita dengan indikasi perilaku seperti ini :
Apapun sikap kita terhadap media sosial, semoga kita tetap menjadi manusia yang mampu memanusiakan diri kita sendiri dan manusia lain, dan lebih cerdas dalam menggunakan teknologi sebagai alat untuk membangun komunikasi dan kehidupan sosial kita. Selamat mencoba.
0 Comments
Leave a Reply. |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |