MELAYANI, BELAJAR, MEMAAFKAN, MENGALAH, DAN BANGKIT

 Tiga setengah tahun aku merayakan karir sebagai pegawai personalia di sebuah perusahaan Manajemen Transportasi Udara, aku merasakan ada banyak pengalaman dan pelajaran penuh arti yang kuperoleh dari apa yang telah kucapai dari pekerjaanku sejak awal aku ditempatkan di Semarang hingga hari ini aku masih menempati posisiku di Jakarta.

Tiga setengah tahun memang bukan waktu yang terlalu lama, namun juga tidak bisa dikatakan singkat. Selama itu pula, aku telah melalui proses perubahan dan perkembangan dari seorang bermental pelajar yang masih hidup dengan uluran tangan Orang Tua, menjadi seorang pekerja yang harus berusaha dengan keras, kreatif, cerdik, dan terukur untuk menghasilkan karya atau memberikan pelayanan kepada orang lain. Ada kesan yang baik, dan ada pula kesan yang buruk, dari usaha yang telah kujalani selama meniti karir sebagai pegawai bandara. Akan tetapi, benar kata seorang bijak bahwa kesan yang buruk akan menjadi catatan yang pasti diingat daripada kesan yang baik dari apa yang sudah kita kerjakan. Manusia itu lebih banyak belajar dari kesalahan, kekecewaan, tragedi, dan permasalahan yang ia hadapi, dan bukan kemenangan atau kepuasan yang memberinya pelajaran berguna. Dan perjalanan karirku pun bukanlah sebuah perkecualian dari hal itu.

Kembali kepada tiga setengah tahun lalu, ketika aku baru memulai perjalanan sebagai seorang pegawai, aku hanya tahu bagaimana caranya menulis surat dinas untuk menyampaikan satu atau lebih pesan koordinasi terkait pekerjaan, tentu saja sesuai dengan arahan atasanku. Pelan – pelan aku juga mempelajari bagaimana menggunakan ilmu menulis, jurnalistik dasar, computer beserta aplikasinya dalam proses bisnis itu. Tentu saja, saat itu aku masih belum paham bagaimana caranya menghadapi pegawai senior dan atasan yang memiliki berbagai latar belakang, motif, dan alasan untuk mengabdikan hidup mereka di bandar udara. Segala macam rekan kerja kuhadapi dengan maksud dan itikad baik, menyelesaikan pekerjaan dengan sungguh – sungguh, namun sayangnya saat itu aku masih belum memahami bahwa pekerjaan kantor, bagaimanapun adalah sebuah kerja tim, bukan kerja individual. Dan tanpa sadar, aku melakukan sebuah pekerjaan tanpa mengkomunikasikan prosesnya dengan rekan kerja seniorku, yang kemudian membuatku ditegur oleh mereka dan menjadikanku berjarak dengan mereka. Aku sempat merasa benci pada diriku sendiri, mengapa aku melakukan sebuah kesalahan yang tidak seharusnya aku lakukan dalam pekerjaan ini. Aku coba untuk memperbaiki hubunganku dengan rekan senior, namun berada di lingkungan kerja dengan budaya feodalistik Jawa yang masih kental, dan faktor senioritas membuatku tidak mudah untuk memperbaiki hubungan kerja yang sudah terlanjur aku rusak sendiri. Di saat yang sama, ada beberapa rekan kerja dari unit lain yang mencoba mendekati aku sebagai seorang teman, dan itu mengurangi rasa kecewaku pada suasana tempat kerja yang aku rasa saat itu, mulai terasa tidak menyenangkan. Seiring dengan semakin lama aku berkomunikasi dengan mereka, aku belajar dan mengetahui bahwa pendekatan sosial yang dilakukan sebagian rekan kerjaku itu, tidak semuanya murni ketulusan mereka menerimaku sebagai rekan kerja. Motif untuk memanfaatkan kondisiku atau kondisi rekan kerja lain yang berkaitan dengan diriku, atau entah apapun maksud pendekatan dan komunikasi interpersonal yang mereka berikan padaku, justru membuatku sempat terjebak semakin dalam kisruh politik kantor yang saat itu baru saja aku sadari. Celakanya, aku sudah terlanjur membuka masalah pribadi kepada sebagian dari mereka, dan pembukaan diri itu menjadi bumerang yang semakin merusak namaku di kantor yang dulu justru menjadi impian. Dalam kondisi seperti itu, aku mulai hanyut oleh arus yang mengalir menuju jurang keputusasaan. Pikiran dan stigma negatif bahwa aku harus menyaksikan realitas yang tidak sesuai dengan impian dan harapanku dulu terus menyerang diriku. Meskipun aku berusaha untuk tetap bertahan di Semarang dengan menjalani penyegaran jiwa di Yogyakarta sebanyak dua kali dalam sebulan, itu tetap saja tidak membuatku bisa lepas dari hidup di bawah tekanan rekan – rekan kantor di Semarang.

Semuanya berubah ketika tepat aku menjalani enam bulan berdinas di Semarang, aku mendapatkan Surat Pemindahan Tugas di Kantor Pusat – Jakarta. Saat itu, pikiranku mengambang, aku merasa bahwa ini bukan jalan pembebasan terhadap permasalahan yang kuhadapi di Semarang, mungkin saja  justru menjadi jalan menuju permasalahan baru yang lebih besar.

Satu tahun pertama aku berkarir di Jakarta, aku belum terlalu merasakan lika – liku sesungguhnya bekerja di Ibukota, meski pada saat itu aku yang sejak awal sudah skeptis terhadap “optimisme meraih masa depan gemilang,” suatu jargon yang tertanam di banyak benak orang – orang yang datang ke Jakarta, kuakui masih hanyut dalam kemilau gaya hidup masyarakat Jakarta pada umumnya yang konsumtif, kurang menghargai sesuatu, banyak bergaya, tidak kenal rasa malu, dan cenderung mendambakan materi lebih dari yang lain. Bagiku, mempelajari dan (membiarkan diri) ikut terbawa arus gaya hidup orang Jakarta adalah permasalahan tersendiri yang kuhadapi di Jakarta, dan tentu saja mempelajari bagaimana mereka melakukan pekerjaan serta mengikuti ritme gaya kerja mereka. Aku kira pada saat itu, bekerja di Jakarta bukanlah sesuatu yang sangat buruk walaupun beban pekerjaannya memang berlipat – lipat lebih tinggi daripada kondisi bekerja di Semarang.

Memasuki awal tahun dua ribu enam belas, atau lebih tepatnya dua tahun hingga lebih berlalu setelah aku diterima bekerja di sini, ada banyak hal baru yang kuhadapi dan kemudian semuanya mengubah kembali persepsiku kepada Jakarta dan isinya. Aku yang pada saat itu hampir lupa pada bayangan terburuk yang akan kuhadapi pada saat dimutasikan dari Semarang dua tahun lalu, bahwa semua kemilau dan harapan yang dijanjikan Ibukota itu ternyata hanyalah ilusi, kini diingatkan kembali dan bayang – bayang itu kini benar – benar terjadi, disaksikan oleh mata kepalaku sendiri. Semakin aku mengenal rekan – rekan kerjaku di Jakarta, aku semakin mengenali mereka satu – per -satu : Bagaimana cara mereka bekerja, apa motif dan tujuan mereka bekerja disini, cara mereka membentuk hubungan sosial dengan rekan kerja dan atasan, cara membangun hubungan bisnis dengan klien swasta maupun pemerintahan. Dari semua aspek rekan kerjaku itu, tentu yang menjadi fokus perhatianku adalah cara mereka membentuk hubungan sosial dengan rekan kerja dan atasan. Memang membangun hubungan sosial di dalam kantor adalah sesuatu yang penting dan sudah menjadi kewajiban bagi setiap pegawai di alam bawah sadar mereka, akan tetapi itu bisa menjadi masalah kalau saja ada satu orang yang menyimpan motif negatif untuk kepentingan mereka sendiri. Dan sayangnya, yang memiliki itikad antagonistik dalam dunia kerja di Jakarta tidak hanya satu orang, ada amat banyak orang dalam satu kantor yang berpotensi menjadi predator untuk manusia lainnya.  Gaya hidup yang mengedepankan materi  di atas nilai kemanusiaan dan spiritualitas memang salah satu faktor yang menyebabkan mengapa banyak orang Jakarta berkembang menjadi pribadi yang egosentris, namun lebih dari itu, tuntutan untuk berkompetisi lebih keras di tempat kerja, kebutuhan untuk diakui oleh atasan atau siapapun yang memiliki posisi lebih tinggi, tingginya biaya hidup di kota ini, dan banyaknya populasi manusia di kota dengan berbagai latar belakang, budaya asal, suku, ras, agama, dan atribut sosial lainnya, menjadikan Jakarta adalah medan perang yang paling sulit bagi siapapun yang masih memegang prinsip integritas, memihak kebenaran, loyalitas, menghargai perbedaan, dan kemanusiaan. Sebaliknya, prinsip dan tindakan yang pragmatis seperti mencuri ide, membenarkan sebuah kesalahan, memanipulasi pikiran orang lain, menindas siapapun yang dianggap cukup lemah dan masih bertahan pada kebaikan, adalah hal yang wajar ditemukan di kota yang konon disebut Kota Metropolitan ini. Siapa yang mengakui bahwa di balik kemegahannya, ada banyak hal – hal buruk yang diciptakan sendiri oleh manusia – manusia di sini, dan keburukan itu kemudian menjadi sesuatu yang lumrah untuk dilakukan. Ironisnya, mereka yang terbukti melakukan sabotase pada pekerjaanku, memberikan sanjungan di depanku seakan – akan aku idola mereka sekaligus mengatai aku di punggungku, menggunjingkan kekuranganku, membiarkan aku kesulitan menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya diselesaikan bersama – sama, mengakui hasil kerjaku seakan adalah karya mereka, menipuku untuk kepentingan mereka sendiri, menuntutku untuk memenuhi keinginan mereka seakan – akan mereka adalah atasanku, adalah mereka yang usianya sebaya atau hanya sedikit di bawahku. Mungkin penampilan fisik dan rupa mukaku yang masih menyerupai anak usia sekolah menengah ke atas membuatku jadi diremehkan mereka, tapi aku tidak pernah peduli dengan penampilan fisikku, karena aku melihatnya sebagai sebuah karunia dari Tuhan yang jarang dimiliki oleh mereka yang sudah tampil setua usia mereka.

Pada tahun kedua sampai mendekati tahun ketiga aku bekerja disini, aku melalui proses penerimaan yang sulit karena di satu sisi aku masih berusaha menjadi sebaik ketika aku tinggal di Yogyakarta dan Semarang, namun perlahan aku mulai menemukan bahwa kebaikan hati saja tidak akan pernah cukup untuk menghadapi mereka yang menggunakan kekuatan dirinya untuk menindas manusia lain di Kota Metropolitan ini. Di samping kebaikan hati, kekuatan diri juga menjadi penting untuk melakukan pertahanan diri, atau jika diperlukan sebagai senjata untuk menyerang balik terhadap apa yang mereka lakukan padaku. Apapun bentuknya, kemampuan berargumentasi, menguasai ide dan ilmu dari bidang pekerjaan sendiri atau di luar itu, menggunakan segenap wawasan dan pengetahuan sosial yang kupelajari terus – menerus, mengamati sikap dan perilaku orang di sekitarku dan memikirkan bagaimana aku harus merespon tindakan mereka ke depannya, aku memiliki itu semua supaya aku bisa mempertahankan eksistensiku disini. Di samping itu, aku menemukan bahwa menjadi sosok manusia yang baik untuk manusia yang lain itu mustahil adanya, tak ada seorang pun yang bisa menyenangkan semua orang, bahkan Tuhan dan Nabi pun memiliki pembencinya sendiri. Di saat yang sama, aku menyadari bahwa mengembangkan kekuatan pribadi mungkin akan mendekatkan aku pada naluri jahatku sendiri, yang bisa saja menjadi jebakan untuk kemudian aku menjadi manusia yang sama dengan mereka yang telah menjatuhkanku. Aku menyaksikan mereka yang mengembangkan itikad tidak baik pada sesama, seringkali menggunakan nilai spiritualitas dan mengatasnamakan Tuhan untuk membenarkan kejahatan yang mereka perbuat sendiri. Manusia Jakarta yang seperti itu, mungkin tidak ubahnya seperti mereka di tempat kerja yang begitu memperhatikan atasan mereka sambil menyikut rekan sejawat mereka sendiri. Oleh karena itu, aku pun mengubah bagaimana caraku mengabdikan diri pada Tuhan dengan tidak hanya sekedar mengikuti bagaimana mereka melakukan ritual pengabdian pada Tuhan. Tidak peduli jalan Agama apa yang diyakini atau Tuhan apa yang disembah, aku hanya percaya bahwa satu cara mengabdi pada Tuhan adalah (tetap) bersikap baik pada sesama, yaitu manusia. Di satu sisi aku memang kesulitan mengembangkan hubungan interpersonal yang baik dengan rekan kerja sebayaku, namun pada saat yang sama juga aku banyak mendapat pelajaran berharga dari rekan – rekan seniorku. Saat aku baru pertama kali masuk bekerja dulu, aku sering mempersepsikan bahwa rekan kerja senior itu kolot, jumawa, menganggap dirinya lebih pintar dan enggan berbagi dengan junior. Memang sebagian dari mereka begitu adanya, namun perlahan – lahan seiring dengan seringnya aku berkomunikasi, berkoordinasi, dan bekerja sama dengan mereka, aku menemukan bahwa tidak semua dari mereka seperti itu. Ada beberapa rekan kerja senior yang meski pada awalnya tampak mengerjaiku di luar kapasitas dan tugas dasarku, namun kemudian terasa bahwa sesungguhnya mereka sedang memberikan sesuatu yang membuatku dapat berkembang dan bertahan di Jakarta : Apa arti bekerja keras, bagaimana cara melakukan suatu pekerjaan dengan kreatif dan menikmatinya, mempertahankan moral di tengah tekanan klien dan pelanggan, berusaha memenuhi harapan atasan serta memberikan kepuasan kepada pelanggan, dan menjaga wibawa sendiri di hadapan rekan kerja dari unit lain yang memiliki itikad meremehkan kami. Ternyata, di balik sikap menjaga wibawa dan kerasnya mereka, aku justru mendapat banyak pelajaran dari mereka, yang kini menjadi bekal bagi diriku sendiri dalam keseharian pekerjaanku. Mungkin terlihat aneh bagi kebanyakan teman sebayaku, tapi dengan begitu aku menjadi sosok yang lebih dekat dengan senior daripada teman sejawat sendiri. Mereka bisa saja mengatakan bahwa aku berusaha mencari perhatian dari orang yang posisinya lebih tinggi dari aku, tapi bukankah wajar jika aku mempercayakan diriku pada mereka yang sudah memberikan sesuatu padaku, meskipun tentu saja kepercayaan yang kutitipkan pada seniorku hanyalah sebatas tentang pekerjaan dan bukan pribadi. Menatap kepada tangga yang lebih tinggi, aku juga mengenal banyak atasan dari unit kerjaku sendiri maupun dari luar unit kerja atau di kantor cabang. Ada yang kupandang biasa saja, ada yang menjadi alasan bagiku untuk tidak menjadi seperti mereka, dan ada juga yang kemudian menjadi idola dan sumber insipirasiku untuk bisa seperti sekarang. Uniknya, sebagian besar dari atasan yang kuidolai bukanlah sosok yang popular di kantor, malah tampaknya sosok atasan yang kurang disukai dan sering memberikan ide yang tidak lazim diterima banyak orang di sekitar kantorku. Aku tidak paham betul mengapa, tapi sepertinya atasan yang kuidolai itu memiliki kemiripan dengan diriku sendiri, seakan – akan mereka adalah aku yang seandainya sudah berada di posisi Manajemen Atas (mungkin saja, jika Tuhan memberiku jalan ke sana). Aku tidak peduli betapapun mereka dikagumi atau dibenci oleh orang kantor sendiri atau masyarakat, tapi aku percaya asalkan mereka bekerja karena benar – benar memberikan kontribusi besar untuk perusahaan ini, maka aku tidak merasa bersalah mengidolai mereka. Kehidupan penuh dosa, keringat, air mata, bahkan darah yang kualami sampai saat ini juga memberiku pelajaran lain, yaitu tentang arti melayani. Mereka mungkin lupa bahwa bekerja itu adalah tentang melayani manusia lain, dan menjadikan mereka sebagai manusia yang hanya mengharapkan dilayani oleh manusia lain. Namun, aku memiliki visi berbeda dari mereka. Bukankah semakin banyak penderitaan dan kekerasan yang diperoleh dari pengalaman pekerjaan kita sendiri adalah perwujudan dari kesungguhan manusia untuk melayani manusia lain. Sesungguhnya manusia tidak perlu mencari tempat yang sunyi dan kemudian bertopang dagu untuk mencari makna hidup, karena arti hidup pasti akan ditemukan dengan sendirinya pada saat mereka melayani manusia lain dan memperoleh hasil dari apa yang mereka kerjakan kepada sesamanya. Itulah sebenar – benarnya kenyataan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa manusia lain, karena semenjak lahir ia telah ditahbiskan oleh Tuhan untuk mengabdi pada sesamanya, bukan hanya kepada Tuhan sendiri. Aku tidak mengerti sepenuhnya, tapi mungkin saja penemuan kembali akan arti dari kalimat “Kemuliaan Melayani” itulah yang membuatku tetap eksis di kota ini. Rasa dengki, dendam, dan dipinggirkan yang kurasakan sebagai akibat dari apa yang mereka lakukan padaku mungkin tidak bisa aku padamkan sepenuhnya dari dalam diriku, tapi dengan mengingat kembali prinsip “Manusia menghidupkan manusia yang lain” menghindarkan diriku sendiri menjadi psikopat di tempat kerja dan di lingkungan sosialku. Tak peduli bagaimana sebuah tanaman kecil terinjak oleh kaki manusia yang seakan tidak peduli dengan eksistensinya di tanah, asalkan akarnya tetap tertancap dengan kuat, maka rumput itu akan terus berdiri di tanah tempat dia berada. Manusia yang memiliki teguh kepribadiannya tidak akan mudah tercabut idealismenya oleh kekuatan lain, ia akan terus berjalan menuju ke jalan yang ia yakini. Dan sampai hari ini, aku masih terus berusaha untuk itu.

Kepada rekan sejawat yang tak peduli engkau memperlakukan aku seperti apa, kepada rekan senior yang telah memberiku ilmu dan arti tentang melayani orang lain, dan kepada atasan yang menjadi asal inspirasiku, dan kepada siapapun yang memberiku alasan dan kekuatan untuk bertahan di sini, aku berterima kasih pada kalian semua, dan aku akan terus berjalan maju ke depan di sini. 

Categories

All
Life And Social