|
Kaum urban yang terbiasa hidup di ibukota metropolitan, pasti sudah terbiasa melakukan, atau setidaknya, terbiasa melihat kebiasaan menongkrong di coffee shop yang memiliki merk tenar, entah ketenaran merk – nya hanya sebatas ruang lingkup satu kota metropolitan itu sendiri atau hingga seantero dunia. Apapun bisa dilakukan disana sambil menyesap citarasa kopi dari berbagai rasa dan varian biji kopi, yang (katanya) didatangkan dari berbagai negeri penghasil biji kopi terbaik di dunia, dengan kekhasan cita rasa, tekstur dan ukuran biji, serta aromanya masing – masing. Saya sebagai seseorang yang bukan penggemar kopi, memang belum paham apa saja ukuran secangkir kopi bisa dinyatakan enak oleh barista atau penggemar kopi yang lidahnya paling berpengalaman menyeruput kopi rasa apapun, tapi dari sana saya paham, bahwa di balik kenikmatan secangkir kopi, ada nilai ekonomi, sosio – psikologi, bahkan ideologi, sesuatu yang tidak diketahui oleh semua orang yang gemar menyesap kopi.
Katanya, kopi itu minuman paling nikmat di dunia yang bisa dinikmati manusia dari seluruh strata sosial di muka bumi ini. Kenyataannya, itu tidak salah. Mari kita melihat, mulai dari secangkir kopi sachet murahan yang komposisinya hanya ditambahi susu dan gula berkualitas rendah yang bisa dinikmati kuli pabrik dan pegawai sekuriti sebagai teman sejati rokok kretek, atau kopi racikan modifikasi hasil kreasi pengusaha muda kreatif yang harganya terjangkau untuk mahasiswa dan pegawai muda yang masih harus menghitung – hitung pengeluarannya setiap bulan, dan kopi racikan merk waralaba yang gerainya ada di hampir seluruh negara dan biasa dinikmati kaum sosialita menengah ke atas sebagai pelengkap pertemuan dengan teman kerja atau menyendiri, hingga kopi hasil ketekunan tangan seorang barista terbaik dengan bahan biji kopi yang (katanya) terbaik dari yang pernah ada, yang mungkin hanya dijajakan di gerai kopi high – end dan hanya dinikmati kaum antusias kopi yang tidak pernah memikirkan nilai uang demi secangkir kopi terbaik. Itulah kopi, minuman yang setia menempati hati banyak kalangan. Kopi memang bukan hanya secangkir minuman. Lebih dari itu, kopi telah menjadi komoditas yang dinikmati semua kalangan orang tanpa memandang latar belakang, status, pekerjaan, dan identitas lainnya. Tidak ada minuman lain yang begitu fleksibel penyajiannya dan mampu diterima orang dari banyak kalangan, selain kopi. Sayangnya, banyak diantara kita yang sudah terbiasa meminum kopi, tidak menyadari atau enggan mengetahui suatu hal, bahwa di balik secangkir kopi yang kita nikmati, ada cerita tentang prestise, seni, ide kewirausahaan, nilai ekonomi, gaya hidup, hingga keadilan sosial. Benarkah demikian? Ada sebuah cerita (ini bukan cerita yang diungkapkan berdasarkan pengalaman saya, saya hanya mengutipnya dengan sedikit perubahan dari cerita penulis lain), seorang laki – laki yang sedang dalam perjalanan jauh di Pesisir Utara Jawa, memutuskan beristirahat di sebuah gerai kopi. Gerai kopi itu memang bukan Starbucks atau The Coffee Bean and Tea Leaf yang biasa beredar di mall kota – kota besar, tapi kenyataabnya gerai kopi itu tidak bisa dibilang tidak laku, karena banyak orang yang melewati jalan datang dan pergi untuk beristirahat sembari menikmati kopi yang disediakan disana. Entah karena suatu kebetulan atau memang sudah menjadi pertemuan yang ditakdirkan, ia bertemu dengan pemilik gerai kopi yang kalau dikatakan generasi muda sekarang ini, instagramable sekali, dan mengobrol tentang apa saja termasuk tentang gayanya menjalankan bisnis gerai kopi tersebut. Si empu gerai kopi mengajak laki – laki itu memandang pemandangan di sisi timur, dari tempat mereka duduk. Pemandangan pantai yang indah, diisi oleh perahu – perahu nelayan yang berjejer rapi di tepi pantai dengan sinar matahari yang sama sekali tak terhalang awan, nyaris tak terlihat sampah atau lautan manusia yang biasa terlihat di pantai – pantai daerah tujuan wisata, menjadikan nilai jual tambah bagi gerai kopi tersebut, dan bisa disaksikan langsung oleh pengunjung tanpa dikenai biaya tambahan. Nilai jual lebih itulah yang dikatakan sang empunya gerai kopi ini sebagai media pemikat bagi siapapun yang melewati Jalur Pantura untuk berkunjung ke gerainya. Si empu gerai meneruskan ungkapan tentang rahasia di balik kesuksesan bisnis kopinya, bahwa masyarakat kini tidak lagi menikmati kopi hanya karena sekedar melepas rasa haus dan dahaga. Lebih dari itu, masyarakat penikmat kopi sekarang menyukai saat – saat menikmati kopi dengan cara yang menyenangkan dan “benar.” Kata “benar” disini ditafsirkan oleh si empu gerai bahwa kopi sejatinya bukanlah secangkir minuman yang dinikmati dalam tempo cepat untuk mengembalikan tenaga dan menetralisir dahaga penikmatnya. Kopi dinikmati dengan cara dihisap pelan – pelan, untuk dapat dirasakan keaslian cita rasa biji kopinya, dan agar kandungan kafein yang ada di dalamnya betul – betul menenangkan sang penikmat kopi. Tentu saja si empu gerai juga sudah tahu, bahwa setiap pelanggan memiliki selera dan preferensi yang berbeda – beda, termasuk menambahkan kudapan enak seperti aneka gorengan atau snack ala barat seperti french fries dan sosis bakar. Maka dari itu, si empu kopi juga menyediakan berbagai menu kudapan tersebut sebagai teman menikmati kopi yang pas untuk selera semua pelanggan. Lantas, bagaimana dengan pelanggan yang ingin menikmati sesuatu di gerainya namun tidak bisa menikmati kopi dengan alasan tubuhnya tidak bisa menerima kopi atau seleranya bukan ada pada kopi? Jangan khawatir, kata sang empu, ia pun menyediakan minuman jenis lain seperti teh, jus, dan susu dengan aneka rasa yang tidak kalah beragam, walau keberadaan menu makanan kecil dan minuman itu agak mengurangi citra gerainya sebagai gerai spesialis kopi. Interior dan eksterior gerainya pun didesain tidak main – main, siapapun arsitek yang mendesain dan membangun gerai kopi itu, bisa dikatakan sangat brilian. Alih – alih bangunan gerai itu didesain bergaya gerai kopi ala Eropa Barat yang banyak menggunakan ornamen kayu, si empu gerai memilih desain gerai yang memadukan arsitektur asli selayaknya rumah – rumah penduduk lokal di tepi pantai, namun tidak membuatnya terlihat “kampungan” atau mencolok di tengah – tengah rumah penduduk dan bangunan lain di sekitarnya. Begitulah contoh kecil dari “ekploitasi” kopi sebagai komoditas yang bernilai tinggi bagi siapapun yang mengabdikan hidupnya untuk berbisnis. Di suatu tempat di Pantai Utara Jawa itu, sebuah gerai kopi menunjukkan bagaimana modal bekerja memanfaatkan rasa haus dan kejenuhan pengendara di jalur pantura. Kopi, bukan lagi hanya secangkir minuman yang dibuat dari hasil jerih payah petani perkebunan dan racikan tangan seorang barista. Lebih dari itu, kopi telah menjadi komoditas dagang yang tidak pernah mengenal musim dan zaman. Karena kenikmatannya yang abadi dan bisa diterima hampir semua manusia, maka tak pelak ia menjadi bagian dari gaya hidup manusia, tanpa mengenal kasta ekonomi dan sosial. Kopi hadir mulai dari warung kaki lima yang hanya memiliki pelanggan buruh dan petani yang bekerja tak jauh dari warung tersebut hingga restoran kelas atas di hotel bintang lima yang hanya bisa dikunjungi sosialita tenar. Begitu populisnya kopi, maka kopi pun menjadi material yang bagus bagi kaum pemilik modal sebagai barang dagangan mereka. Dan pada hakikatnya, yang memiliki modal memang memiliki kekuatan untuk mendesain suatu barang menjadi seperti apa agar laris dikonsumsi masyarakat, bahkan mengubah hasrat manusia terhadap suatu barang dari kebutuhan menjadi keinginan. Mungkin kita tidak pernah sadar, bahwa awalnya kita meminum kopi di pagi atau malam hari karena kita sadar akan khasiatnya untuk memberikan daya tahan pada tubuh dari rasa kantuk, akan tetapi dalam perkembanggannya, sebuah coffee shop yang dikelola oleh seorang pemilik modal dengan desain gerai yang bernuansa Barat klasik dengan berbagai pilihan menu kopi berkelas yang katanya diolah dari biji kopi berkualitas terbaik hasil kerja petani perkebunan yang bekerja dengan tekun dan bahagia, mampu mempengaruhi keyakinan diri kita bahwa menikmati kopi dengan gaya yang bisa menarik perhatian banyak orang, adalah sebuah keinginan. Meskipun kita sadar bahwa ketika kita masuk ke dalam Starbucks atau The Coffee Bean and Tea Leaf dan membeli secangkir kopi di sana dengan harga yang lebih mahal daripada sepiring makan siang lengkap di foodcourt atau fastfood ternama, kita akan tetap berusaha membeli dan menikmatinya. Persis seperti yang dikatakan Tim Harford, penulis buku The Undercover Economist, bahwa kekuatan pemilik modal menciptakan self incrimination (perasaan merasa bersalah). Ketika kita masuk ke dalam sebuah coffee shop bermerek terkenal, alam bawah sadar kita memaksa untuk mengaku pada diri sendiri bahwa kita tidak mempermasalahkan harga yang terlalu mahal dari sebuah kopi yang kita beli tersebut. Di balik kenikmatan secangkir kopi itu, sepertinya hanya sedikit dari pelanggan kopi yang tahu, bahwa upah yang diberikan oleh buruh tani kopi dan barista untuk membuat kopi – kopi itu bisa dinikmati pelanggan kopi siapa saja dan dari mana saja mereka berasal, tidak sebanding dengan usaha keras dan kepenatan kerja mereka. Ironisnya, saya menulis catatan ini pada saat saya sedang menongkrong sendiri di sebuah gerai kopi yang dinikmati kaum kelas menengah Jakarta itu sambil menikmati salah satu kopi racikan mereka, saat saya mencoba menjadi salah satu bagian dari kaum kelas menengah ibukota yang entah tahu apa soal pahit getirnya orang – orang yang berusaha menyajikan kopi di meja tempat saya berada sekarang ini, untuk sesuatu hal yang dianggap pemilik modal sebagai “kesuksesan” mereka dan “kenikmatan semu” yang dialami oleh saya dan mereka tersebut.
0 Comments
Leave a Reply. |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |