|
Dalam keseharianku, dalam kehidupan sosialku yang berjalan normal layaknya orang Jakarta biasa yang menjaga kemakmuran hidup dengan bekerja sebagai pegawai kantoran, aku selalu berusaha untuk tampak tidak berbeda dengan mereka yang ada di sekitarku : Bersikap baik – baik, selalu berusaha mengikuti adat – istiadat setempat, lurus sesuai aturan, dan tampak normatif, walaupun di dalam keramaian aku memilih untuk bersikap tenang dan agak menarik diri.
Normatif, bagian inilah yang paling penuh kepalsuan dari diriku sendiri. Normatif dalam banyak hal, termasuk di dalamnya bersikap normatif dalam menjalankan perintah agama. Di negeri tempat aku tinggal saat ini, sedang terjadi proses perubahan budaya yang menjurus pada religiusasi dalam hampir semua hal, sesuatu yang tampak gemerlap dan menjanjikan surga bagi para penganut agama, termasuk aku. Sayangnya, aku tidak melihatnya demikian, karena justru religiusasi negeri ini memunculkan masalah eksklusivisme bagi agama mayoritas dan diskriminasi terhadap kaum penganut agama minoritas atau mereka yang memilih untuk tidak menganut agama apapun. Ironisnya, ini terjadi di negeri yang selalu mengagungkan semboyan penyatuan perbedaan – perbedaan identitas dalam satu kesatuan berbangsa dan bernegara. Bagi kebanyakan orang, seperti mereka yang berada di sekitarku, yang mengisi pengalaman pribadi dan sosialku, mengikuti religiusasi adalah jalan yang paling mudah untuk mereka lalui, agar mereka mendapat penerimaan sosial dimana saja mereka berada. Mungkin tidak semua dari mereka ikhlas dan serius melalui jalan religiusasi bangsa ini, aku yakin dan sudah menyaksikan sendiri beberapa diantaranya, tetapi aku tidak meyakini bahwa mengikuti jalan orang lain karena untuk penerimaan sosial belaka adalah jalan hidup yang sesuai dengan hati maupun nalar berpikirku. Untuk apa menjadi sama dengan orang lain? Sekitar sepuluh tahun lalu dan lebih jauh lagi sebelum itu, aku masih belum paham apa – apa tentang agama dan esensinya dalam kehidupan manusia. Aku masih sama seperti mereka yang memilih untuk bersikap normatif pada agama, walaupun aku juga tidak bisa dikatakan sangat taat pada ajaran agamaku. Aku hanya taat dalam menjalankan ritual ibadah lima waktu, ditambah dengan membaca kitab suci paling tidak satu ayat dalam sehari. Aku terus mengikuti ritual agama yang relatif sederhana dibandingkan mereka yang mengaku taat pada agamanya itu, sampai perjalanan hidup yang baru membawaku melanjutkan pendidikan di Yogyakarta. Berbeda dengan di Bandung tempat aku tinggal sebelumnya, Yogyakarta adalah kota yang bukan didominasi satu suku, agama, ras, bahkan bangsa tertentu, walaupun dari sisi kuantitas, mayoritas itu tetap ada. Keberagaman dalam kota yang disebut pusat pendidikan dan kebudayaan di Indonesia inilah, yang membentuk Yogyakarta sebagai kota yang menjadi favorit persinggahan banyak orang untuk belajar, melancong, dan bahkan bertempat tinggal. Cerita berlanjut, pertemuanku dengan mahasiswa, pengajar, atau masyarakat umum dari berbagai kalangan di Yogyakarta, perlahan membuatku menyadari, bahwa ada sesuatu yang sejak dulu aku dambakan namun tidak terpikirkan untuk aku cari : Perdamaian dalam keberagaman. Aku hampir tidak melihat adanya jarak pergaulan antar manusia di sana, meski mereka memiliki identitas suku, ras, dan agama yang berbeda, atau latar belakang, sudut pandang pemikiran, dan keyakinan yang berbeda. Citra kota kecil ini sebagai kota pendidikan memang membuat pelajar – pelajar dan pengajarnya menjadi berpikiran lebih terbuka terhadap ilmu pengetahuan dan perkembangannya, dan kebebasan dalam menjelajahi cakrawala berpikir itu yang bagi sebagian di antara mereka, menjadi lubang untuk memasuki cakrawala baru dan menemukan ide – ide yang sebelumnya dianggap tabu atau bahkan dilarang dalam masyarakat religius. Pertemuanku dengan mereka, membukakan mata hati dan nalar pemikiranku, bahwa memang ada yang salah dalam cara masyarakat menjalankan ritual dan keyakinan agama mereka selama ini. Mereka, sebagaimana aku sebelum ini, menjalankan ritual agama lebih karena obsesi pada surga dan rasa takut pada neraka, adanya tekanan dari keluarga dan teman yang lain agar menjadi lebih religius, menguatkan kesan baik dan bersahaja untuk mendapatkan keuntungan dalam posisi pekerjaan maupun status sosial, bahkan tidak sedikit yang menjadikan agama sebagai media baru untuk berdagang dan berpolitik. Ironis, religiusasi masyarakat negeri ini hanya sebatas kosmetik, memberikan kesan agamis pada sesuatu yang ada pada tampak luar mereka, namun spiritualitas dan keimanan pada Tuhan mereka di dalam benak mereka masing – masing, sesungguhnya patut dipertanyakan. Dan pada saat yang sama, semakin lama aku berada di Yogyakarta, gelombang religiusasi masyarakat negeri ini makin kuat pengaruhnya, mencoba mengikis pluralisme dan heterogenitas masyarakat di Yogyakarta. Gelombang itu datang kian deras seiring dengan berkembangnya ekonomi Yogyakarta yang tampak dengan pembangunan pusat perbelanjaan, restoran, sentra dagang, dan hotel – hotel baru yang ironisnya berlawanan dengan semangat ekonomi kerakyatan yang sebelum gelombang ini datang selalu dikampanyekan oleh mahasiswa – mahasiswa. Waktu terus berjalan, aku kembali dari Yogyakarta dengan pandangan tentang agama yang baru, aku memilih pada ideologi sekuler dan pluralisme walaupun aku tahu, ideologi ini tidak akan diterima dalam kehidupan keluarga dan pertemanan sosialku yang justru terbawa oleh arus religiusasi. Bagaimana rasanya hidup menjadi sekularis di tengah – tengah masyarakat yang kian menonjolkan identitas agama ini, tentu jauh dari kata mudah dan menyenangkan. Aku mustahil menyatakan diriku secara terang – terangan sebagai orang yang menganut pembebasan diri dari ikatan – ikatan keyakinan agama kepada mereka, atau jika aku melakukannya, akan membuat diriku semakin terkucil dalam kehidupan sosial dan menyulitkanku untuk mendapat akses dalam pekerjaan maupun hal – hal penting lainnya. Lantas, apa yang kulakukan untuk mempertahankan ideologi dan keyakinan ini dalam arus religiusasi? Aku memilih untuk tetap mempertahankan menjaga ritual agamaku hingga saat ini. Aku tetap menjalankan ritual ibadah lima waktu, walaupun secara frekuensi dan ketepatan waktu tidak lagi seperti sebelum aku mengenyam studi di Yogyakarta. Memasuki putaran hidup yang baru, aku mendapat penempatan kerja di Semarang, kota yang terletak tidak terlalu jauh dari Yogyakarta. Sebelum aku menginjakkan kaki di kota ini, aku sudah tahu bahwa seperti halnya di Yogyakarta dan kota – kota di Jawa Tengah pada umumnya, Semarang juga bukan kota yang terlalu dipengaruhi arus religiusasi, sejak dulu. Aku tidak perlu beradaptasi terlalu lama dengan mereka di Semarang, karena kemiripan budayanya dengan Yogyakarta. Sayangnya, aku tidak cukup lama berdinas di Semarang, hanya enam bulan setelah pertama kali bekerja di Semarang, aku diberi mandat untuk bekerja di Jakarta. Memasuki kehidupan baru di Jakarta, sesuatu yang lebih buruk dari apa yang kualami di Yogyakarta dan Semarang memang sudah kuperkirakan, dan kenyataannya itu memang terjadi. Jakarta, ibukota metropolitan nan megah yang masyarakatnya terdiri dari komposisi suku, ras, agama, dan bangsa yang beraneka ragam, bukanlah kota yang cukup ramah memandang perbedaan – perbedaan itu. Masalah – masalah sosial di Jakarta seperti ketimpangan ekonomi antara kelas bawah dan kelas menengah hingga kelas atas, kepadatan penduduk dan kendaraan bermotor yang tidak terkendali, masifnya pembangunan perkantoran dan pusat perbelanjaan yang tidak diimbangi dengan pembangunan infrastruktur dan sarana transportasi publik untuk memudahkan mobilisasi masyarakat, derasnya budaya konsumerisme yang memotivasi masyarakat untuk membelanjakan uangnya tanpa arah dan guna yang jelas, menciptakan kekosongan spiritualitas dan semangat hidup pada kebanyakan manusia di Jakarta. Kekosongan itu memang diisi dengan arus religiusasi, terlebih Jakarta pun masyarakatnya cenderung didominasi oleh penganut agama mayoritas, menjadikan Jakarta sebagai pasar yang sangat subur untuk menumbuhkan religiusasi agama mayoritas. Hal itu menjadi sesuatu yang bisa kusaksikan dan kualami langsung, di kota besar ini aku harus lebih hati – hati menjaga keyakinan sekuler dan pluralis yang sudah kutanam dalam dasar jiwaku. Jakarta sudah terlanjur dipenuhi dengan mereka yang hanyut dalam arus religiusasi, walau ironisnya identitas keagamaan mereka kurang tampak dalam perilaku sehari – hari, kecuali dari sisi estetika dan ritual sehari – hari belaka. Seperti penganut agama minoritas yang harus hidup dalam masyarakat dengan agama mayoritas yang pengaruhnya amat masif, keteguhan diriku dalam keyakinan sekuler dan pluralis yang ada dalam jiwaku diuji, hingga hari ini. Sejujurnya, aku merasa seperti hidup sebagai manusia abnormal di tengah – tengah masyarakat yang menjunjung religiusitas kosmetik ini, tapi bagaimanapun aku tidak menyesal atau menyalahkan diriku sendiri atas pilihanku untuk tetap menjadi diriku yang seperti ini. Aku, tetap meyakini dari dasar hatiku yang paling dalam, bahwa manusia sejatinya tidak diciptakan Tuhan dengan identitas suku, ras, agama, dan bangsa apapun. Orangtuaku yang memberikan agama padaku, bukan aku yang memintanya pada Mereka. Dan Tuhan yang menggariskan takdir bahwa aku dilahirkan oleh pasangan orangtua yang menganut agama yang sama. Jika aku ditakdirkan terlahir dari pasangan orangtua yang lain dengan identitas agama yang lain, atau bahkan tidak beragama, maka agama yang kuanut akan berbeda dengan agama yang kuanut dalam realita sekarang ini. Aku memang memiliki kewajiban sebagai seorang anak untuk menjaga amanat orangtua agar aku tetap loyal pada agama yang mereka anut. Memang berat, aku harus berpura – pura pada banyak orang, termasuk pada orangtuaku sendiri, tapi bukankah sebuah keteguhan manusia pada idealisme dan ideologi yang dianutnya akan selalu diuji pada saat ia berhadapan dengan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang dia anut? Dan itulah yang kuhadapi sekarang. Satu hal yang tidak pernah lepas dariku tentang agama, bahwa walaupun aku tidak terikat lagi pada agama apapun, keyakinanku pada Tuhan, termasuk eksistensi – Nya, tidaklah luntur. Aku meyakini bahwa Tuhan itu eksis, dan semua manusia menyembah pada – Nya serta mengakui eksistensi – Nya, dalam berbagai cara dan keyakinan. Aku percaya Tuhan itu ada di mana – mana dan bisa berwujud apapun, bagi siapapun yang percaya bahwa hidupnya diatur oleh – Nya. Betapapun beratnya menjaga keyakinan itu, aku tidak akan menyerah apalagi terpaksa harus menjadi serupa dengan mereka yang sudah terbawa arus religiusasi yang hanya menyembah Tuhan karena adanya pamrih – pamrih keduniawian. Aku, seorang monotheist. Kepada Tuhan yang kupercaya, aku setia dan meyakini – Mu.
0 Comments
Leave a Reply. |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |