|
Kehidupan sebagai pegawai kantor di korporasi besar itu terlihat menarik bagi hampir sebagian besar manusia, tanpa mengenal batas apakah mereka yang berasal dari kota metropolitan, kota satelit, hingga daerah pedesaan sekalipun. Ada banyak manusia mengusahakan segala cara agar menjadi bagian dari kehidupan yang katanya, memberikan kebahagiaan dan kemakmuran itu. Dan kemudian, dari seluruh manusia yang mendambakan kehidupan metropolitan seperti itu, hanya sebagian yang akhirnya terpilih untuk menjadi bagian dari, sebut saja, kaum metropolis. Menjadi bagian dari mesin kapitalisme raksasa yang memproduksi berbagai komoditas yang dibutuhkan dan diinginkan setiap manusia, sambil menjadi konsumen dari komoditas kapitalisme itu sendiri. Ada yang terus berusaha hingga akhirnya sukses, ada yang hanya menikmati proses tanpa sungguh – sungguh merasakan hasrat untuk menjadi sukses, ada yang menemui kegagalan hingga terjatuh ke dalam keputusasaan, ada yang gagal namun menerimanya dengan hati legowo. Kita tidak sedang berbicara tentang golongan pertama hingga ketiga, karena mereka adalah golongan manusia yang sudah menemukan arti dari menjalani gaya hidup metropolitan dengan populasi yang banyak, wajah – wajah mereka mudah ditemukan di tengah gemerlap cahaya gedung pencakar langit dan lampu penerangan mobil pada malam hari. Akan tetapi, kaum metropolis pada golongan terakhirlah yang sesungguhnya bisa menjadi manusia – manusia terpilih dari kaum metropolitan yang katanya kurang mengenal kemanusiaan itu. Mereka, yang memperoleh kegagalan atas apa yang mereka harapkan namun kemudian menerima kegagalan itu dan berusaha mengubahnya menjadi jalan untuk memperoleh kesuksesan yang lain, tampaknya sulit kita temukan namun sesungguhnya mereka eksis. Mereka ada namun tidak dapat dilihat atau ditemui secara langsung oleh manusia yang terbiasa mengekspresikan segala sesuatu, menilai sesuatu atau seseorang cenderung dari apa yang mereka lihat, dan terbiasa menyukai sesuatu yang hanya bersifat “identitas” atau “label.” Hidup di kota metropolitan itu bukan sesuatu yang mudah, karena keindahan yang tampak memukau di mata banyak orang itu sesungguhnya penuh dengan kepalsuan, tidak benar – benar nyata. Banyak yang menaruh harapan tinggi mengawang – awang pada awalnya, namun kemudian terjatuh dalam keputusasaan hingga ada yang mengakhiri hidupnya sendiri dengan tragis. Mereka yang mengalami hal seperti itu, umumnya adalah mereka yang menaruh hati terlalu dalam pada apa yang mereka cintai di kota metropolitan ini. Akibat dari rasa mencintai dan mengagumi yang terlalu dalam, muncullah ekspektasi tinggi dalam diri mereka seakan – akan impian dan pujaan itu tidak akan pernah lepas dari mereka, padahal sesuatu dan seseorang yang mereka puja itu tidak membutuhkan rasa itu bahkan mereka sama sekali tidak peduli pada mereka. Rasa cinta dan kagum itu memang irasional, dan seringkali menjatuhkan manusia pada sesuatu yang tidak mereka duga atau di luar nalar mereka sebelumnya. Celakanya, rasa cinta yang terlalu dalam membawa manusia untuk luput belajar memahami bahwa kehidupan menjalani suatu profesi dan kehidupan sebagai pribadi adalah sesuatu yang pantang untuk dicampurkan dalam satu tempat dan waktu. Sebagian kecil dari perasaan pribadi boleh saja ditambahkan sebagai tambahan rasa ketika manusia sedang memberikan pelayanan yang terbaik kepada sesamanya, yang berwujud dalam keramahtamahan, keceriaan, senyum sapa, dan kepekaan pada kebutuhan pelanggan. Akan tetapi, apabila perasaan pribadi itu terlanjur larut dalam profesionalisme diri seseorang, maka siapapun dia harus bersiap menghadapi kemungkinan mendapat konfrontasi dari rekan dan kliennya sendiri, yang kemudian bisa mengganggu proses pekerjaannya. Dalam taraf yang amat kritis, konfrontasi yang muncul sebagai akibat dari tercampurnya kehidupan pribadi dan kehidupan profesional membuat seseorang tersisih dari pekerjaannya sendiri hingga hidupnya berakhir sampai di situ saja. Oleh karena itu, bisakah manusia mencoba untuk tidak menaruh rasa terlalu dalam pada sesuatu yang menjadi alasan mereka terobsesi? Agar kita ingat bahwa kita tidak selamanya memegang apa yang kita cintai dan miliki saat ini? Agar kita paham bahwa kehidupan pribadi tidak sepantasnya dibawa ke dalam profesi dan peran sosial yang kita jalani? Dan agar kita tahu, bahwa hidup tidak melulu tentang bagaimana membahagiakan diri sendiri dan sesama manusia di sekitar kita, tapi bagaimana tentang menjaga citra kita agar diri kita masih berada dalam batas – batas keamanan yang menjauhkan kita dari jebakan – jebakan hidup. Categories
0 Comments
Leave a Reply. |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |