KEBEBASAN (TAK) PERLU EKSIS

​Satu tahun berlalu setelah membuat keputusan yang tampak kecil dan kurang berarti apa – apa, namun memberikan efek yang berarti bagi hidup : Menonaktifkan media sosial yang berfungsi memamerkan eksistensi diri dan kepemilikan diri kepada dunia. Sebuah langkah yang tidak lazim dilakukan di era media sosial seperti sekarang ini, tetapi itulah pilihan yang kuambil di saat itu.
Dan satu tahun setelah melakukan hal kecil tersebut, aku tidak merasakan ada kerinduan untuk mencoba kembali eksis di media sosial yang sama, seiring dengan semakin jenuhnya pemakaian media sosial di kehidupan sehari – hari yang jika dibiarkan begitu saja, akan terus mengalihkan fokus dari pekerjaan atau hal – hal lain yang lebih penting dari mem – posting foto, kegiatan, atau benda milik di lini masa sendiri. Kalau aku memikirkan kembali pengalamanku selama menggunakan media sosial itu, untuk apa sebenarnya aku berada di sana? Melihat produk baru yang dijual merek ternama ataupun lokal, untuk kemudian membelinya karena impuls sesaat walaupun sesungguhnya aku tidak memerlukannya? Melihat kecantikan semu para pengguna yang popularitasnya di lini masa bersaing dengan artis terpopuler di media massa? Atau mengintip apa yang dikerjakan atau dipamerkan teman dan keluarga sendiri di sana? Entahlah, yang pasti aku tidak merasakan apapun dari melakukan itu semua di media sosial selain kebahagiaan semu, semacam rasa bahagia yang datang dan menghilangnnya begitu cepat seperti angin semilir saja.
Pada awalnya aku mulai mengenal media sosial, aku berpikir itu adalah tempat untuk mencari inspirasi yang berguna diwujudkan di dunia nyata. Awalnya memang benar begitu, dan dari media sosial pula aku bisa mem – posting foto ataupun tulisan yang menjadi kesukaanku sampai sekarang seperti pada tulisan ini. Namun kian lama kian hari, fitur media sosial diperkaya dan tidak lagi hanya sekedar menghubungkan manusia yang terpisahkan oleh dimensi waktu dan jarak. Lebih dari itu, media sosial juga menjadi media komersial bagi pemilik modal untuk menjual barang dagangan, merek, atau bahkan “ideologi” yang mereka ciptakan sendiri agar menjaring lebih banyak orang sebagai konsumen produk mereka. Bagi manusia yang sudah memiliki ketenaran dari profesinya, seperti artis dan politisi, media sosial menjadi alat untuk mengenalkan citra diri sekaligus kegiatan apa yang mereka lakoni dan ekspresi ide – ide mereka. Media sosial telah menciptakan sejarah baru dalam peradaban manusia, yang membuat manusia dengan manusia yang lain bukan hanya tidak lagi memiliki jarak fisik, melainkan juga tidak berjarak secara pemikiran dan hati.
Tetapi di balik itu, media sosial membawa bahaya baru yang lain bagi manusia. Media sosial perlahan tapi pasti, mengkaburkan manusia dari kebebasan berekspresi yang seharusnya menjadi tujuan dibuatnya media sosial. Kini, media sosial menjadi alat bagi siapapun yang memiliki modal dan kekuasaan untuk mempengaruhi banyak orang yang tidak mengerti apa – apa. Pemerintah bisa memata – matai apa yang dilakukan rakyatnya dan jika perlu menahan mereka atas nama keamanan nasional, pemuka agama yang fanatik bisa menyebarkan ideologi radikalnya untuk mengumpulkan banyak pengikut atas nama kebenaran ajarannya, dan pengusaha tentu saja bisa mempengaruhi banyak orang Melalui iklan produknya bahwa membeli produknya adalah sebuah simbol kebahagiaan atau aliran gaya hidup yang perlu diikuti konsumennya. Media sosial sudah menjadi dunia dalam dunia, dan mengurung manusia dari kebebasan berekspresi menggunakan “jalan kebebasan” yang dijanjikan oleh pemilik modal dan penguasa itu. Jika demikian adanya, masihkah perlu manusia tetap eksis dalam media sosial? Jawabannya adalah perlu, jika mereka memilih untuk ikut dalam arus yang diciptakan oleh pemilik modal dan penguasa, namun jika mampu eksis di media tanpa mengikuti arus yang mereka buat, alangkah kuatnya hati manusia itu. Mungkin sudah jarang manusia yang memilih menjadi demikian di media sosial, namun sayangnya tidak terlalu banyak manusia yang cukup kuat untuk memilih jalan yang amat deras kekuatannya itu.
Aku mungkin tidak cukup kuat untuk menahan derasnya arus gaya hidup di media sosial, tapi setidaknya aku pernah mencoba dan mempelajari, bahwa kehidupan di media sosial bukanlah kehidupan nyata yang mendapat perhatian utama kita. Mencukupkan diri untuk bahagia di dunia nyata itu sungguh lebih berarti daripada memperoleh ribuan kebahagiaan semu di dunia imajiner seperti pada media sosial, bukan?

Categories

All Life And Social