|
Ada suatu masa, di saat kita diajarkan oleh Orangtua atau siapapun yang lebih berumur dari kita, bahwa kita harus hidup dengan mengikuti nilai – nilai, moralitas, dan perilaku yang dipredikatkan baik, seperti bersikap jujur, teguh, rajin, adil, sabar, mengasihi, dan memberi. Hal seperti itu diajarkan pada kita saat kita masih anak – anak yang belum mengenal kehidupan dunia sesungguhnya. Dogma ditumbuhkan dalam alam sadar kita, bahwa bahwa kehidupan manusia di dunia ini agar diciptakan seindah surga.
Kemudian, seiring dengan pertumbuhan dan pendewasaan diri yang kita alami, kita dipaksa untuk memahami dan menerima, bahwa sesuatu yang baik dalam bentuk perkataan, niat. Dan perilaku, terkadang justru mendatangkan konsekuensi yang tidak baik bagi diri kita sendiri. Ada yang berkata terus terang, namun justru menjadi objek fitnah keji yang dilakukan seseorang. Ada yang berusaha mendapatkan perhatian yang tulus, namun justru mendapat pengucilan. Ada yang bekerja sesuai dengan pedoman dan aturan, justru dituntut untuk bekerja dengan tidak mengindahkan peraturan. Ada yang berusaha menjadi mitra kerja yang baik, namun justru dijatuhkan oleh rekan kerjanya sendiri. Ada yang berusaha meyakini bahwa apa yang dia yakini adalah benar, namun justru ia dipaksa untuk mengikuti keyakinan yang salah. Ada yang memiliki pikiran yang rasional dan humanis, namun ia dipaksa untuk mematuhi pikiran yang dogmatis dan menentang nilai – nilai kemanusiaan. Ada yang selalu berusaha bersikap bertanggungjawab, namun ia justru menjadi korban penyalahan diri dari orang – orang yang hanya memikirkan menjaga nama baik dan keselamatannya sendiri. Ada yang sesungguhnya ingin bersikap apa adanya, namun justru ia dituntut untuk tampil sebagai orang lain yang jauh dari citra diri aslinya di depan publik. Ada yang ingin membuat keputusan besar dalam hidupnya yang tidak disukai oleh banyak orang di sekitarnya, namun pada akhirnya ia hanya bisa mengikuti kemauan orang – orang di sekitarnya. Di dalam kehidupan manusia yang penuh kontradiksi seperti itu, dimana kebaikan diputarbalikkan menjadi kejahatan, kebenaran dikatakan sebagai kesalahan, jalan yang lurus dinyatakan sebagai jalan yang sesat, kejujuran dikatakan sebagai kebohongan, sesuatu yang bersih menjadi kotor oleh kepentingan orang – orang yang salah, tidak sedikit manusia yang akhirnya menyerah pada kenyataan dan memilih menjalani hidup yang aman, hidup dalam kesalahan dan kepalsuan. Manusia memang bisa menjalani hidup yang tenang seperti itu, namun apa artinya hidup dalam keheningan di bawah tirani dan kedamaian yang palsu, serta mematikan nalar dan jiwa mereka. Apa artinya hidup dalam dalam kekalahan, padahal sebenarnya mereka mengalah dan enggan berjuang dalam kebenaran dan kemanusiaan. Mengalah yang seperti itu, sama saja dengan memilih menjadi pengecut. Manusia yang hidup sebagai pengecut, dalam sudut pandang yang radikal, hanya hidup seperti organisme bukan manusia yang hanya memiliki mempertahankan hidupnya dengan makan dan istirahat saja, padahal kehidupan manusia itu bukan hanya tentang urusan perut. Wahai, kepada Tuhan yang Maha Adil dan Maha Pengampun, aku sudah bersumpah tetap teguh pada idealismeku pada kemanusiaan dan kebenaran, jika pun pada akhirnya aku harus menjadi bagian dari manusia yang terpaksa untuk menjadi seperti di atas, berpura – pura untuk suatu tujuan atau mengamankan kehidupan orang – orang yang harus aku lindungi, aku tidak pernah benar – benar mengkhianati idealisme dan kebenaran itu. Jauh di dalam jiwa dan hatiku, aku masih teguh dalam idealisme dan kebenaran yang kuyakini, untuk tetap menjadi orang baik yang memperjuangkan kebenaran.
0 Comments
Leave a Reply. |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |