|
Alkisah, di dunia kehidupan nyata, ada sebuah media sosial baru yang menyodorkan sebuah konsep yang out of the box, lain daripada yang lain. Sementara media sosial lain mengedepankan media teks atau kombinasi teks dengan audio visual, media sosial yang satu ini mengedepankan media visual sebagai ciri khasnya. Setiap pemakai media sosial ini dapat mengirim dan mempublikasikan fotonya sendiri dengan beberapa teks yang dibatasi sekian karakter, seakan – akan pengguna membuka galeri foto mereka sendiri. Tak salah lagi, media sosial yang mulai dikenal pada Dekade 2010 tersebut bernama Instagram. Instagram adalah sebuah revolusi kecil dalam media sosial. Ia lahir ketika Friendster dan Myspace berada pada titik nadirnya, Facebook dan Twitter sedang berada di puncak kejayaan. Ia menawarkan sesuatu yang tampak sederhana namun memukau masyarakat yang melek teknologi pada saat itu : Mempublikasikan foto, bukan berbagi cerita dengan orang lain. Instagram tidak mendorong pengguna untuk terhubung dengan teman baru, teman lama, atau orang asing sebanyak – banyaknya, yang pada saat itu sudah mengubah banyak paradigma masyarakat menuju ke arah kemunduran dari sisi sosial. Oleh karena itu, Instagram perlahan berkembang menjadi media sosial yang digandrungi fotografer, pekerja seni, atau sekedar penggemar fotografi yang ingin memamerkan karya fotonya pada pengguna lain tanpa harus mengeluarkan biaya seperti seorang seniman besar yang membuka eksibisi karya seni ciptaannya. Hanya itu, tidak ada yang lain. Sebuah konsep media sosial yang sangat sederhana dan berkonsep tidak lazim, namun akhirnya disukai banyak orang. Pada awalnya, Instagram berkembang dengan tidak mencolok. Ia pun tidak didesain untuk bisa diakses di browser komputer, hanya dapat diakses melalui aplikasi gadget dengan sistem operasi Android dan iOS (walau pada akhirnya muncul di Windows yang membuatnya bisa juga diakses di komputer namun dengan keterbatasan tanpa mengunduh foto). Instagram memang didesain agar penggunanya dapat mempublikasikan foto atau mengakses foto milik orang lain di mana saja dan kapan saja, langsung dari tangan mereka sendiri. Oleh karena itu ia menjadi lebih populer bagi kalangan remaja dan dewasa muda yang cenderung lebih terbuka pada teknologi baru dan menyukai kebebasan daripada kalangan tua yang cenderung konservatif. Berbagai foto yang mengedepankan sentuhan teknik fotografi dari penggunanya sendiri pun bermunculan, mulai dari foto lanskap alam, foto makro yang memamerkan detail serangga dan tanaman, keindahan makanan dan minuman di meja, hingga kecantikan atau ketampanan seorang model. Instagram pun melahirkan tren baru yang sesungguhnya sudah dilakukan penggemar fotografi terdahulu : food photography, retro photography, instastories, dan lain sebagainya. Kemudian Instagram pun berkembang dengan memunculkan fitur video yang membuat penggunanya dapat mengunduh video mereka sendiri dengan batas durasi kurang dari satu menit, sehingga Instagram memungkinkan videographer juga ikut aktif dalam media sosial baru ini dan memunculkan tren vlogging : Menciptakan sebuah cerita layaknya seorang blogger yang menulis cerita di media blog namun dengan format video. Sekalipun Instagram dilahirkan untuk kaum millennials yang menyukai modernitas dan gandrung menggunakan gadget berteknologi terbaru, Instagram melahirkan peluang munculnya kembali mode fotografi retro, yaitu memotret dengan menggunakan kamera analog dan memfokuskan pada gaya fotografi pada zaman kejayaan kamera analog yang bernuansa modern – klasik. Pendek kata, Instagram menjadi sebuah media sosial pembebas bagi mereka yang tidak menyukai keramaian akan hal sosial, politik, SARA, maupun hal – hal sensitif lain yang sudah biasa ditemukan di media sosial lain. Hanya berbagi foto dan menceritakan tentang foto kita sendiri atau memberikan komentar tentang foto orang lain, itu saja, yang Instagram berikan pada penggunanya. Sayangnya, kebebasan dan ketenangan yang diberikan Instagram itu, kini seakan hanya menjadi cerita masa lalu. Seperti sebuah perusahaan kecil yang awalnya dibentuk oleh rasa kekeluargaan dan semangat sederhana dari sejumlah kecil penemunya dan kemudian berkembang menjadi korporasi raksasa yang membuat pegawainya bekerja sebagai faktor produksi semata serta menjadikan pelanggannya sebagai alat untuk mempertahankan eksistensinya memproduksi produk – produk baru, Instagram pun perlahan mulai digunakan oleh kalangan industrialis, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, korporasi media, politisi, hingga pemuka agama untuk mempublikasikan opini, ideologi, pesan politik, hingga firman Tuhan dalam format gambar dan video kepada banyak pengguna Instagram lain. Pengguna Instagram pun kian terfragmentasi dalam berbagai kalangan yang tidak memiliki batasan fotografi lagi, hingga Instagram tampil tidak ubahnya seperti media sosial lain yang lebih dulu eksis. Terlebih ketika Instagram secara bisnis sudah diakusisi kepemilikannya oleh raksasa media sosial lain, membuat Instagram didesain ulang menjadi sebuah media sosial yang lebih fleksibel dalam penggunaannya, tidak lagi hanya sebatas mempublikasikan foto dan video semata, tapi menjadi media sosial dengan fitur serba ada yang membuat penggunanya seakan memiliki buku harian sendiri. Alhasil, pesan – pesan tentang isi hati pribadi, idealisme agama, ideologi politik, dan pemberitaan suatu kejadian yang disisipkan pesan propaganda menjadi sesuatu yang lebih mudah ditemukan daripada karya fotografi itu sendiri di Instagram terkini. Mungkin karena itulah, kini banyak pengguna Instagram yang dulunya bersikap terbuka dengan membiarkan galerinya bebas diakses siapa saja, kini diubah ke private mode yang membuat penggunanya dapat menerima atau menolak pengguna lain untuk mengikuti galeri Instagram miliknya. Sekali lagi, perubahan Instagram dari sebuah media sosial fotografi sederhana menjadi media sosial umum berskala massal agaknya membuktikan bahwa perkembangan dan kemajuan tidak selalu membawa manusia atau ciptaan mereka sendiri ke arah yang lebih baik. Sudah menjadi hukum alam bahwa kemajuan yang diperoleh manusia dalam satu hal akan memunculkan kemunduran mereka dalam hal yang lain, begitu juga dengan apapun yang diciptakan manusia itu sendiri, dan Instagram bukanlah perkecualian. Sekarang, tampak berkurangnya kebebasan pengguna Instagram akibat kian ramainya ruang Instagram oleh berbagai hal di luar konteks fotografi dan videografi. Kemajuan dan pendewasaan yang dialami oleh Instagram membuatnya menjadi media sosial yang mengurung penggunanya hanya pada diri mereka sendiri atau hal – hal yang mereka inginkan saja, sebagaimana pendewasaan diri seseorang yang membuat dirinya berubah dari seseorang berhati polos dan tulus menjadi seseorang yang hanya memikirkan ambisi pribadinya sendiri. Instagram memang tidak akan abadi menjadi seperti yang disukai penggunanya di awal – awal kehadirannya dulu, tapi dari sebuah media sosial bernama Instagram, pada akhirnya kita akan bisa memahami bahwa idealisme hanya bisa dipertahankan oleh seseorang atau sekelompok kecil yang memiliki ikatan kuat, bukan ketika dimiliki oleh banyak orang dan kemudian menjadi populer. Categories
0 Comments
Leave a Reply. |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |