|
Kehidupan manusia yang damai itu hanya ilusi, tidak pernah eksis untuk waktu yang lama. Kalaupun ada, kedamaian hanya menjadi jeda sesaat sebelum datangnya kembali perang yang baru untuk manusia. Kita memulai suatu perang, dengan sengaja atau tanpa kita sadari kepada orang lain yang memiliki perbedaan misi, idealisme, dan kepentingan dengan diri kita. Terserah bagaimana manusia mengakhirinya, ada yang melalui prosesnya dengan tetap menjaga hubungan dengan lawan dan ada yang benar – benar melaluinya dengan menghasilkan permusuhan kepada lawan. Apapun itu, semuanya berawal dari hasrat manusia untuk mencapai sesuatu yang dia inginkan, dan manusia mustahil menghindari jalan yang menyilang dengan manusia lain yang juga memiliki tujuan yang sama. Manusia tidak akan pernah cukup kuat untuk menjaga dirinya sendiri dari konflik, karena pada hakikatnya ia membutuhkan konflik dengan manusia lain apabila ia membutuhkan atau menginginkan sesuatu untuk mempertahankan eksistensinya. Jauh di dalam diri manusia, ada naluri untuk memenuhi sesuatu, yaitu naluri mencapai kemajuan. Naluri itu memang penting untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia, yang pada akhirnya akan membuatnya mampu mempertahankan hidup atau membawanya pada taraf kehidupan yang lebih tinggi. Di satu sisi, naluri mencapai kemajuan memang berdampak positif terhadap perkembangan manusia : Menjadikan yang tidak tahu menjadi tahu, yang belum pintar menjadi pintar, yang sudah pintar menjadi semakin cerdas, yang miskin menjadi berkecukupan, yang tidak paham menjadi paham, yang tidak terlatih menjadi terampil, yang lemah menjadi kuat, yang terkucilkan menjadi terpandang, yang tidak memiliki menjadi memiliki, dan sebagainya. Namun di sisi lain, naluri mencapai kemajuan tersebut membawa hampir sebagian besar manusia ke sisi buruknya, yang rendah hati menjadi arogan, yang welas asih menjadi angkuh, yang merasa berkecukupan menjadi bermegah – megahan, yang membantu sesama menjadi menjatuhkan sesamanya, dan yang dulunya teman kini menjadi musuh. Dan, kita pun patut mempertanyakan apakah kemajuan itu sebaiknya dijauhkan dari manusia, maka jawabannya adalah mustahil. Sampai kapanpun selama manusia masih eksis di alam semesta ini, manusia akan terus mencari dan mencapai kemajuan, dan untuk itu diperlukan konflik dengan manusia lainnya sebagai syarat mutlak tercapainya suatu kemajuan. Konflik menjadi biaya tetap yang harus dipenuhi dalam mencapai kemajuan, tidak bisa disubtitusikan dengan perdamaian. Perdamaian hanya akan menjadi jeda waktu sesaat dari konflik, dan justru digunakan sebagai pembenaran atau tujuan dari konflik yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Bahkan jika perlu, apa yang selama ini kita anggap sebagai simbol perdamaian seperti ideologi, nasionalisme, agama, bahkan humanisme, bisa digunakan untuk membenarkan konflik itu sendiri. Bukankah sejarah peradaban manusia sudah cukup untuk membuktikan itu, dan hingga hari ini kita terus menyaksikan kenyataan manusia saling membenci, bersaing, berperang, dan jika perlu sampai saling membunuh dengan mengatasnamakan kemuliaan misi korporasi, nasionalisme dan patriotisme pada tanah air tempat kita dilahirkan dan eksis, kebenaran ideologi yang dikatakan akan mendamaikan seluruh manusia tanpa batas – batas sosial, dan pembuktian bakti pada Tuhan berdasarkan agama yang kita yakini? Lantas, jika manusia ditakdirkan untuk berperang dengan sesamanya, apakah kita hanya akan membiarkan itu terjadi saja tanpa usaha untuk menghentikan perang? Terlalu naif jika manusia hanya membiarkan konflik terjadi hingga mereka mengalahkan atau dikalahkan oleh sesamanya, manusia menjalani suatu proses yang sulit dalam hidupnya bukan berarti lantas berpasrah diri hingga binasa tanpa arti dan guna. Menghindari konflik dalam rentang kehidupan manusia memang mustahil, namun bukan berarti jalannya konflik kehidupan itu tidak bisa diatur. Dan, meski enggan untuk diakui, konflik juga menghasilkan penemuan yang pada akhirnya memperbaiki kehidupan manusia menjadi lebih baik, atau dengan kata lain membawa manusia pada kemajuan yang mereka harapkan dari sisi positifnya. Kehadiran teknologi informasi yang menghubungan manusia dari jarak berapapun jauhnya, penjelajahan menemukan artefak kehidupan manusia di masa lampau sebagai pembuktian sejarah manusia, moda transportasi yang mematahkan batas jarak dan waktu, hingga eksplorasi ke luar Angkasa yang kelak memungkinkan manusia membuka cakrawala peradaban baru ke luar bumi, semuanya hadir berkat konflik besar yang telah dilalui kehidupan manusia. Itu semua adalah pembuktian bahwa konflik atau perang adalah proses mutlak untuk mencapai kehidupan manusia, tak peduli apapun alasan manusia berperang dengan sesamanya. Dalam taraf yang lebih kecil, manusia secara pribadi juga memperoleh kemajuan bagi dirinya sendiri, yang bisa ia rasakan dalam sesuatu apa yang mereka sebut sebagai pendewasaan dan penemuan jati diri. Kehidupan sosial manusia yang unik, mempertemukan manusia dengan berbagai latar belakang, jati diri, dan personaliti namun memiliki satu tujuan yang sama, menciptakan konflik personal dan sosial di antara mereka, yang bisa disaksikan di bawah atap rumah keluarga, kantor tempat bekerja, hingga satu kelompok organisasi dan komunitas yang seharusnya diisi oleh anggota manusia yang memiliki satu tujuan yang sama. Jika konflik personal dan sosial disikapi oleh manusia dengan taraf kebijaksanaan yang tinggi, konflik itu bisa dikompromikan menjadi sebuah resolusi yang menguntungkan semua pihak yang berbeda kepentingan satu sama lain, namun jika konflik tersebut disikapi dengan emosi yang tinggi dan dilampiaskan sesaat, maka yang hadir dalam diri kita adalah rasa benci, iri, dengki, dan dendam dengan siapa yang menjadi lawan kita dalam konflik tersebut. Manusia pun akan menjadi pemeran antagonis dalam cerita kehidupan yang ia tulis sendiri melalui perkataan, perilaku dan perbuatan pada sesamanya. Ketika kamu sedang berada dalam konflik dan tengah menjalani titik tersulit dalam konflik itu, di mana kamu sedang dihancurkan oleh manusia lain atau justru kamu sedang dalam proses menjatuhkan manusia lain yang menjadi lawan konflik kita, bagaimana perasaanmu pada saat itu? Apakah kemanusiaan masih ada dalam dirimu, atau justru engkau membuang kemanusiaanmu demi mencapai apa yang ingin engkau rengkuh? Itulah proses dalam konflik yang pasti akan membawamu kepada apa yang kamu tuju dalam kehidupanmu. Ambillah jeda waktu sesaat untuk diam, merenung, dan meletakkan salah satu telapak tangan pada dadamu, lalu menutup matamu. Apa yang kamu rasakan dalam konflik ini? Lelah, sakit hati, ketidakwarasan, kebingungan, di ambang keputusasaan, hasrat ingin mengakhiri konflik ini sesegera mungkin, kepuasan diri, penemuan jati diri dan hakikat hidup pribadi, rasa terpenuhinya idealisme, atau justru kebahagiaan versimu sendiri? Apapun itu, itulah arti dari konflik yang Tuhan berikan padamu untuk menguji dirimu sebagai manusia, dan saat itulah kamu bisa menemukan apa arti hidup yang kamu pertanyakan selama ini. Categories
0 Comments
Leave a Reply. |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |