ClicAda suatu cerita, ketika aku pernah berada di suatu kota kecil di bagian utara Pulau Jawa, yang namanya nyaris tidak dikenal oleh kalangan traveler maupun para pencari kampung halaman baru di luar Jakarta. Kota itu kering akan spot wisata yang bisa mengundang traveler datang, seniman membuka galeri seni, pelajar mencari kampus untuk menimba ilmu, bahkan tidak banyak pengusaha datang untuk mengadu peruntungan walaupun kota itu punya sejarah sebagai kota perdagangan yang maju pada zaman lampau. Ketika aku datang ke sana untuk mengawali masa – masa perdanaku sebagai pegawai kantoran, atau lebih tepatnya pegawai bandara, aku memperoleh banyak pengalaman disana, terlepas dari pengalaman yang patut untuk dikenang maupun yang lebih baik untuk dilupakan. Tidak peduli betapapun manis dan berharganya pengalaman berkesan itu, atau betapa pahitnya pengalaman yang tidak patut untuk dikenang itu, aku belajar untuk memaafkan masa lalu, dan mengetahui bagaimana caranya melangkah terus menuju ke masa kini dan masa depan yang belum kuketahui seperti apa selanjutnya. Kekaguman yang sempat berubah menjadi kekecewaan, namun akhirnya kembali pada memaafkan dan menerima apa adanya. Ekspektasi tinggi yang ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang kualami, namun akhirnya kembali pada memaafkan dan menerima kenyataan itu sebagai pelajaran terbaik yang harus kusimpan baik – baik. Harapan untuk menuju perkembangan yang lebih baik namun justru terjebak pada kondisi kejatuhan yang diluar harapan. Usaha untuk memperbaiki keadaan namun aku justru mendapati kenyataan kondisi justru tidak lebih baik sesuai yang kuharapkan. Itu semua pernah kualami disana, sebelum akhirnya tiba – tiba panggilan datang ke Ibukota. Aku hanya sempat berada di sana selama enam bulan, tapi itu sudah cukup untuk memberiku kenangan yang penuh dengan pelajaran berharga, dan satu tekad, bahwa aku pasti akan selalu kembali ke sana. Kehidupan yang kualami di Jakarta saat ini, aku anggap sebagai bagian dari perjalanan panjangku untuk sampai ke kota yang menjadi tanah harapanku yang baru, tanah harapan tempat aku bisa menemukan kedamaian, kebebasan, dan kemerdekaan hidup yang sesungguhnya. Melepaskan diri dari hasrat untuk terus menjadi lebih dan lebih dari apa yang sudah kumiliki, yang membawaku menuju kesengsaraan dalam keserakahan yang tak pernah berujung. Yogyakarta memang tempat yang paling kuidolai, dan akan selalu menjadi tempat aku pasti kembali, untuk menitis asa dan harapan sebagai halaman rumahku yang baru. Akan tetapi, aku sadar bahwa aku hanya manusia yang bisa berencana, namun aku tidak bisa memastikan rencanaku menjadi takdir. Apabila Tuhan menetapkan Yogyakarta bukan halaman rumahku yang terbaik, aku harus memiliki tempat lain yang bisa kupilih sebagai halaman rumahku. Kusadari, bahwa satu kota lain yang bisa menggantikan Yogyakarta nanti, apabila itu nasib yang kuterima, adalah sebuah kota yang sudah memberiku kenangan dan pelajaran hidup itu. Kota penuh kenangan itu, tak lain, adalah Semarang. k here to edit.
0 Comments
Click here Manusia itu, diciptakan Tuhan dengan berbagai perbedaan antara satu dengan yang lain, tak pernah ada yang identik, baik dari dalam maupun dari rupa. Tuhan sudah menciptakan manusia dengan berbagai perbedaan rupa, fisik, suku, ras, agama, kebangsaan, mental, jiwa, dan bakat yang berbeda – beda. Tanpa manusia sadari, perbedaan – perbedaan yang ada diantara manusia itu mewarnai kehidupan manusia di dalam lingkungan sosial tempat mereka eksis dan bersimbiosis satu sama lain. Perbedaan rupa, fisik, suku, ras, agama, kebangsaan, mental, jiwa, dan bakat yang eksis dalam setiap manusia itu memang memunculkan naluri membenci, mendengki, bersaing, dan bahkan naluri berperang antar manusia, dan pada saat yang bersamaan, juga membawa mereka berkembang ke tahap peradaban yang lebih maju. Itu terus terjadi, tak pernah berhenti, tanpa mengenal perubahan zaman. Tidak terhitung lagi berapa banyak peristiwa, tragedi, musibah, penemuan, inovasi, dan eksplorasi yang terukir dalam sejarah peradaban manusia sebagai hasil dari berjalannya kehidupan manusia yang muncul karena adanya perbedaan – perbedaan yang ada di dalam diri mereka, kemudian disatukan melalui sistem tatanan sosial yang berjalan di setiap belahan dunia tempat manusia berada dan berkumpul dalam satu tempat. Kita boleh membenci, menyesali, dan mempertanyakan perbedaan – perbedaan manusia kepada Tuhan, kita boleh saja berpikir dan berambisi agar manusia yang lain menjadi sama seperti kita, mengikuti apa yang kita inginkan sesuai dengan isi pikiran dan jiwa kepala kita, tak peduli betapapun cara yang kita tempuh untuk menundukkan manusia yang lain itu akan memunculkan friksi yang akan melukai mereka dan diri kita sendiri. Sayang sekali, kita sebagai manusia, hanya mengharapkan dan menghargai kemajuan dan perkembangan baru yang muncul sebagai hasil dari pertemuan perbedaan antar manusia itu. Kita, manusia, tidak pernah belajar, atau celakanya, justru memalingkan muka bahwa perbedaan antar manusia itu justru suatu karunia terbesar dari Tuhan kepada kita, yang seharusnya menjadi pelajaran terbesar bagi manusia, dan merupakan jawaban dari pertanyaan mengenai arti eksistensi kehidupan mereka di dunia ini. Sungguh, alangkah tidak menariknya kehidupan manusia yang serba seragam dan satu warna saja. to edit. Alkisah nyata, beberapa orang di tempat kerja memiliki motivasi bekerja yang beragam. Ada yang sekedar mencari sumber penghasilan untuk menyambung hidup, ada yang mencari prestasi dan kepuasan kerja, ada yang mencari popularitas atau pengakuan akan eksistensi dirinya, dan ada yang mencari pergaulan atau mendapat pengalaman sosial baru, dalam berbagai taraf dan kadarnya masing – masing.
Kisah tentang motivasi kerja di atas juga terjadi dalam lingkungan kerja di Jakarta, tidak peduli di lingkungan kerja yang bergerak dalam bidang usaha jasa ataupun barang, yang seharusnya diisi dengan Budaya kerja bersatu di antara seluruh insan – insan pegawainya. Bisnis di Jakarta adalah lahan usaha yang kompleks dan menuntut kesempurnaan kerja yang tinggi, dimana aspek keselamatan, keamanan, pelayanan, dan kenyamanan saling berurutan menjadi prioritas kerja yang tidak boleh diabaikan. Ambillah contoh dari sebuah perusahaan jasa pelayanan publik, yang berisi seorang General Manager yang bertanggung jawab mengelola seluruh anak buahnya dalam melayani konsumen dank lien, Co – Manager yang bertanggung jawab menjadi wakil dari general manager, Middle Manager yang menjadi pejabat tengah bertanggung jawab melaksanakan dan mengawasi kinerja anak buahnya dalam pelaksanaan kerja, Supervisor yang bertanggung jawab mengawasi dan menjaga control terhadap kinerja Officer di lapangan, dan tentu saja officer yang bertanggung jawab langsung terhadap berjalannya operasi perusahaan sehari – hari di lapangan. Idealnya, dalam perusahaan apapun, mereka bekerja dengan semangat tinggi dan konsisten, patuh pada prosedur yang berlaku, dan menjunjung integritas. Oleh karena itu, rasanya hampir mustahil kita tidak menemukan slogan, tujuan, visi, misi, maupun nilai perusahaan yang menjadi patron bagi siapapun anggota perusahaan tersebut untuk mengembangkan dan mempertahankan bisnis di tengah sengitnya persaingan usaha, terlebih di kota metropolitan seperti Jakarta. Akan tetapi, slogan hanyalah slogan, eksistensinya dalam perusahaan apapun pada akhirnya tidak lebih dari pesan belaka untuk meningkatkan atau menjaga moral kerja pegawai dalam situasi kerja apapun. Slogan adalah harapan, bukan realitas, dan harapan sangat jarang sesuai dengan kenyataan yang disaksikan di depan mata dan dirasakan hati kita. Dalam bisnis apapun, ketidaksesuaian antara harapan dan realitas bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi. Fasilitas perusahaan bukanlah penyebab utama dari kurang tercapainya kualitas pelayanan di perusahaan, yang sering terbukti sebagai akar dari masalah perusahaan adalah perbedaan kepribadian antar insan perusahaan dan kurang harmonisnya hubungan antar sosial di dalam lingkungan perusahaan. Sesuatu yang tidak dapat dilihat langsung oleh orang – orang diluar perusahaan, namun dapat dirasakan, disaksikan, dan dialami sendiri oleh insan – insan perusahaan yang ada di dalam perusahaan. Menelisik kepada sudut pandang Psikologi sosial, setiap orang di dalam perusahaan pasti memiliki kepribadian, karakter, motif, dan misi pribadi di dalam diri mereka masing – masing. Perbedaan yang ada di dalam diri mereka, memunculkan sikap dan perilaku yang berbeda dalam bekerja. Ada pegawai yang sungguh – sungguh bekerja untuk mengabdi pada perusahaan sesuai visi dan misi awal perusahaan, ada yang mencari penerimaan sosial dan popularitas dengan menguasai lingkungan pergaulan di kantor, ada yang mencari kenaikan jenjang karier pribadi dengan menggunakan berbagai cara agar dipandang sebagai pegawai perusahaan yang berdedikasi tinggi, ada yang hanya sekedar memperoleh penghasilan untuk bertahan hidup, dan ada yang menjadikan kesempatan untuk belajar sebelum melanjutkan cita – cita di perusahaan lain atau bekerja sendiri sebagai pengusaha. Perbedaan – perbedaan itulah yang akhirnya menciptakan konflik sosial antar pegawai di dalam lingkungan kerja perusahaan, sehingga menghambat usaha pencapaian visi dan misi perusahaan sesuai dengan yang dislogankan sejak awal. Terlebih jika ego dan motif pribadi itu juga menguasai pegawai yang sudah memegang jabatan manajerial dan direksi, akan semakin sulit bagi perusahaan itu untuk tetap menancap kuat pada akar visi, misi, dan tujuan awalnya. Aku tidak tahu, entah sudah berapa kali menghadapi permasalahan seperti di atas di tempat aku bekerja, atau mendengar keluhan dari rekan – rekan kerja dari dalam kantor sendiri dan cerita dari anonim di dunia maya, seakan – akan konflik dan intrik antar rekan kerja di Jakarta sudah menjadi budaya yang kuat berkembang di kota metropolitan yang katanya menjadi tanah harapan bagi banyak orang. Janji – janji surga dari orang – orang di atasku yang dulu, bahwa Jakarta adalah tempat terbaik untuk memperoleh kejayaan bagi diri sendiri dan keluarga, memang tidak pernah kuturuti seutuhnya dalam benak pikiranku, namun semakin hari janji – janji surga kemuliaan bekerja di Ibukota memang semakin kabur dari realitas yang kuhadapi. Alangkah tidak berperasaannya membohongi orang yang belum tahu apa – apa tentang kehidupan dengan iming – iming manis. Mungkin bagi diriku, ini adalah hal biasa dan aku sudah menyiapkan diri menghadapi kenyataan itu sebelum berpindah tugas dari Semarang dua setengah tahun yang lalu, tapi aku tahu bahwa masalah ini bukan masalah personal satu orang saja. Di luar sana, masih banyak anak – anak yang lebih muda dari diriku, menghadapi pahitnya kehidupan sekolah dan pekerjaan di Jakarta, yang tidak akan tertutupi oleh mewahnya fasilitas yang mereka peroleh. Di sisi lain, nilai kejujuran dan sikap ksatria menjadi tidak berarti apa – apa bagi orang – orang yang bekerja di kota metropolitan ini. Enggan mengakui kesalahan sendiri, menyalahkan kegagalan usaha pada satu pihak dan orang tertentu, malas mencari solusi bersama dalam menghadapi masalah, tidak belajar dari kesalahan di masa lalu, agaknya sudah menjadi sikap yang lazim ditemui ketika bekerja dengan orang – orang Jakarta. Kalau perlu, menjatuhkan nama baik rekan sendiri dan mengklaim kesuksesan kerja rekan sebagai kesuksesan pribadi pun, akan dilakukan, demi tercapainya kenaikan jenjang karir pribadi. Itulah sebabnya, aku memilih untuk tetap tidak menjadi Orang Jakarta, walau aku tetap berada disini. Kapanpun di saat aku bekerja, terlebih ketika baru saja menghadapi realitas tidak menyenangkan itu untuk ke sekian kalinya, aku selalu memalingkan wajahku, dan mataku ke arah timur dari sini, ke arah tempat dimana hatiku berada dan tempat dimana aku pasti akan kembali, hingga akhir hayat nanti. |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |