|
Semasa kecil, aku mengenal konsep kepahlawanan dan figur yang dianggap sebagai pahlawan dari film, komik, atau karya fiksi lainnya, dengan ciri khas yang selalu sama : Pahlawan itu mengenakan kostum yang menjadi ciri khasnya, didambakan banyak orang, dan selalu mampu mengalahkan musuh tak peduli sekuat dan sekejam apapun musuhnya. Pada intinya, pahlawan adalah sosok yang dikenal dan diidolain semua orang. Konsep pahlawan yang seperti itu tertanam dalam benakku sampai usia remaja, dan kemudian seiring dengan perkembangan diri dan sosialku sebagai akibat dari menghadapi masyarakat di lingkungan keluarga, akademi, sampai tempat kerja, aku menemukan banyak sosok pahlawan yang tidak mencerminkan figur pahlawan yang kupercaya sebelumnya. Dalam realitas yang aku saksikan, semua manusia bisa menjadi pahlawan sesuai yang mereka mau. Sifat kepahlawanan yang ditampilkan banyak manusia di masyarakat pada umumnya hanya terlihat ketika mereka “tampil” di depan umum, namun ketika mereka berada dalam hubungan personal dengan seseorang atau beberapa orang terdekatnya, maka wajah asli dari mereka akan tampil dengan sendirinya, yang ironisnya hampir selalu (jika tidak mau dikatakan selalu) kontras dengan jiwa kepahlawanan. Lebih jauh dalam konteks peradaban manusia, konsep kepahlawanan juga bisa dipergunakan untuk kepentingan propaganda politik, merek dagang oleh kaum pemilik modal, bahkan pengkultusan individu seseorang yang memegang kepemimpinan di sebuah organisasi. Dalam kenyataan – kenyataan seperti itu, aku beberapa kali mempertanyakan eksistensi konsep kepahlawanan, apakah pahlawan itu sungguh ada atau hanya dongeng belaka? Waktu terus berjalan seperti roda yang tak pernah berhenti berputar, aku masih terus melihat pahlawan dalam berbagai bentuk di kehidupan sosial. Setelah beberapa tahun aku menjalani hidup di masyarakat sebagai pekerja, perlahan aku menemukan kembali konsep tentang kepahlawanan yang kupertanyakan selama ini. Pahlawan, adalah predikat yang diberikan pada seseorang yang telah berjasa dalam melayani manusia lain sesuai dengan peran atau profesinya di masyarakat, tanpa mengenal apa fungsi dan stratanya di tempat kerja. seorang manusia dapat dikatakan pahlawan jika ia telah tamat dalam menyelesaikan tugasnya yang memberikan kontribusi atau penyelamatan bagi banyak manusia lain, bukan seorang manusia yang memiliki kekuatan spesial dan mengenakan kostum bertopeng. Seorang pahlawan sejati tidak pernah mengatakan dirinya telah melakukan sesuatu yang berharga atau menyelamatkan manusia lain, ia mengerjakan semua itu sampai pada titik kemampuan dan ketabahan tertingginya tanpa mengharap mendapat tanda jasa dari masyarakat. Pahlawan adalah sinonim lain dari pelayan yang biasa kita lihat di organisasi kerja manapun, ia tidak banyak berbicara namun melakukan banyak hal untuk memenuhi kebutuhan manusia yang membutuhkan jasanya. Predikat pahlawan tidak perlu dicari dan tidak pantas diklaim oleh siapapun, kecuali masyarakat sendiri yang memberikan penilaian tentang apa yang telah dikerjakan oleh seseorang. Pahlawan sebenarnya adalah manusia biasa, yang bekerja dengan keras, cerdas, dan ikhlas, menggunakan segenap kemampuan, intelektualitas, kesabaran, keteguhan, kepemimpinan, dan rela melakukan pengorbanan sesuai dengan kapasitasnya. Apakah kamu pernah merasakan, betapa keras, pedih, dan menyakitkannya bekerja melayani manusia lain? Apakah pernah kamu merasakan bahwa sekeras, secerdas, dan seikhlas apapun kamu bekerja di tempatmu mencari penghidupan, kamu tetap tidak dihargai oleh mereka yang menggunakan jasamu? Apakah kamu pernah dipersalahkan atas suatu perbuatan yang tidak kamu lakukan dan kamu tidak memiliki ruang untuk pembelaan atas dirimu sekalipun kamu tidak benar – benar salah? Apakah kamu pernah merasa eksistensi dirimu tidak dihargai dalam suatu organisasi tempat kamu bernaung sekalipun kamu berusaha mempertahankan kebenaran yang kamu yakini di jalan yang lurus? Apakah kamu pernah merasakan pedihnya dikalahkan oleh seseorang yang tidak berhak memperoleh kemenangan, dengan kecurangan dan kebohongan yang dibuatnya? Apakah kamu pernah mengalami dihukum oleh institusi hukum atau masyarakat karena mempertahankan nalar dan kemanusiaan yang kamu yakini? Apakah kamu tetap berusaha untuk bekerja dalam garis Integritas dan kejujuran meskipun ada yang menuntmu untuk sengaja melakukan pelanggaran atas apa yang kamu kerjakan demi keuntungan pribadi mereka? Apakah kamu tetap berusaha loyal pada Integritas pada perusahaan dan kebenaran yang bermuara pada kemanusiaan, sekalipun kamu dikhianati atau dijatuhkan oleh rekan kerjamu sendiri? Apakah kamu mendapatkan pengucilan dari kelompok atau rekan kerjamu sendiri karena hati nuranimu mendorongmu untuk tidak ikut pada arus utama yang dianut oleh rekan – rekan kerjamu sendiri, padahal jelas mereka melaju di arus yang salah? Apapun itu, jangan menyerah sampai pada titik tertinggi dari dirimu, mungkin sesungguhnya kamu sedang berproses menjadi pahlawan yang sesungguhnya, pahlawan yang dinanti dan didambakan oleh hati manusia meski mereka tidak menyadari bahkan mengakui eksistensimu. Pahlawan tidak perlu mengatakan dirinya eksis, tidak perlu menutut penghargaan dari manusia lain atas apa yang ia kerjakan untuk mereka, dan tidak perlu tampil untuk disukai semua orang. Pada hakikaktnya, pahlawan menunjukkan eksistensinya dengan memberikan suatu hasil yang bermanfaat untuk manusia lain. Categories
0 Comments
Kanan selalu berkaitan dengan kiri. Pria berbeda namun berpasangan dengan wanita. Kesetiaan diakhiri oleh pengkhianatan. Kesehatan dimiliki agar manusia terhindar dari penyakit. Perang menjadi alasan munculnya perdamaian. Gaya formal diimbangi dengan gaya kasual. Manusia menjadi cerdas setelah ia belajar dengan sungguh – sungguh dari kebodohannya. Kesendirian diakhiri atau justru diawali oleh kebersamaan. Religi berseberangan dengan sekularisme. Air dan minyak memiliki sifat yang membuat keduanya tidak bisa bersatu secara fisika. Kekayaan muncul atau justru bisa menjadi awal dari kemiskinan. Rasa kenyang muncul setelah rasa lapar teratasi. Kebohongan menjadi penyimpangan dari kejujuran. Kebenaran menjadi jawaban atas kesalahan. Demokrasi liberal mendapat antitesa dari komunisme. Kepatuhan dilawan dengan pemberontakan. Kemajuan mendapat perlawanan dari kesejahteraan. Materialisme diatasi dengan spiritualisme. Positivisme menjadi lawan dari negativisme. Kecocokan berseberangan dengan ketidakcocokan. Kesamaan berseberangan dengan perbedaan. Dan apalagi kedua hal yang saling berlawanan namun pada kenyataannya saling berpasangan dan saling mengimbangi? Keduanya akan selalu eksis dalam kehidupan manusia di seluruh dimensi waktu dan tempat. Kamu tidak akan bisa menghindarinya. CategoriesIlmu pengetahuan adalah bagian tak terpisahkan dari peradaban manusia, karena manusia bisa mencapai peradaban pada level yang lebih tinggi dengan ilmu pengetahuan. Tanpa ilmu pengetahuan, mustahil adanya kemunculan teknologi, inovasi, dan sistem sosial dalam peradaban manusia. Oleh karena itu, sejatinya ilmu pengetahuan ada untuk mendampingi manusia yang tidak pernah mengenal rasa kenyang akan kemajuan. Jika kemajuan yang tidak terbatas adalah tujuan hidup manusia, maka ilmu pengetahuan menjadi kendaraan bagi manusia. Betapapun ada sejumlah manusia yang menentang ilmu pengetahuan dengan menggunakan konsep atau ideologi yang mengatasnamakan kembali pada bumi (alam). Rasa lapar manusia akan ilmu pengetahuan itu seiring sejalan dengan naluri manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang ia miliki. Sekali ia memperoleh suatu cita – cita, ia akan berpikir dan berusaha untuk memperoleh cita – cita lain yang lebih besar. Manusia itu tidak akan pernah puas dengan apa yang Bumi berikan, dan ia akan memandangkan matanya kepada Bulan, dan ketika Bulan pun berhasil direngkuh, Mars menjadi impian baru manusia. mungkin suatu ketika manusia berhasil menjadikan Mars sebagai Bumi kedua, manusia akan menjelejahi sampai ke luar galaksi. Sekalipun perang dan bencana alam bisa menghentikan manusia untuk melangkah ke peradaban yang lebih tinggi, namun itu hanyalah sementara. Kepuasan manusia itu adalah hal yang fana, tidak pernah eksis. Dunia tanpa perang, teknologi, ilmu pengetahuan, dan kemajuan peradaban adalah dunia tanpa manusia, sehingga kemajuan peradaban manusia adalah hal yang mutlak adanya. Permasalahannya adalah, ketika ilmu pengetahuan itu digunakan tidak sebagaimana mestinya. Ilmu pengetahuan pada hakikatnya digunakan manusia untuk membawa manusia ke peradaban yang lebih humanis, sejahtera, dan damai. Akan tetapi, semua itu dalam realitasnya hanyalah ilusi. Manusia justru menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menguasai teknologi, inovasi, dan sistem sosial yang selanjutnya digunakannya sendiri untuk menindas manusia lain, atau dalam taraf yang lebih kritis, menghancurkan bumi dengan segenap alam semesta di dalamnya. Ternyata, kemajuan ilmu pengetahuan tidaklah berbanding lurus dengan kemajuan manusia itu sendiri. Sampai kapanpun, manusia tetaplah manusia. Mereka adalah makhluk yang memiliki naluri hitam dalam dasar hatinya yang paling dalam, yaitu naluri untuk menguasai alam dan manusia lain dengan kekuatan yang dimilikinya. Pernyataan maaf dan permohonan ampun kepada Tuhan hanya membuat manusia merasa takut untuk sesaat terhadap apa yang sudah dilakukannya, namun selanjutnya manusia akan mengulang kembali dosa yang sama dengan menggunakan kekuatan yang berasal dari ilmu pengetahuannya. Sejarah peradaban manusia yang penuh dengan pengorbanan keringat, air mata, dan bahkan darah membuktikan bahwa betapapun banyaknya tragedi yang menimpa manusia, manusia tidak akan pernah berhenti menggunakan ilmu pengetahuan untuk mencapai kemajuan yang ironisnya berlawanan dengan konsep kemanusiaan itu sendiri. Semakin maju peradaban suatu masyarakat, maka manusia – manusia yang ada di dalam lingkaran peradaban masyarakat itu sendiri semakin jauh dari rasa afeksi, simpati, empati, dan lain – lainnya yang menjadikan manusia itu sebagai human being. Tidak akan pernah ada jawaban dari pertanyaan “sampai kapan manusia sadar akan kesalahannya menggunakan ilmu pengetahuan?” selain tidak akan pernah terjadi. Manusia akan tetap menjadi manusia, yang menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menguasai alam dan manusia lain, sampai Tuhan memutuskan kapan manusia harus diakhiri eksistensinya di bumi yang sangat kecil ini. Maka, dengan tangan Tuhan, yang bisa menghentikan manusia dari penyalahgunaan ilmu pengetahuan, adalah ilmu pengetahuan itu sendiri. CategoriesManusia menyadari eksistensi Tuhan adalah suatu keniscayaan, karena manusia tidak bisa mengingkari bahwa eksistensi dirinya karena suatu zat yang memiliki kekuatan dan kemampuan menciptakan apapun melebihi dirinya. Rasa inferior terhadap kekuatan lain atau marabahaya juga turut menciptakan hasrat untuk mengikuti dan berserah diri kepada Tuhan, dan dari itulah manusia mengembangkan kepercayaan terhadap Tuhan. Pada kenyataannya, manusia tidak pernah memiliki satu sistem kepercayaan yang abadi. Seiring dengan meningkatnya kualitas peradaban, kemajuan teknologi, perang, dan bencana alam yang kemudian menciptakan sejarah peradaban manusia, ada banyak agama atau aliran kepercayaan yang muncul, berkembang, dan ditinggalkan oleh manusia. Seperti halnya arsitektur, karya seni, bahasa, dan tradisi, agama pun menjadi identitas budaya manusia yang eksistensinya bertahan selama masih ada manusia yang memeliharanya Dengan adanya agama sebagai bagian dari budaya manusia, manusia diharapkan dapat hidup selaras dengan alam dan membawa manusia tetap patuh pada Tuhannya. Pada dasarnya, agama atau aliran kepercayaan itu bermaksud baik pada manusia yang mengimaninya, tanpa memandang Tuhan apa yang disembah, intisari kitab sucinya seperti apa, dan siapa yang menjadi nabi atau panutan dari agama tersebut. Asalkan agama tersebut memberikan harapan, rasa aman, menumbuhkan kepatuhan pada Tuhan dengan segala kebaikan dan keagungannya, dan mengajarkan manusia untuk berbaik hati kepada manusia dan alamnya yang beragam, tidak ada yang salah dari sebuah agama atau aliran kepercayaan tersebut. Manusia membutuhkan agama agar mereka memiliki pedoman dan prinsip dalam hidupnya, dan agama pun membutuhkan manusia sebagai umatnya agar tetap eksis di dalam ukiran sejarah peradaban manusia. Namun sayangnya, harapan itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Manusia yang terbagi dalam berbagai keberagaman budaya, kemudian saling bertentangan karena perbedaan sudut pandang dalam meyakini Tuhan. Banyak manusia mengetahui dan mempelajari agama, namun tidak sampai pada tahap esensi agama itu sendiri. Manusia seringkali mengabaikan bahwa agama ada sebagai petunjuk untuk menemukan Tuhan – nya, bukan semata – mata mencari sesuatu yang dijanjikan oleh kitab suci agama tersebut. Dan ironisnya, naluri manusia untuk menjadi lebih maju, lebih makmur, lebih cerdas, dan lebih berkuasa dari manusia lainnya, menjadikan manusia menggunakan agama sebagai alat untuk memperoleh kekuatan itu. Pada akhirnya, agama seperti sebuah ideologi politik, tidak lebih menjadi alat untuk mengendalikan banyak orang agar siapapun yang menggunakannya menjadi pemimpin untuk banyak manusia. Agama bahkan bisa dijadikan sebagai dasar tujuan agar manusia memperoleh kemegahan, sesuatu yang sesungguhnya bertolak belakang dengan dasar ajaran agama itu sendiri. Ketika agama atau aliran kepercayaan sudah berubah fungsinya dari media spiritual manusia untuk menemukan Tuhannya yang seharusnya dijalani dengan segenap kerendahan diri dan hati, muncul suara dan tulisan pemberontakan terhadap penguasa yang menggunakan agama sebagai alat kekuasaannya. Pun, agama itu yang pada awalnya diikuti masyarakat sebagai pedoman hidup, kemudian mulai dipertanyakan kebenarannya oleh mereka yang berpikir kritis atau memilih lebih mengedepankan nalar sehat daripada fanatisme. Sejarah pun membuktikan, bahwa pada fase perkembangan ini, sebuah agama sedang menuju pada keruntuhannya sendiri, atau peradaban manusia yang mengimaninya perlahan bergerak menuju ke suatu fase apa yang disebuth sebagai sekularisasi, yaitu pemisahan antara agama dan kehidupan dalam negara. Dalam kekacauan itu, kemudian muncullah mereka yang menyuarakan bahwa seharusnya manusia kembali pada alam. Alam yang masih jauh dari sentuhan peradaban manusia, adalah bumi pada awal rupanya dan sebagaimana mestinya bumi itu sendiri eksis. Entah hutan, gurun pasir, pegunungan, tepi pantai, laut, sungai, dan apapun rupanya, alam adalah tempat terbaik untuk mengembalikan manusia pada jati dirinya, dan kemanusiaannya itu sendiri. Tanpa sentuhan buatan manusia, alam akan eksis mengikuti siklus sejatinya. Dalam harmoni itu, manusia yang tadinya terjebak dalam kemegahan peradaban dan obsesi untuk menjadi lebih dari manusia yang lain, bisa kembali pada kemanusiaannya kembali. Dan pada saat itulah, manusia sejatinya dapat menemukan kembali Tuhan yang ia lupakan kemarin. Mendekatkan diri kembali pada alam adalah cara terbaik bagi manusia untuk mempertemukan dirinya kembali pada Tuhan, karena hanya dengan keadaan yang kosong dan tanpa hasrat untuk memiliki sesuatu apapun, manusia bisa memusatkan perhatiannya pada Tuhan semata, dengan dikelilingi unsur – unsur alam yang memberinya kehidupan tanpa meminta kembali pada manusia agar alam itu tetap eksis. Mengapa demikian? Karena alam adalah perwujudan Tuhan bagi manusia, yang memberinya kehidupan sekaligus mematikannya. Kita berasal dari alam, dan hanya kepada – Nya lah kita kembali, kembali pada alam. CategoriesLidah memang tak bertulang, begitu pepatah berkata. Pun lidah manusia salah satunya. Namun, meski tak bertulang, lidah memiliki keistimewaannya sendiri dibandingkan organ tubuh manusia yang lain. Sebagai indera pengecap, lidah membuat manusia mampu mengenal terhadap rasa makanan. Lidah manusia memang bisa mengatakan kebohongan, namun tidak terhadap cita rasa makanan. Rasa makanan, adalah sesuatu yang jarang dipikirkan esensinya oleh kebanyakan manusia, padahal rasa itu selalu ada pada saat manusia mengkonsumsi makanan dan minuman, entah tujuannya hanya untuk sekedar mempertahankan hidupnya atau melakukannya demi sebuah gaya hidup. Rasa makanan adalah tentang keberagaman manusia, karena setiap manusia memiliki kesukaan dan tanggapan terhadap rasa yang berbeda – beda sesuai dengan seleranya sendiri. Tidak pernah ada satu pun jenis rasa yang bisa disukai semua manusia, ada satu rasa yang disukai seseorang, ada yang ditanggapi biasa – biasa saja, dan ada yang membencinya seakan – akan rasa itu meracuninya. Citarasa makanan itu sesuatu yang sederhana namun eksis setiap kali kita memakan sesuatu, dan mencerminkan kepribadian manusia itu sendiri. Makanan yang menjadi sumber dari cita rasa itu pun tidak kalah menarik sebagai objek pemikiran. Makanan bukan sekedar ada untuk memenuhi kebutuhan perut manusia dan memberinya energi, lebih dari itu makanan ada sebagai artefak peradaban manusia dan wujud kebudayaan manusia yang eksistensinya tidak termakan oleh zaman, selama masih ada lidah manusia yang menyukainya. Setiap makanan diciptakan unik mengikuti kebiasaan, adat – istiadat, ketersediaan bahan baku dari alam, serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dari manusia yang menciptakannnya. Makanan dari Daratan Asia pada umumnya memiliki cita rasa yang kuat karena kandungan bumbu yang berasal dari rempah – rempah yang hanya bisa dikembangkan di daerah tersebut, namun tak sedikit pula makanan khas Asia khususnya dari Asia Timur Jauh dan Tenggara yang jernih karena diracik dengan lebih sedikit atau tanpa rempah – rempah, minyak, dan komposisi penambah rasa lainnya. Sementara di belahan Eropa, makanan yang pada umumnya dibuat dari gandum sebagai bahan dasarnya, tidak memiliki cita rasa yang tajam di lidah, bahkan sebagian dari makanan khas Eropa sama sekali tidak memasukkan unsur rempah – rempah ke dalam racikan makanan, namun disitulah makanan Eropa menciptakan ciri khasnya sendiri. Lebih jauh mendalami bagaimana makanan diracik di suatu daerah, yang menunjukkan kekhasan daerah itu sendiri, makanan juga mencerminkan adat dan budaya yang dianut manusia. Adalah suatu kemustahilan jika makanan diciptakan tanpa makna meskipun yang memasaknya hanya memikirkan bagaimana agar makanan yang dibuatnya layak dimakan manusia lain. Ada nilai kemanusiaan dalam sepiring makanan, yang tidak akan pernah ditemukan antara makanan yang satu dengan makanan yang lain. Seorang koki bisa saja meniru sebuah masakan hasil karya gurunya, namun cita rasa makanan buatannya tak akan pernah persis sama dengan makanan karya gurunya. Pun sebuah makanan, bisa dipersepsikan berbeda oleh manusia yang memakannya pula. Makanan yang terasa enak bagimu, belum tentu menjadi enak di lidahku, begitu pula sebaliknya. Kepribadian dan keterampilan memasak seorang koki tercermin dari masakannya, pun kepribadian dan minat seseorang secara universal juga dapat dilihat dari apa yang ia makan. Makanan yang tampak sederhana dalam kehidupan sehari – hari, entah disikapi dengan mensyukuri atau menyia – nyiakannya, memiliki banyak cerita. Ada cerita dalam sepiring makanan, cerita tentang manusia, yang memiliki makna dan hakikatnya sendiri – sendiri. Categories |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |