|
Ada saat dimana manusia memperoleh sesuatu yang sudah mereka angan – angankan sejak lama, dan terus mengulanginya hingga mereka tidak menemukan lagi rasa bahagia dan bersyukur atas sesuatu yang sudah mereka miliki. Dan hal itu kian menjadi – jadi di zaman ini, dimana manusia terus dibanjiri informasi dan iklan yang menampilkan gaya hidup berkilau sebagai tujuah hidup manusia. Dan, seiring sejalan dengan menguatnya pertumbuhan ekonomi pasar di sebuah negara, orang – orang yang disebut kelas menengah itu kian bertambah jumlahnya. Merekalah yang berperan terhadap meningkatnya konsumsi masyarakat sebuah negara, lalu memunculkan kultur konsumtif yang biasa kita saksikan di kehidupan kota – kota besar saat ini.
Terbiasa mendapatkan sesuatu dengan mudah dan banyak pilihan, membuat banyak orang, termasuk saya sendiri, mengalami degradasi rasa syukur. Rasanya, makanan restoran yang paling enak pun bisa saya sisakan tanpa perasaan bersalah, menggunakan gadget tidak maksimal namun terus menggantinya yang baru dengan alasan mengikuti tren dan teknologi terbaru, dan yang paling parah, tidak mensyukuri pekerjaan, keluarga, dan teman yang sudah dimiliki dengan susah payah. Selalu saja ada yang bisa disalahkan dan dikritik dari apa yang sudah Tuhan berikan pada kita, hingga kita tidak menyadari bahwa di luar sana ada banyak orang yang mengidamkan apa yang sudah kita peroleh saat ini. Ada makanan enak untuk dimakan, tapi lidah dan hati kita tidak bisa lagi merasakan betapa lezatnya makanan itu. Ada sekolah dan kampus sebagai tempat untuk belajar dan mencari persahabatan, tapi hati kita tidak cukup kuat untuk menjadi seorang pelajar yang aktif bersosialisasi dan tekun belajar. Ada keluarga dan rumah tempat kita pulang, tapi kita merasakan ketidakbebasan dari keluarga sendiri dan menginginkan hidup mandiri dari mereka. Ada banyak orang yang bisa dijadikan teman di tempat kerja, tapi kita memperlakukan mereka sebagai saingan bahkan musuh hingga tanpa disadari kita hanya mengejar keberhasilan karier pribadi. Ada gadget bagus yang bisa membantu pekerjaan dan kehidupan sehari – hari di saku, namun kita hanya menggunakannya untuk bermain dan menggantinya yang baru dengan cepat begitu saja hanya karena terbawa arus tren gaya hidup kosmopolitan. Dan, masih ada berapa banyak lagi nikmat Tuhan yang kita terima tanpa rasa syukur pada – Nya? Tidak akan pernah cukup disebutkan semuanya dalam secarik tulisan ini. Ironisnya, manusia kebanyakan itu justru menemukan arti dari karunia yang ia terima selama ini setelah ia mengalami kehilangan atas sesuatu atau seseorang yang selama ini disia – siakannya. Anak yang menyesali sikapnya terhadap orangtuanya yang baru meninggal, orangtua yang menyesali masa mudanya tidak dipakai untuk belajar dan bekerja sesuai dengan kemampuan yang bisa ia tunjukkan pada masa mudanya, hedonis yang menyesali perbuatan liarnya di masa lalu kemudian hendak berniat menjadi orang baik – baik dan ingin kembali dekat pada Tuhan, saudagar yang menyesal karena jatuh miskin akibat menjalankan praktek bisnis yang tidak etis dan tertangkap oleh karena perbuatannya sendiri, itu hanyalah sebagian kecil dari contoh akibat tidak adanya lagi rasa bersyukur terhadap apa yang sudah manusia miliki. Ironisnya, itulah kenyataan yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari – hari manusia. Dan, manusia tidak akan pernah tahu seperti apa penyesalan itu apabila mereka tidak mengalaminya sendiri. Manusia itu, walaupun sudah diberi tahu akan bahaya yang muncul dari perilaku mereka sendiri, tetap akan melakukan perbuatan dosa untuk merasakan sendiri betapa pedihnya penyesalan, dan betapa berartinya sesuatu yang sudah mereka miliki untuk mereka syukuri.
0 Comments
Tulisan ini saya ketik ketika saya berada dalam kondisi lelah, lelah secara fisik maupun secara hati dan kejiwaan, meski tidak sampai pada titik keputusasaan. Pekerjaan sehari – hari saya sebagai pegawai bandara yang membidangi pelatihan, itulah sumber kelelahan terbesar saya pada saat ini.
“Tapi, bukankah itu memang pekerjaanmu? Seharusnya kamu menjalankannya dengan kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas?” Tentu saja pertanyaan di atas adalah kalimat yang umumnya akan dikatakan orang di sekitar saya yang mengeluhkan rasa lelah saya, dan itu adalah pertanyaan yang wajar keluar dari mulut mereka. Namun, bukankah kelelahan adalah sesuatu yang manusiawi muncul dari seorang manusia? Ia pasti muncul dalam setiap benak manusia, walau hanya sesaat dan hinggap pada orang yang di dalam kehidupan sosialnya dianggap selalu ceria dan tegar. Jika saya merasa lelah secara fisik, itu bukan sesuatu yang perlu saya keluhkan, karena semua orang pasti akan mengalaminya karena energi manusia itu ada batasnya dan perlu “diisi ulang” dengan makan dan istirahat. Tapi jika yang lelah adalah hati dan jiwa, tentu ceritanya menjadi berbeda. Rasa lelah semacam ini tidak akan hilang hanya dengan makan, minum, tidur, relaksasi, dan (mungkin juga) rekreasi. Ia datang karena adanya kesadaran bahwa ada sesuatu yang kurang dari apa yang sudah saya peroleh, setidaknya itu menurut pandangan saya secara pribadi. Bagaimana kelelahan hati dan jiwa ini hinggap pada saya? Mungkin ada baiknya kalau saya kembali pada memori tiga tahun silam. Saya masih mengingat tiga tahun lalu, ketika saya mendapat informasi penerimaan pegawai baru di perusahaan bandara tempat saya bekerja sekarang. Itu terjadi di tengah – tengah susahnya saya mencari pekerjaan formal pertama saya. Ya, waktu itu saya masih bekerja sebagai penulis freelance dengan penghasilan yang tentu saja, untuk makan sebulan pun tidak cukup. Saya tidak menyia – nyiakan kesempatan itu dengan bantuan orangtua saya (yang sejak awal memang lebih menyukai saya bekerja di Perusahaan Milik Negara daripada Perusahaan Swasta atau bekerja mandiri sebagai freelancer). Mulai saat itu, saya pelan – pelan mengesampingkan idealisme keinginan bekerja secara mandiri sebagai freelancer ataupun pengusaha kecil dan sungguh – sungguh mengejar cita – cita baru yang belum pernah terpikirkan (dan sebenarnya memang tidak pernah saya impikan), menjadi pegawai bandara udara. Dimulai pada bulan dimana saya berulang tahun yang ke dua puluh tujuh, saya melakukan tes demi tes untuk memperoleh pekerjaan ini. Mulai dari tes Bahasa dan Matematika Dasar, berlanjut ke tes Psikologi dan penelusuran minat dan bakat, kelompok diskusi, sampai uji kemampuan Bahasa Inggris dan wawancara tahap akhir, hingga akhirnya di awal tahun kemudian, saya diumumkan diterima sebagai calon pegawai Bandara. Tentu saja sebagai seseorang yang awalnya tidak bercita – cita menjadi pekerja di industri jasa berskala besar, saya merasakan kebahagiaan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Anda tahu apa yang saya idealkan ketika saya memulai pekerjaan saya sebagai pegawai kantoran, pegawai kantoran di bandara udara? Menjadi pegawai yang bekerja dengan bersih, disiplin pada peraturan perusaahaan dan patuh pada perintah atasan, memiliki atasan yang bijaksana dan rekan kerja yang ramah dan kooperatif, dan tentu saja membangun jenjang karier sendiri layaknya pegawai muda yang baru pertama kali bekerja. Namun, apa yang terjadi setelah melalui dua setengah tahun menjadi pegawai bandara? Idealisme – idealisme masa muda menjadi seorang pegawai kantoran itu, perlahan – lahan semakin kabur dari benak saya. Menyaksikan realitas di dunia kerja yang tidak sesuai dengan idealisme dan harapan, bahkan visi dan misi perusahaan itu sendiri menjadi sesuatu yang biasa saya alami. Prosedur dan standar kerja yang sudah ditetapkan perusahaan (dan tentu saja selalu di – update secara periodik) seringkali hanya menjadi buku manual yang diabaikan, tidak jarang saya harus melakukan pekerjaan dengan melanggar prosedur karena tuntutan atasan dan rekan kerja yang tidak mau tahu proses kerja yang saya lalui asalkan hasil pekerjaan sesuai harapan mereka. Belum lagi menghadapi rekan kerja dari unit sendiri maupun unit lain yang tidak kooperatif bahkan cenderung ingin menjatuhkan sesama rekan kerja, menghadapi klien yang hanya mengejar keuntungan sendiri, egoisme rekan – rekan kerja dari kantor cabang, kecenderungan mengambil keuntungan pribadi dari perusahaan yang tampak dari perilaku beberapa rekan kerja, dan tentu saja : Kebijakan atasan yang sewenang – wenang, tidak peduli nasib anak buah asalkan misinya berhasil. Untuk poin terakhir, tidak jarang saya melihat (dan akhirnya mengalami sendiri) anak buah yang mentalangi biaya untuk sebuah atau beberapa proyek pekerjaan sementara sang bos tetap berusaha menghindari pengorbanan pribadi untuk proyek yang dicetuskannya sendiri. Dari situlah kelelahan hati dan jiwa saya sebagai pegawai bandara berasal. Perlahan – lahan saya mulai mempertanyakan kembali, apa arti idealisme sebagai pegawai negara yang selama ini saya perjuangkan? Mengapa saya harus terus mengulangi kesalahan – kesalahan yang disengaja demi tercapainya suatu pekerjaan? Benarkah persahabatan dalam dunia kerja itu eksis? Apakah saya harus terus memasang senyum dan keramahan palsu demi menutupi rasa kecewa pada atasan dan rekan kerja? Haruskah saya membiarkan keramahan palsu dan sikap membenarkan kesalahan terus terjadi di depan mata saya? Masih banyak pertanyaan – pertanyaan tak terjawab yang eksis karena hasil dari apa yang saya lalui selama bekerja di perusahaan negara penyedia jasa bandara ini. Sayangnya, saya bukan manusia yang cukup optimis bahwa semua kesalahan yang terjadi dalam dunia kerja ini adalah sesuatu yang bisa diperbaiki, tidak peduli bagaimanapun caranya, melalui cara yang moderat atau pun cara yang revolusioner. Bahkan jika saya melakukannya secara kolektif, bekerjasama dengan rekan kerja yang memiliki kesamaan idealisme dengan saya, saya tidak yakin berada pada posisi pemenang, karena ini adalah masalah budaya masyarakat yang masuk ke dalam budaya perusahaan, bukan budaya perusahaan semata. Selama kultur berpura – pura dan memandang sesuatu yang tampak dari luar lebih penting daripada memahami sesuatu secara mendalam masih dianut banyak orang di masyarakat ini, saya tidak bisa cukup optimis agar revolusi yang saya cita – citakan dari idealisme awal itu dapat terwujud. Meskipun begitu, saya tidak merasa bahwa saya harus mundur dari perusahaan bandara tempat saya bekerja sekarang. Itu bukanlah opsi bagi saya, karena mencari tempat bekerja yang lain demi membangun asa dan idealisme dari awal lagi belum tentu bisa terwujud, selama karakter sosiologis orang – orang tempat saya berada sekarang, masih seperti itu – itu juga. Saya masih memegang ide bahwa berpindah tempat atau melarikan diri bukanlah solusi untuk menemukan apa yang saya cari. Setidaknya, itu yang masih saya percaya saat ini untuk menjaga asa dan moral agar saya tetap memiliki alasan untuk terus bekerja menjadi pegawai bandara. Saya juga paham, bahwa apa yang saya alami ini belumlah berarti apa – apa jika dibandingkan dengan rekan senior saya yang saya lihat, mengalami nasib yang sama seperti yang saya alami. Saya tidak bisa terus meratapi dan menyesali keadaan ini terus, yang bisa saya lakukan hanya terus bekerja dan memenuhi tanggung jawab sesuai kapasitas saya sebagai pegawai bandara dari unit pelatihan. Unit tempat saya bekerja, memang didesain sebagai unit untuk mengajar dan mengembangkan pegawai lain, dan seharusnya juga bisa menjadi tempat bagi saya sendiri untuk belajar dan tumbuh berkembang semakin dewasa, baik sebagai pekerja maupun sebagai manusia. Kini, di usia dua setengah tahun karier saya sebagai pegawai bandara, saya mulai mencoba bersikap lebih pragmatis dari luar, walaupun dalam hati saya tetap berusaha menjaga asa untuk teguh pada idealisme dasar saya yang sudah saya tanamkan sejak memulai karier saya disini. Idealisme untuk menjadi pekerja yang ulet, disiplin, tangguh, loyal pada tujuan dan misi, tidak mudah goyah oleh keadaan, dan yang terpenting, tetap kuat menjalankan pekerjaan walaupun mendapat tekanan dari rekan kerja sendiri, atasan, bahkan klien. Ketidaksesuaian realita dengan idealisme yang saya peroleh memang menyakitkan hati dan sempat meremukkan asa saya, tetapi idealisme saya tidak akan hilang tanpa bekas hanya karena itu. Saya percaya walau hidup itu penuh dengan paradoks antara idealisme dengan realita, itu bukanlah wujud dari kekalahan saya. Sebaliknya, saya benar – benar kalah apabila saya menjadi sama dengan mereka yang membuat perusahaan ini menjadi penuh kesalahan prosedur, kepura – puraan, dan kekacauan. Mungkin, saat ini, mereka akan melihat saya terlihat serupa dan tunduk pada kultur kerja mereka, tapi di dalam, saya tetaplah saya yang dulu, yang masih setia pada idealisme untuk menjadi pekerja sekaligus manusia yang “baik.” Terakhir, saya meyakini bahwa memang inilah jalan yang harus saya lalui sebagai pekerja ataupun sebagai manusia, dan saya rasa itu cukup untuk membuat saya menemukan apa sesungguhnya arti di balik kalimat “kemuliaan melayani” yang menjadi tagline perusahaan bandara tempat saya bekerja disini. |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |