|
Manusia itu hidup dengan berbagai keinginan, disamping kebutuhan yang harus dipenuhi untuk mempertahankan hidupnya sendiri. Tanpa memenuhi kebutuhan dasarnya, manusia akan mati, dan tanpa memenuhi keinginannya, manusia akan kehilangan arti diri dan arti eksistensi dirinya sendiri. Oleh karena itu, seiring dengan pertumbuhan diri dan perkembangannya dalam memasuki masyarakat, manusia kian mengembangkan keinginan – keinginannya. Pada kenyataannya, keinginan bukanlah sesuatu yang mudah dicapai. Semua orang bisa dengan mudah mengatakan “ingin ini,” “ingin itu,” dan ingin sebagainya, namun hanya sebagaian manusia yang benar – benar mau dan bisa melangkah menuju apa yang diinginkannya. Keinginan itu sama dengan kebutuhan dalam proses pencapaiannya : Membutuhkan usaha. Manusia harus melakukan usaha yang mengarahkan dirinya pada keinginannya dengan tindakan yang keras (membutuhkan pengorbanan, mengeluarkan keringat, air mata, bahkan darah), memerlukan cara berpikir yang kreatif dengan mencoba mencari teknik – teknik baru yang belum pernah terpikirkan oleh manusia lain sebelumnya bahkan mencoba teknik yang tidak lazim dilakukan manusia lain, dan tentunya memerlukan rasa ikhlas yang tinggi karena usaha untuk mencapai suatu keinginan pasti memunculkan konflik kepentingan dan idealisme dengan manusia lain. Memang kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas tidak menjamin sepenuhnya bahwa manusia akan mencapai sesuatu yang mereka inginkan, namun ketika Tuhan memenuhi harapan manusia terhadap keinginannya, tentu rasa puas dan berhasil yang akan datang pada diri mereka. Manusia – manusia yang telah berusaha keras, kreatif, dan ikhlas, dengan mengorbankan sebagian dari apa yang mereka punya sebelumnya dan membayar berbagai hal yang dibutuhkan untuk melangkah mencapai keinginannya, memang layak mendapatkan keinginan dulu lama mereka dambakan. Pepatah bijak sederhana mengatakan bahwa kerja keras tidak akan pernah mengkhianati hasil, walau proses yang dilalui dan waktu yang diperlukan untuk mencapai keinginan tersebut berat dan berjalan lama. Tetapi sayangnya, kebanyakan manusia yang sudah mencapai keinginannya, menjadi lupa dengan proses yang telah mereka lalui untuk mencapai keinginan tersebut, lupa mensyukuri nikmat yang telah Tuhan berikan pada hari ini dan menaruh keinginan yang lebih tinggi lagi. Manusia yang pada dasarnya memang tidak memiliki batas kedalaman akan rasa puas itu, setelah mencapai suatu keinginan, kemudian menengadahkan kepalanya ke langit yang lebih tinggi lagi, atau dengan kata lain, bertekad untuk mencapai keinginan yang lebih besar dan lebih bernilai lagi. Rasa tidak pernah puas pada manusia itu bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, bisa membawa manusia ke jenjang kemajuan yang lebih progresif, namun di sisi lain bisa menjebak manusia jatuh pada jurang yang amat dalam, yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Banyak manusia tidak menyadari, bahwa ketika mereka berusaha memperoleh kemajuan di satu bidang, maka sesungguhnya ia sedang mencapai kemunduran dalam bidang yang lain. Naluri manusia untuk lebih kaya secara materi dan ekonomi banyak membuat manusia kehilangan rasa perikemanusiaan pada sesamanya, pun naluri manusia untuk mencapai kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi kerap kali membuat manusia melupakan spiritualitas diri dan bahkan Tuhan – nya sendiri. Hingga pada suatu titik pencapaian – pencapaian usahanya, manusia menemukan titik jenuh dalam dirinya sendiri. Kemudian, mereka mulai memikirkan kembali tentang keinginan – keinginannya dan segala usaha yang dilakukannya untuk mencapai itu (keinginannya). Sesungguhnya untuk apa hasil – hasil dari usahanya selama ini, dan untuk siapa mereka berusaha memenuhi keinginan – keinginannya. Kelak mereka akan tersadarkan, bahwa terlalu banyak menginginkan sesuatu membuat mereka menjadi lupa diri, lupa pada manusia – manusia lain di sekitarnya, lupa pada lingkungannya, lupa pada Tuhan – nya, dan bahkan lupa pada segalanya. Pada titik ini, manusia pun bertanya kepada dirinya sendiri : Sesungguhnya ap makna dari semua yang telah mereka lakukan dan mereka korbankan selama ini, dan apakah mereka benar – benar menginginkan segala sesuatu yang telah mereka peroleh selama ini? Categories
1 Comment
Ada masa ketika kita memulai sesuatu yang menjadi cita – cita atau passion dalam hidup. Kata sebagian manusia, menggapai cita – cita adalah bagian terbaik dalam hidupnya, sesuatu yang akan terus terekam dalam memori mereka dan tidak ingin pula mereka lupakan. Kesan pertama yang baik, memberikan harapan yang tinggi pula pada manusia. namun, pada saat itu banyak sekali manusia yang tidak menyadari bahwa akan ada sesuatu yang menguji kekuatan mereka dan seberapa besar kecintaan mereka terhadap cita – cita yang telah mereka raih sendiri. Detik terus berdentang, sampai pada suatu titik di mana manusia telah melewati fase bulan madu dari pencapaiannya. Fase ujian yang sesungguhnya pun datang. Ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan harapan, kenyataan yang tidak berjalan dengan idealisme, pertemuan dengan musuh dan teman yang mengkhianati diri, kegagalan dalam satu atau beberapa pekerjaan, dan hal – hal lainnya yang mengecewakan. Sebagian manusia menyikapi keadaan yang buruk (jika tidak menjadi yang terburuk) dalam pencapaian mereka dengan berbagai reaksi : Ada yang berputus asa dan memutuskan untuk menghentikan usahanya, ada yang melarikan diri dengan melangkah menuju kepada hal lain yang tidak berhubungan dengan cita – citanya, ada yang mengasingkan diri sejenak untuk mencari tahu apa yang salah dari lingkungan mereka atau diri mereka sendiri terhadap kejatuhannya, dan ada yang mencoba berusaha tidak menyerah secara frontal walau sedang terjatuh. Apapun sikap manusia ketika menghadapi keadaan tersulit dalam suatu usaha mencapai cita – citanya, kuncinya ada pada dia sendiri yang sudah Tuhan berikan. Ia bisa memilih untuk tetap menjadi seperti yang dulu dan tidak ada perubahan sama sekali, atau berbalik menjadi sosok yang sama sekali berbeda dengan dirinya yang dulu, atau hanya mengubah sebagian dari dirinya dengan menjadi sosok yang lebih kuat daripada sebelumnya. Pilihan sikap yang terakhir adalah pilihan yang pada umumnya enggan diambil manusia, dan kenyataannya menjadi pilihan yang paling sulit untuk dilalui. Itu membutuhkan penerimaan, keikhlasan, pengorbanan, yang merusak kenyamanan diri seseorang. Ada sesuatu yang biasanya melekat pada diri kita namun pada saat itu harus dilepaskan agar manusia terbangun dari kejatuhannya dan kembali menanjak menggapai cita – citanya. Dalam pilihan tersebut, biasanya manusia akan tersadar bahwa kekecewaan dan kesedihan yang diperolehnya di titik nadir adalah bagian dari usahanya sendiri, yang menguji kesungguhannya menggapai cita – cita yang lebih besar lagi. Mau melangkah menuju cita – cita yang lebih besar, tetap berpuas diri dengan keadaan yang sekarang, atau justru membiarkan diri jatuh ke titik nadir, itu adalah pilihan yang Tuhan berikan untuk takdir manusia sendiri. Categories |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |