|
Negeri berpredikat Matahari Terbit bukanlah negeri yang asing bagiku, karena negeri itu sudah dekat dengan kehidupanku sejak aku masih kecil hingga sekarang, dan aku masih tetap mengidolainya sama seperti dulu, kadar kekagumanku pada – Nya tak pernah hilang meski terkadang naik – turun dalam memperhatikannya sudah menjadi hal yang biasa. Seperti predikat yang diberikannya dari bangsa lain, Negeri Matahari Terbit memang kenyataannya menjadi sumber inspirasi bagi banyak bangsa lain, mempesona di balik ketersembunyiannya di antara negara – negara yang lebih besar, dan menyimpan banyak hal – hal besar di balik etos sosial dan kultur manusianya yang enggan menonjolkan diri. Bangsa ini memang bukan bangsa inventor jenius yang biasa menemukan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya, namun bisa membuat apa yang dibuat oleh bangsa lain menjadi suatu karya yang lebih apik dari aslinya. Apa saja yang diciptakan oleh tangan – tangan tekun bangsa ini, selalu dibuat dengan makna mendalam dan menekankan pada kesempurnaan. Bangsa yang lebih menghargai proses daripada hasil, begitulah kebanyakan analis budaya dan sosiologi menggambarkan bangsa ini. Uniknya, meskipun arus budaya bangsa lain yang berorientasi pada hasil dan kecepatan kerja sangat mendominasi etos kerja dan budaya masyarakat dalam ruang lingkup global, masyarakat Negeri Matahari Terbit seakan tetap bersikeras dengan pandangannya tentang keindahan sebuah proses. Hasil yang sempurna bagi bangsa ini, menjadi tidak ada nilainya apabila diperoleh dengan proses yang tidak jujur, keluar dari pedoman, tidak harmonis, dan melanggar etika yang berlaku. Hasilnya, kita bisa melihat banyak karya bangsa ini yang dapat terus dipakai dan dirasakan hingga sekarang, sekaligus juga dikenang dalam sejarah. Betapapun sempurnanya dedikasi negeri ini untuk dunia, Dia bukanlah negeri dewa seperti yang yang menjadi kepercayaan spiritual bagi manusianya. Matahari menyinari manusia dan alam di dunia pun tidak hanya menghidupkan mereka, namun juga menimbulkan bencana kekeringan dan kelaparan di beberapa bagian di muka bumi, pun begitu bagi negeri ini. Sejarah membuktikan bahwa sejak dulu hingga hari ini pun, Matahari Terbit tidak lekang nalurinya untuk mengekspansi kebebasannya menjadikan bangsa lain bergantung pada – Nya. Lebih dari tujuh puluh tahun lalu, Negeri Matahari Terbit menggunakan kekuatan militer untuk membuktikan kemampuannya pada dunia, yang kemudian mengubah negeri ini dari sebuah negeri kepulauan kecil yang tertutup menjadi Kerajaan Agung yang memiliki kekuasaan hampir di seluruh benua tempatnya berasal. Negeri ini seperti berada dalam kondisi mabuk kemenangan, menganggap dirinya layak menjadi idola untuk bangsa satu rumpunnya sendiri dan menjadi monster bagi Bangsa Barat yang sudah lebih dahulu bertindak sebagai penjajah untuk bangsa lainnya di planet ini. Negeri Matahari Terbit yang berubah menjadi arogan dan jumawa ini pun tidak perlu waktu lama untuk merasakan karma dari Tuhan bahwa betapa pedihnya diinjak martabat diri oleh bangsa lain. Ketika dua bom atom dijatuhkan di tanah air bangsa ini, negeri ini hanya punya waktu beberapa hari sebelum menyatakan diri untuk menyerah. Kejayaan dan kemegahan Agungnya Matahari Terbit habis tertiup oleh angin bom atom, dan sejak saat itu bangsa ini pun dipaksa oleh keadaan untuk berubah menjadi bangsa yang menganut pasifisme, bagaikan seorang samurai yang membuang pedangnya untuk membersihkan tangannya yang sudah terlanjur bermandikan darah dari musuh maupun korban kekejiannya di masa lalu. Zaman kemudian berganti, bangsa ini perlahan berusaha mengubah citra dirinya dari bangsa penjajah menjadi bangsa yang mempromosikan kedamaian termasuk bahaya bom atom, sambil mengubah segala industri dan teknologi yang dimilikinya dari pembuat senapan mesin dan senjata lainnya menjadi pembuat alat elektronik dan kendaraan. Matahari terbit yang belum lama tenggelam oleh kekalahan di medan perang itu pun kemudian kembali terbit menjadi bangsa yang kembali dikagumi, kali ini dengan konotasi positif. Negeri ini menyinari kembali dunia dengan segala ide, inovasi, pemikiran, teknologi, ilmu pengetahuan, dan karya seni yang bahkan tidak pernah dibayangkan sendiri oleh bangsa ini sebelumnya. Bagaimana mungkin bangsa kecil yang hancur oleh bom atom itu bisa kembali berdiri tegak di atas panggung dan memancarkan pesona yang belum pernah terlihat sebelumnya. Mungkin memang ada benarnya jika bangsa ini adalah representasi matahari, seakan Tuhan menciptakan negeri Matahari Terbit pada saat Tuhan sedang serius. Dan, waktu terus berjalan di dunia yang tidak pernah berhenti berputar ini, mengubah apapun yang ada di dunia, dan Negeri Matahari Terbit bukanlah suatu pengecualian dari perubahan tersebut. Seiring dengan banyaknya pencapaian yang telah direngkuh oleh bangsa ini, Matahari Terbit pun kini seakan berada pada posisi tengah hari, yang secara hukum alam akan membuatnya bergerak perlahan kepada sisi bumi yang lain, atau dengan kata lain, kini matahari itu mulai bergerak menuju posisi terbenam apabila dilihat oleh mata manusia. Ada banyak hal yang membuat Matahari Terbit mulai kehilangan pancaran cahayanya, yang bisa disaksikan dengan menurunnya populasi masyarakat bangsa ini, keengganan generasi mudanya untuk melanjutkan kemajuan yang telah dibuat oleh generasi pendahulunya, masyarakat yang kian menggunakan teknologi untuk memudahkan hidup dan secara terproses membuat bangsa ini kian malas menggunakan otak dan raganya, hilangnya nilai – nilai spiritual yang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan dengan materi dan teknologi yang telah dikuasai bangsa ini, dan beberapa hal lain yang mengindikasikan Matahari Terbit itu seperti manusia yang berjalan tanpa tujuan dan tinggal menunggu datangnya kematian itu. Di satu sisi, nilai – nilai perdamaian dan pasifisme yang dianut bangsa ini untuk menghapus masa lalunya yang penuh dengan darah, kini seakan mulai luntur. Arah politik luar negeri Matahari Terbit yang bisa dibaca di media massa maupun jurnal penelitian ilmu sosial kian menunjukkan, bahwa negeri ini seakan menemukan kembali naluri alaminya sebagai bangsa penjajah yang suatu saat akan membuka kotak pandora berisi pedang samurainya sendiri. Sejarah membuktikan, bahwa manusia di belahan dunia manapun akan selalu mengulangi dosa – dosa yang telah dibuat oleh para pendahulunya, dan bangsa ini pun lagi – lagi bukan sebuah pengecualian. Entah siapa yang tahu, kecuali Tuhan, bahwa suatu saat Negeri Matahari Terbit akan mengulangi kembali dosa yang sama pada dunia dengan wajah dan kekuatan yang tidak jauh berbeda dengan di masa lalunya. Pada saat ini pun aku bertanya, apakah bangsa yang sangat kukagumi itu benar – benar belajar dari masa lalunya yang kelam, keji, dan berlumur dosa. Tidakkah penderitaan yang muncul akibat dari bom atom itu cukup untuk menetralisir naluri agresif dan menguasai yang diam – diam tertanam di benak bangsa ini. Maka dari itu, mungkin ada benarnya bahwa matahari itu eksis dengan membawa berkah sekaligus bencana bagi manusia. Ia menyinari manusia untuk memberikan kehidupan pada manusia, namun di sisi lain matahari dengan kekuatannya bisa mengakhiri peradaban manusia dengan melelehkan raga mereka. Kepada Negeri Matahari Terbit yang kupercaya, seperti apapun diri – Mu, aku tetap menghormati dan mengagumi – Mu dengan segala apa yang Engkau miliki. Semoga suatu saat, pada saat aku sudah bisa menjejakkan kakiku di tanah dan air – Mu, Engkau tetap menjejak ke bumi dan tidak mengkhianati khitah sebagai sumber cahaya bagi yang lain. Hari ini, sambil merayakan Hari Kemerdekaan Negeriku sendiri, aku turut mendoakan - Mu sebagai Hari Awal Kebangkitan Kembali bagi - Mu. Categories
0 Comments
Bebas, satu kata yang berkonotasi menyenangkan bagi sebagian besar manusia, jika tidak mau dikatakan semua manusia. Siapa yang tak senang dengan kata bebas, karena satu patah kata tersebut bermakna adanya kondisi tanpa ikatan dari kekuatan lain oleh manusia. Manusia yang mendapatkan kebebasan, bisa menggerakkan tubuhnya tanpa batasan ruang gerak, melakukan apapun yang ia inginkan, memperoleh apa yang harus ia miliki, tidak mudah terpengaruh oleh berbagai hal yang tidak disukainya, terhindar dari hal – hal yang merugikan dirinya, atau berada pada kondisi jauh dari sesuatu atau seseorang yang membahayakannya. Dengan demikian, siapa yang tidak senang dengan kebebasan. Kebebasan menjanjikan manusia memperoleh sesuatu yang ia butuhkan dan ia inginkan, dan tentu saja semua hal yang positif dari sudut pandang manusia ada dalam kebebasan itu sendiri. Di satu sisi, kehidupan manusia di dunia tidak pernah sepenuhnya bermakna positif. Di balik hal – hal yang kita anggap positif, akan selalu ada hal negatif yang menyertainya. Manusia itu hidup dengan hukum alam dan karma, bahwa ia bisa menjadi makhluk paling mulia namun di satu sisi ia tidak akan pernah bisa untuk tidak melakukan dosa, seperti dua sisi dari koin yang sama. Kebebasan yang didambakan semua manusia itu sesungguhnya juga menjadi ancaman pengekangan terhadap manusia yang lain. Ketika kita berusaha untuk bebas, kita melakukan itu dengan memberikan perintah, okupasi, atau penganiayaan kepada orang lain, atau setidaknya membatasi kebebasan yang dimiliki manusia lain. Dan tentu aka nada suatu saat di mana kita kehilangan atau setidaknya kekurangan kebebasan dalam suatu hal karena tindakan orang lain yang berusaha mencari kebebasan untuk dirinya sendiri. Menguasai manusia lain untuk memperoleh kebebasan diri kita sendiri, atau kita yang berusaha merebut kembali kebebasan kita dengan cara melawan orang yang mencoba menguasai keadaan kita saat ini. Melanjutkan kembali bagaimana kebebasan itu sesungguhnya diperoleh dengan cara merampas apa yang orang lain miliki, kebebasan pun menjadi tidak gratis bagi siapapun. Untuk memperoleh kondisi bebas, manusia harus memiliki niat, kesabaran, keikhlasan, dan kecerdikan, dan usaha keras yang sungguh – sungguh agar ia mendapatkan kebebasan yang ingin ia capai. Semakin keras usahanya, tentunya dengan mengorbankan banyak hal dan orang di sekitarnya, maka kebebasan yang ia peroleh akan semakin luas. Ada harga yang harus dibayar oleh seseorang yang mencoba menggapai kebebasan, dan ironisnya itu justru membuatnya semakin tidak bebas dibandingkan keadaannya yang dulu, dan tentunya kebebasan orang lain yang ia rebut. Semoga hari ini kita pun tidak lupa, bahwa di tengah usaha kita memperoleh kebebasan, kita juga sedang berjuang untuk merebut kebebasan manusia lain dan mempertahankan kebebasan sendiri yang sudah kita miliki. CategoriesTiga tahun hampir kulalui sejak aku meninggalkan Semarang (dan juga Yogyakarta) yang kucinta untuk memenuhi panggilan bertugas di Ibukota bernama Jakarta, sesuai Surat Perintah Pemanggilan Mutasi Kerja. Dan, sampai hari ini pun perasaanku kepada Ibukota yang megah ini tidak juga berubah. Tidak semua manusia menyukai perubahan, termasuk berada di tempat baru. Dan aku pun termasuk salah satu di antara mereka yang mengalami masa – masa seperti itu. Sayangnya, aku tidak mengalami fase penerimaan menghadapi pemindahan lokasi tempat aku bekerja sekarang. Tiga tahun kulalui dengan kesan dan perasaan yang tidak berubah : Keengganan dan rasa benci. Bagaimanapun megah dan indahnya kota metropolitan berhiaskan lampu – lampu dari gedung pencakar langit yang nyaris tak terhitung jumlahnya bagaikan miniatur New York di tengah Negeri Mutiara Khatulistiwa ini, tetap tidak mencerahkan hatiku di sini. Ada banyak alasan untuk aku mengapa aku tidak mengubah perasaan hatiku pada kota ini : Egosentrisnya budaya kerja orang disini, padatnya kapasitas penduduk di kota ini, kemacetan yang diakibatkan terus bertambahnya kendaraan bermotor disini, konsumerisme atau budaya belanja yang tidak terkendali seakan nilai uang tidak ada artinya, rendahnya moral dan spiritualitas masyarakat, sikap tidak menghargai sesuatu yang sudah mereka miliki, ketidakpedulian pada akar budaya dan tempat asal masing – masing, rasa tidak menghargai pada mereka yang berpikiran “berbeda dari yang lain,” dan cara menilai seseorang karena pakaian yang mereka kenakan dan bukan apa yang ada di dalam mereka. Tiga hingga dua tahun yang lalu pun, aku pernah mengalami fase adaptasi yang sulit untuk tetap menjadi diriku seperti apa adanya dulu, aku terjebak dalam budaya konsumerisme dan hasrat mengikuti gaya hidup masyarakat kebanyakan di sini, yang lambat laut kupahami (kembali) bahwa itu semua tidak akan ada artinya jika aku kehilangan jati diriku yang dulu. Aku mengakui bahwa ada saatnya aku berusaha menerima kehidupanku di ibukota dengan melihat sisi yang bisa aku sukai di sini : Senayan, Blok M, Kemang, dan Salihara. Namun, betapapun kuat pesona dari sisi Jakarta yang memberikan kepuasan terhadap Kebudayaan Jepang, literatur, atau tempat makan enak yang memang aku minati, tidak bisa membuatku melupakan keinginan untuk kembali ke Jawa Tengah atau memalingkan pandangan ke Indonesia Timur. Kemegahan Ibukota dengan segala yang dimilikinya mampu memuaskan nafsu duniawi semua orang, namun hanya sedikit yang menemukan kepuasan jiwa dan spiritual di sini. Di suatu saat, tidak jauh dari sekarang, aku mulai menyadari bahwa meratapi apa yang sudah menjadi tanggung jawabku tidak akan mengubah keadaan apapun. Betapapun keras aku berteriak kepada Tuhan untuk mengubah keadaan sesuai apa yang kuharapkan seperti di Semarang dan Yogyakarta dulu, aku tetap belum bisa mendapatkan kembali apa yang dulu pernah kumiliki tersebut. Aku harus terus bergerak agar tidak tewas begitu saja oleh keras dan kacaunya manusia – manusia Ibukota yang ada di sekitarku. Aku perlahan sadar, bahwa selama tiga tahun ini aku sudah belajar, berlatih, dan mengembangkan diri untuk membentuk diriku menjadi sosok manusia yang lebih kuat, sesuatu yang belum pernah kumiliki sebelum aku berada disini. Meski proses menjadi lebih kuat ini memang membuat diriku tidak bahagia, aku merasakan perubahan diriku menjadi diri yang agak berbeda denganku yang dulu. Ada kekuatan hati, pendayagunaan energi dan otak hingga mendekati titik maksimal, keteguhan mempertahankan tekad, kemampuan melaksanakan tugas berbeda secara bersamaan dengan tuntutan seharmonis mungkin, kemampuan mempertahankan senyum di wajah dan keramahan sikap di bawah tekanan amarah orang yang harus aku layani, dan melakukan cara menyelesaikan tugas dengan cerdik yang mungkin tidak pernah dilakukan orang lain. Meski pada awalnya itu mengingkari prinsip pribadiku untuk mengerjakan sesuatu dengan mengikuti mandiri, harmoni, mementingkan proses, dan mengutamakan pencapaian hasil yang bersih, namun seiring waktu berjalan aku mulai mengerti bagaimana mendamaikan idealisme pribadi dalam bekerja dengan tuntutan bekerja untuk melayani orang di tempatku bekerja, yang tentu saja sebagian besar dari mereka tidak akur dengan idealisme yang tertanam dalam benakku. Memang menyakitkan prosesnya, tapi dari sana Tuhan seakan berbisik padaku, bahwa proses seperti inilah yang mendewasakan diriku, menguji keyakinanku dalam mempertahankan idealisme dan kebenaran di bawah tekanan, membuktikan seberapa dalam kesabaran dan ke – welas asih – an diriku dalam menghadapi mereka yang sudah terlanjur terasimilasi dengan budaya manusia Jakarta yang dalam sudut pandang kebenearan yang kuyakini – biadab. Ketika aku memikirkan kembali ketidaksesuaian idealisme dengan realitas yang kuhadapi di kehidupan di Jakarta ini, aku tercenung oleh sikapku yang selama ini hanya mengeluhkan keadaan, padahal sesungguhnya ini hanyalah bagian kecil dalam kehidupanku yang memberikan kekuatan pada diriku sendiri untuk menghadapi suatu masalah yang lebih besar lagi di kemudian hari. Seakan membuka buku lama yang sudah kubaca namun aku lupa intisarinya, aku teringat kisah kepahlawanan dalam sebuah buku cerita, bahwa seorang tokoh utama yang menjadi pahlawan pun dulunya menjadi manusia yang salah atau bahkan penjahat yang kemudian belajar dari kesalahan dan kekalahannya untuk menjadi ksatria. Seorang pahlawan pun akan mengalami sakitnya kekalahan sebelum ia berhasil memenangkan perjuangan untuk membuktikan kebenaran yang ia yakini atau membela orang lain yang harus dilindunginya. Tidak peduli meskipun sang pahlawan harus berjuang seorang diri, ia terus berjuang dengan berusaha tidak mengkhianati keyakinannya. Kesukaran tidak akan menjadi sukar apabila dihadapi dengan ekspresi wajah dingin dan tubuh yang tidak pernah merasa lelah bekerja hingga pekerjaan dan tanggung jawab terselesaikan, dan sebaliknya kesukaran itu menjadi kian sukar apabila dihadapi dengan sikap keengganan dan rasa kalah sebelum menghadapi perang yang sesungguhnya. Seperti halnya keyakinan yang kuat membawa seseorang pada kemenangan yang hendak ia rengkuh, ketidakyakinan pun menggiring orang tersebut pada kekalahan pula, walau tidak semua manusia cukup beruntung untuk memperoleh kemenangan. Meskipun aku digariskan oleh Tuhan untuk kalah dalam beberapa hal perjuangan, namun aku merasakan bahwa proses berjuang untuk memperoleh sesuatu itu bukanlah hal yang buruk pada akhirnya, malah di akhir perjuanganku itu adalah suatu hal yang memberikanku kesan dan makna mendalam, sebagai pelajaran terbaik untuk memperbaiki diri di kemudian hari, memperoleh kemenangan di perjuangan lain. Dan, ironisnya, terkadang aku justru mendapatkan apa yang ingin aku rengkuh di perjuangan masa laluku di kemudian hari, suatu berkah dari Tuhan yang kedatangannya tidak aku sangka sama sekali. Dan, sebagian dari kemenangan yang tertunda itu kini menjadi milikku, dan mengajarkanku untuk menjaganya dan menghargai apa yang sudah kumiliki saat ini. Terkadang, perubahan manusia dari sosok yang lemah menjadi seseorang yang lebih kuat dan tegar, menjadikannya ia sombong dan melupakan akarnya seperti pepatah kacang yang lupa akan kulitnya ia berasal. Aku masih menyadari bahwa itu pun tidak boleh terjadi pada diriku. Jika peningkatan pada diriku mengubahku menjadi arogan dan sombong, maka seluruh perjuanganku selama ini akan mengubah jalan hidupku dari jalan hidup yang bermakna menjadi jalan menuju kehancuran untuk diriku sendiri. Tak peduli meskipun kini aku berjuang di Kota Metropolitan, aku harus berjanji pada diriku sendiri untuk tetap menjadi manusia yang memegang idealisme, prinsip kesederhanaan, dan setiap pada kebenaran yang kuyakini seperti ketika aku masih di Yogyakarta dan Semarang dulu. Manusia boleh saja hidup berjuang dengan bertualang dari satu medan perang ke medan perang yang lain, namun ia tetap tidak boleh lepas dari akar dirinya berasal, dan aku sangat percaya akan hal itu. Sekeras apapun mereka membawaku untuk berubah menjadi seperti rupa dan karakter mereka, jiwaku tetap tidak akan bisa diubah, sebagaimana manusia yang memiliki keyakinan pada Tuhan sesuai agama yang ia anut, ia memiliki hak untuk mempertahankan keyakinan pada agama yang dia anut. Bukankah kuatnya keyakinan seseorang yang beragama terbentuk dari perlakuan yang ia terima dari orang – orang disekitarnya agar ia meninggalkan keyakinan pada agama tersebut beserta Tuhan yang harus dia abdi? Kepada Tuhan yang aku percaya, terima kasih telah membawaku ke dalam jalan kehidupan yang seperti ini di medan perang berwujud Kota Metropolitan ini. Aku pasti memenuhi janji untuk setia memegang nilai – nilai luhur Budaya Jawa meskipun aku berada di tengah – tengah manusia metropolisatau manusia pendatang dari luar Jakarta yang sudah larut dalam racunnya budaya Kota Metropolitan yang terus mendehumanisasikan menusia ke dalam nilai – nilai materialisme semu yang eksistensinya tidak akan kekal, sebagaimana Manusia Jepang yang dengan kekuatan hati dan loyalitasnya tetap mempertahankan Nilai – nilai Luhur Jepang meski kakinya menjejak di luar Tanah Air – nya, di tengah – tengah kesombongan Budaya Barat dan arus populisme budaya dari belahan dunia lainnya. Terus berakselerasi dalam jalan kehidupan yang kian terjal dan banyak tikungan, sambil terus berinovasi dan meningkatkan kekuatan otak dan tubuh, untuk melayani lebih banyak orang di sekitarku, tanpa melupakan jati diriku yang dulu, bagaikan matahari yang tak pernah bosan terus menyinari bumi walaupun tak semua manusia atau bahkan organisme hidup lainnya di bumi mensyukuri eksistensinya di alam semesta, dan semoga aku bisa terus bertahan sampai kelak Tuhan membisikkanku untuk kembali pada – Nya untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah kuperbuat untuk manusia lain dan dunia ini, semoga. CategoriesKehidupan manusia yang damai itu hanya ilusi, tidak pernah eksis untuk waktu yang lama. Kalaupun ada, kedamaian hanya menjadi jeda sesaat sebelum datangnya kembali perang yang baru untuk manusia. Kita memulai suatu perang, dengan sengaja atau tanpa kita sadari kepada orang lain yang memiliki perbedaan misi, idealisme, dan kepentingan dengan diri kita. Terserah bagaimana manusia mengakhirinya, ada yang melalui prosesnya dengan tetap menjaga hubungan dengan lawan dan ada yang benar – benar melaluinya dengan menghasilkan permusuhan kepada lawan. Apapun itu, semuanya berawal dari hasrat manusia untuk mencapai sesuatu yang dia inginkan, dan manusia mustahil menghindari jalan yang menyilang dengan manusia lain yang juga memiliki tujuan yang sama. Manusia tidak akan pernah cukup kuat untuk menjaga dirinya sendiri dari konflik, karena pada hakikatnya ia membutuhkan konflik dengan manusia lain apabila ia membutuhkan atau menginginkan sesuatu untuk mempertahankan eksistensinya. Jauh di dalam diri manusia, ada naluri untuk memenuhi sesuatu, yaitu naluri mencapai kemajuan. Naluri itu memang penting untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia, yang pada akhirnya akan membuatnya mampu mempertahankan hidup atau membawanya pada taraf kehidupan yang lebih tinggi. Di satu sisi, naluri mencapai kemajuan memang berdampak positif terhadap perkembangan manusia : Menjadikan yang tidak tahu menjadi tahu, yang belum pintar menjadi pintar, yang sudah pintar menjadi semakin cerdas, yang miskin menjadi berkecukupan, yang tidak paham menjadi paham, yang tidak terlatih menjadi terampil, yang lemah menjadi kuat, yang terkucilkan menjadi terpandang, yang tidak memiliki menjadi memiliki, dan sebagainya. Namun di sisi lain, naluri mencapai kemajuan tersebut membawa hampir sebagian besar manusia ke sisi buruknya, yang rendah hati menjadi arogan, yang welas asih menjadi angkuh, yang merasa berkecukupan menjadi bermegah – megahan, yang membantu sesama menjadi menjatuhkan sesamanya, dan yang dulunya teman kini menjadi musuh. Dan, kita pun patut mempertanyakan apakah kemajuan itu sebaiknya dijauhkan dari manusia, maka jawabannya adalah mustahil. Sampai kapanpun selama manusia masih eksis di alam semesta ini, manusia akan terus mencari dan mencapai kemajuan, dan untuk itu diperlukan konflik dengan manusia lainnya sebagai syarat mutlak tercapainya suatu kemajuan. Konflik menjadi biaya tetap yang harus dipenuhi dalam mencapai kemajuan, tidak bisa disubtitusikan dengan perdamaian. Perdamaian hanya akan menjadi jeda waktu sesaat dari konflik, dan justru digunakan sebagai pembenaran atau tujuan dari konflik yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Bahkan jika perlu, apa yang selama ini kita anggap sebagai simbol perdamaian seperti ideologi, nasionalisme, agama, bahkan humanisme, bisa digunakan untuk membenarkan konflik itu sendiri. Bukankah sejarah peradaban manusia sudah cukup untuk membuktikan itu, dan hingga hari ini kita terus menyaksikan kenyataan manusia saling membenci, bersaing, berperang, dan jika perlu sampai saling membunuh dengan mengatasnamakan kemuliaan misi korporasi, nasionalisme dan patriotisme pada tanah air tempat kita dilahirkan dan eksis, kebenaran ideologi yang dikatakan akan mendamaikan seluruh manusia tanpa batas – batas sosial, dan pembuktian bakti pada Tuhan berdasarkan agama yang kita yakini? Lantas, jika manusia ditakdirkan untuk berperang dengan sesamanya, apakah kita hanya akan membiarkan itu terjadi saja tanpa usaha untuk menghentikan perang? Terlalu naif jika manusia hanya membiarkan konflik terjadi hingga mereka mengalahkan atau dikalahkan oleh sesamanya, manusia menjalani suatu proses yang sulit dalam hidupnya bukan berarti lantas berpasrah diri hingga binasa tanpa arti dan guna. Menghindari konflik dalam rentang kehidupan manusia memang mustahil, namun bukan berarti jalannya konflik kehidupan itu tidak bisa diatur. Dan, meski enggan untuk diakui, konflik juga menghasilkan penemuan yang pada akhirnya memperbaiki kehidupan manusia menjadi lebih baik, atau dengan kata lain membawa manusia pada kemajuan yang mereka harapkan dari sisi positifnya. Kehadiran teknologi informasi yang menghubungan manusia dari jarak berapapun jauhnya, penjelajahan menemukan artefak kehidupan manusia di masa lampau sebagai pembuktian sejarah manusia, moda transportasi yang mematahkan batas jarak dan waktu, hingga eksplorasi ke luar Angkasa yang kelak memungkinkan manusia membuka cakrawala peradaban baru ke luar bumi, semuanya hadir berkat konflik besar yang telah dilalui kehidupan manusia. Itu semua adalah pembuktian bahwa konflik atau perang adalah proses mutlak untuk mencapai kehidupan manusia, tak peduli apapun alasan manusia berperang dengan sesamanya. Dalam taraf yang lebih kecil, manusia secara pribadi juga memperoleh kemajuan bagi dirinya sendiri, yang bisa ia rasakan dalam sesuatu apa yang mereka sebut sebagai pendewasaan dan penemuan jati diri. Kehidupan sosial manusia yang unik, mempertemukan manusia dengan berbagai latar belakang, jati diri, dan personaliti namun memiliki satu tujuan yang sama, menciptakan konflik personal dan sosial di antara mereka, yang bisa disaksikan di bawah atap rumah keluarga, kantor tempat bekerja, hingga satu kelompok organisasi dan komunitas yang seharusnya diisi oleh anggota manusia yang memiliki satu tujuan yang sama. Jika konflik personal dan sosial disikapi oleh manusia dengan taraf kebijaksanaan yang tinggi, konflik itu bisa dikompromikan menjadi sebuah resolusi yang menguntungkan semua pihak yang berbeda kepentingan satu sama lain, namun jika konflik tersebut disikapi dengan emosi yang tinggi dan dilampiaskan sesaat, maka yang hadir dalam diri kita adalah rasa benci, iri, dengki, dan dendam dengan siapa yang menjadi lawan kita dalam konflik tersebut. Manusia pun akan menjadi pemeran antagonis dalam cerita kehidupan yang ia tulis sendiri melalui perkataan, perilaku dan perbuatan pada sesamanya. Ketika kamu sedang berada dalam konflik dan tengah menjalani titik tersulit dalam konflik itu, di mana kamu sedang dihancurkan oleh manusia lain atau justru kamu sedang dalam proses menjatuhkan manusia lain yang menjadi lawan konflik kita, bagaimana perasaanmu pada saat itu? Apakah kemanusiaan masih ada dalam dirimu, atau justru engkau membuang kemanusiaanmu demi mencapai apa yang ingin engkau rengkuh? Itulah proses dalam konflik yang pasti akan membawamu kepada apa yang kamu tuju dalam kehidupanmu. Ambillah jeda waktu sesaat untuk diam, merenung, dan meletakkan salah satu telapak tangan pada dadamu, lalu menutup matamu. Apa yang kamu rasakan dalam konflik ini? Lelah, sakit hati, ketidakwarasan, kebingungan, di ambang keputusasaan, hasrat ingin mengakhiri konflik ini sesegera mungkin, kepuasan diri, penemuan jati diri dan hakikat hidup pribadi, rasa terpenuhinya idealisme, atau justru kebahagiaan versimu sendiri? Apapun itu, itulah arti dari konflik yang Tuhan berikan padamu untuk menguji dirimu sebagai manusia, dan saat itulah kamu bisa menemukan apa arti hidup yang kamu pertanyakan selama ini. Categories |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |