|
Kapan terakhir kali kita merasakan kesuksesan atas suatu usaha yang sudah kita lakukan, atau melihat orang lain berhasil dari usaha yang ia kerjakan? Setidaknya kita pernah melihatnya sekali dalam seumur hidup kita, tentu saja tanpa kita sadari sebenarnya lebih dari sekali kita merasakan atau melihat keberhasilan dari suatu usaha manusia. Merasakan atau melihat keberhasilan itu mudah, karena kita melakukannya dengan perasaan bahagia dan puas pada diri sendiri, namun untuk melalui proses mencapai keberhasilan itu dibutuhkan usaha terus – menerus dengan berbagai masalah yang menguji ketekunan, kreativitas, kesabaran, ketahanan, keimanan, loyalitas, hingga (yang jarang disadari oleh kita) rasa kemanusiaan kita sendiri. Salah satu dari sifat manusia yang melahirkan suatu keberhasilan itu adalah keberanian untuk memulai. Bagaimana keberanian untuk memulai bisa menjadi faktor keberhasilan manusia dalam merengkuh suatu hasil? Sangat sederhana. Banyak manusia menginginkan sesuatu dalam hidupnya, tapi tidak mendapatkan apa yang mereka mau. Bukan karena tidak mampu atau gagal memperolehnya, tetapi tidak mencoba berusaha memperoleh sejak mulai menaruh minat pada hal yang mereka inginkan tersebut. Ada seorang anak yang langsung tertarik pada sepeda ketika melihat temannya dibelikan sepeda bagus oleh orangtuanya, dan temannya mengemudikan sepeda tersebut dengan bangga dan terampil. Anak itu menyimpan minat sekaligus iri pada temannya yang diberkahi sepeda bagus, dan tak cuma sekedar memilikinya tapi mampu mengemudikannya dengan baik. Ia ingin mendapatkan berkah yang sama persis seperti temannya, dan ia tidak perlu menunggu waktu terlalu lama karena orangtuanya ternyata membelikan sepeda yang tidak kalah baik dengan sepeda temannya. Untuk saat itu, si anak merasa bersyukur, namun pada saat pertama kali mencoba mengayuh sepedanya, ia terjatuh. Awalnya ia merasa optimis bisa mengendarai sepedanya, sampai berkali – kali mencoba terjatuh pada satu hari tersebut ia menyerah dan merasa menyesal bahwa sepedanya tidak berguna untuk dia. Dia menangis dan berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan mengendarai sepeda lagi. Masa kecil dan muda anak itu kemudian berlalu, hingga ia tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa muda. Pada suatu hari ketika sedang membersihkan gudang di rumahnya, anak itu menemukan kembali sepeda pertamanya yang hanya satu hari ia pakai itu. Kondisi sepeda itu jelas sudah usang, dan hampir rusak berat. Perlu waktu dan biaya untuk mengembalikan keadaannya seperti baru kembali. Tiba – tiba anak itu menemukan hasrat untuk memperbaiki sepeda itu, dan jika berhasil, ia bertekad untuk mencoba mengendarainya lagi. Akhirnya, setelah ia membawa sepeda itu ke bengkel sepeda, ia mencoba mengayuhnya lagi, dan kali ini ia langsung berhasil menguasai sepeda itu. Anak itu kemudian menyadari bahwa ketika Pertama kali mencoba sepeda ini, ia tidak tahu bahwa kaki kanan dan kaki kirinya tidak sinergis mengayuh kedua pedal sepeda, sehingga ia selalu gagal menjaga keseimbangan sepedanya dulu. Dan satu hari kegagalan yang mengesalkan hatinya di masa kecil itu kini terbayar sudah. Ia bahagia mengayuh sepeda masa kecilnya di sekeliling jalan komplek perumahannya, tak mempedulikan ekspresi geli dan tawa dari tetangga atau orang – orang yang ia lewati karena melihat seorang dewasa mengendarai sepeda anak – anak. Sejak saat itu, ia menjadi terbiasa bersepeda sebagai olahraga hariannya dan membeli sepeda baru yang cocok untuk usianya sekarang. Pengalaman yang diperoleh anak itu menunjukkan, bahwa pada dasarnya manusia memiliki bakat yang bisa tumbuh, seperti benih. Lihatlah benih – benih tanaman, yang tidak mencari alasan untuk menunggu kesempatan bertumbuh. Benih akan senantiasa siap untuk bertumbuh pada saat kesempatan datang bagi mereka untuk tumbuh, tak harus menanti kapan datangnya hujan tiba. Manusia yang bisa berhasil mencapai impiannya adalah mereka yang terus berusaha untuk belajar, berkembang, dan berubah menuju ke arah yang lebih baik dan memperoleh apa yang mereka inginkan tanpa mengkomplain apa dan siapa di sekitar mereka atau mencari – cari alasan mengapa mereka gagal berkembang. Categories
0 Comments
Hampir tiga tahun berjalan lamanya aku menuliskan pikiran dan ide dalam blog ini, namun selama itu pula aku tidak menemukan kepuasan yang sesungguhnya dalam menulis. Aku membaca kembali tulisan – tulisan yang ada di blog ini, semuanya hanya menyiratkan kegamangan dan ketakutan terhadap apa yang aku hadapi dalam kehidupan sosial yang kujalani. Nafas kemanusiaan, universalisme, dan kebebasan spiritual yang menjadi inti tulisanku sejak sepuluh tahun lalu seakan hilang entah ke mana, hingga pada beberapa hari kemarin sebelumnya aku menemukan kesadaran, bahwa penulisan pikiran yang seperti ini tidak baik diteruskan. Aku harus lebih berani dan percaya diri dengan apa yang kutuliskan di blog – ku sendiri, karena hanya disinilah aku bisa menuangkan ide, pikiran, dan isi hati yang tidak bisa diekspresikan kepada orang lain secara langsung dalam kehidupan nyata, sekaligus memberikan kesempatan kepada dunia untuk membacanya. Kusadari bahwa tulisanku yang selama ini mengambang dan penuh dengan kalimat – kalimat yang mengandung kiasan yang sulit dipahami benar oleh banyak orang, karena aku menulis dengan hati gelisah seakan – akan ada orang lain yang membaca tulisanku dengan intens dan di dunia nyata menjadi sosok yang mengganggu kehidupanku. Padahal sebelum aku kehilangan ruh dalam menulis, aku selalu menulis ide dan pikiran apapun dengan terbuka tanpa merasa perlu “menaruh” filter dalam tulisan – tulisanku. Ya, memang dengan usia dan profesiku yang sekarang, tidak bijaksana jika aku menulis apapun tanpa batasan etika, tetapi menulis dengan perasaan takut dan “menjaga kesopanan” menjadikan tulisanku tanpa makna dan tujuan. Tulisan yang diciptakan dengan keadaan hati seperti itu laksana angin semilir yang dirasakan orang sesaat namun kemudian cepat dilupakan, tidak mencerminkan kepribadianku yang sesungguhnya. Tulisan tanpa makna, seperti manusia tanpa jiwa, ia tidak akan menjadi pesan yang bermakna untuk banyak orang. Tulisan itu harus memberikan makna untuk manusia yang membacanya, tak peduli siapapun dia. Menulis bukan untuk menyenangkan semua orang, tapi untuk menunjukkan ide dan tujuan yang ingin disampaikan penulisnya sendiri. Maka sejatinya, wajar jika ada yang mengatakan bahwa menulis adalah bentuk perlawanan, atau pemberontakan. Maka tidak ada alasan untuk menyembunyikan terlalu banyak dalam tulisan. Menulis adalah melawan. Melawan segala sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai – nilai kebenaran yang hakiki. CategoriesApa kalimat yang lebih pantas untuk diucapkan di Hari Raya Kemenangan yang sakral, yang tidak pernah bosan hadir setiap tahun untuk mengingatkan manusia untuk menghapus dosa dan saling memaafkan dengan sesama, walaupun di satu sisi manusia selalu mengulang kembali dosa yang sama? Jawabannya hanya satu : Tetaplah saling memaafkan. Kebaikan adalah senjata terbaik untuk mengalahkan kejahatan seperti apapun juga. Semoga di tahun ini pun, kita tidak termasuk ke dalam golongan manusia - manusia yang merugi dan tidak tahu perlunya menyelesaikan permusuhan dengan "merangkul" musuh selayaknya teman. Categories |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |