|
Dekade kedua abad ke – dua puluh satu adalah era media sosial, di mana peradaban manusia dihadapkan pada sebuah gejala demam media sosial yang mendorong stimulus manusia untuk memamerkan eksistensi dan kepunyaan mereka kepada masyarakat tanpa batas negara, waktu, dan jarak. Melalui media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, Linkedin dan sebagainya, semua manusia kini memiliki kemampuan untuk menunjukkan siapa diri mereka sendiri, selama gawai yang terkoneksi dengan internet ada di tangan mereka. Di satu sisi keberadaan media sosial memang membawa manusia ke tahap peradaban yang lebih maju. Manusia tidak perlu lagi membuang waktu, tenaga, dan biaya yang terlalu besar untuk saling bertemu dan berkomunikasi dengan manusia lainnya, namun di satu sisi fitur media sosial yang memberikan kebebasan pada penggunanya untuk mempublikasikan foto, tulisan, musik, video, atau bahkan kombinasi dari semuanya, memunculkan hasrat pamer pada banyak manusia. Perlahan tapi pasti, dan kini sudah terlanjur terjadi, media sosial memunculkan fenomena eksibionis pada banyak manusia yang menggunakan media sosial dari belahan dunia manapun. Ketenaran menjadi alasan mengapa banyak manusia menggunakan media sosial, bukan lagi karena adanya kebutuhan untuk berkomunikasi dengan manusia lain. Hasrat untuk pamer pada pengguna media sosial, kini telah mencapai level yang mematikan rasa kemanusiaan seorang penggunanya, termasuk rasa untuk menghargai dirinya sendiri. Tengoklah sejenak lebih dalam feeds di Instagram dan Facebook, atau timeline di Twitter, di balik hingar – bingar popularitas seorang penggunanya, terkadang ada pengorbanan tak terperi yang sesungguhnya sia – sia belaka : Mengambil karya ilmiah atau mengutip kalimat seseorang tanpa izin untuk dipublikasikan di timeline sendiri, membayar mahal demi mendapatkan followers palsu, membeli sesuatu yang tidak dibutuhkan demi memamerkannya di media sosial agar seolah terlihat sudah hidup pada level kemakmuran yang lebih tinggi, atau mempercantik/mempertampan fisik diri agar seolah terlihat lebih rupawan daripada fisik sesungguhnya. Kini, ada banyak manusia yang menciptakan standar hidup barunya pada popularitas di media sosial. Mereka tidak perlu bersusah payah mengembangkan bakat dengan belajar dan berlatih keras seperti yang dilakukan pada oleh artis, seniman, ilmuwan, penulis, atau atlet pada umumnya di masa lalu untuk memperoleh popularitas. Asalkan memiliki tekad untuk menjadi populer dan berani mengorbankan uang berapapun yang mereka bisa, (ilusi) popularitas pun bisa diperoleh dalam waktu singkat. Tak peduli meski mereka sesungguhnya menyadari bahwa semua itu hanyalah ilusi. Aku pun bukan perkecualian dari mereka. Aku mengakui, bahwa ada masanya dulu aku pernah menjadi bagian dari mereka. Sudut pandang yang kuperoleh tentang media sosial sekarang ini adalah hasil dari apa yang kulakukan di masa lalu, ketika aku masih memiliki hasrat untuk eksis pada banyak media sosial : Friendster, Facebook, Instagram, Path, Vine, Linkedin, Vero, Twitter, Steller, dan lain sebagainya. Ya, aku pun pernah menjadi sosok manusia yang vulgar demi mendapat popularitas, mungkin karena latar belakangku sebagai sosok introvert yang tidak bisa tampil begitu saja di depan banyak manusia secara langsung, membuatku berhasrat menjadikan media sosial sebagai tempat untuk “menunjukkan siapa diriku,” hingga aku bergerak pada suatu titik di mana itu semua mencapai titik jenuhnya sekaligus aku disadarkan, bahwa apa yang kulakukan selama ini di media sosial, lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Memang aku mendapat banyak koneksi baru dan perhatian dari mereka, namun pada akhirnya semua itu untuk apa, jika dibandingkan dengan kualitas hubungan antar manusia secara langsung di dunia nyata. Nyatanya, menggunakan terlalu banyak media sosial justru menjadikan diriku semakin terisolir dari kehidupan nyata, tanpa mempelajari dan menyadari apa yang sesungguhnya terjadi di luar sana. Hari ini, aku telah melalui fase itu dan telah mencoba melakukan recovery atas bagaimana seharusnya aku menjalani hidup, seperti sebelum tahun 2013 dulu, ketika media sosial milikku tak lebih dari dua buah. Kini, aku hanya memiliki Linkedin, Twitter dan Steller sebagai tempat di mana aku bisa menuangkan pikiranku melalui tulisan – tulisan, juga website – ku sendiri sebagai wadah terbaik untuk menuangkan pikiran, pandangan, imajinasi, dan karya fotoku. Pengurangan aktivitas pada media sosial ini berjalan seiring dengan pengurangan jumlah gawai yang aku miliki untuk kupergunakan dalam hidup. Perubahan dalam diriku ini membawaku kembali teringat pada satu pepatah yang jarang didengar oleh banyak orang : Langit tidak perlu berkata bahwa dirinya tinggi. Categories
0 Comments
Dekade kedua dari abad ke – dua puluh satu adalah sebuah era baru bagi masyarakat dunia, di mana kemajuan teknologi informasi memperkenalkan media sosial, sebuah instrumen tak berwujud yang dapat digunakan rasa dan fungsinya ketika manusia terhubung dengan sesamanya melalui internet. Dunia mengenal media sosial secara umum pertama kali melalui Friendster, kemudian MySpace, Facebook, Twitter, Linkedin, hingga Instagram. Itu belum termasuk media sosial yang jarang dikenal seperti Vine, Steller, Vero, dan lain sebagainya. Pada awal perkenalannya, media sosial seakan menjadi bukti inovasi yang amat berarti bagi manusia, karena media sosial mampu mendekatkan hubungan antar manusia yang sebelumnya terbatas oleh jarak menjadi sedekat hubungan keluarga inti. Dimensi waktu dan jarak yang dahulu memisahkan manusia dengan relasi terdekatnya seakan menjadi tiada ketika mereka saling terkoneksi di media sosial. Media sosial bahkan bisa menciptakan hubungan pertemanan baru antar manusia yang sebelumnya tidak saling mengenal satu sama lain, entah melalui kesamaan minat, hobi, profesi, pandangan hidup, ideologi, keyakinan spiritual, hingga hubungan kekeluargaan, manusia bisa terkoneksi dan saling bersatu di dalam satu wadah bernama media sosial. Akan tetapi, sebagaimana inovasi manusia lainnya, media sosial bukanlah suatu instrumen yang sempurna. Keberadaannya dalam kehidupan manusia tetap ditentukan oleh karakter dan perilaku manusia itu sendiri. Dan sayangnya, manusia dari awal hingga sekarang tetaplah sama, makhluk yang membutuhkan pengakuan atas segala apa yang telah ia miliki dan tidak pernah merasa puas atau mensyukuri apa yang telah ia miliki pula. Facebook dan Instagram telah membuktikan bahwa manusia itu senang memamerkan berbagai materi yang mereka miliki : Rupa fisik, busana, makanan dan minuman, alam, dan kendaraan. Twitter telah membuktikan bahwa manusia itu senang berlomba – lomba dalam berpikir, berimajinasi, dan mengkritik dengan sesamanya. Linkedin pun tak luput dari pembuktian, bahwa manusia itu senang memamerkan usahanya dalam hidup melalui profesi yang mereka lakoni di masyarakat dengan cara yang lebih “elegan” dan “profesional” dibandingkan media sosial lain. Pada akhirnya, media sosial menjadi “medan pertempuran” baru bagi manusia untuk saling bersaing, bahkan menjatuhkan dan membunuh dengan sesamanya. Media sosial pada saat ini telah menjadi soft warfare yang memicu manusia untuk saling berlomba menjadi lebih unggul dari manusia lainnya, dan secara tidak kasat mata maupun diakui atau tidak, justru menimbulkan friksi antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Tidak dapat dibantah lagi, bahwa media sosial pula yang menjadi ajang bagi manusia – manusia yang “terpisah ke dua kubu” dalam hal pandangan ideologi, politik, agama, fandom, hingga brand awareness suatu produk. Apa yang dulu tidak terungkap, kini semuanya menjadi “telanjang” oleh media sosial, termasuk dalam hal pertentangan antar manusia. Di satu sisi yang lain, media sosial pun seakan mampu menyalip kemampuan media konvensional dalam penyebaran suatu berita. Jika dahulu manusia memperoleh informasi dari media cetak yang baru terbit setelah informasi sebenarnya beredar satu hari atau lebih sebelum media cetak itu dapat dibaca, kini informasi apapun dapat diperoleh manusia secara instan, hanya dalam hitungan detik saja dan sedikit usaha dari gerakan jari – jemari, manusia mampu mendapatkan informasi apapun yang mereka butuhkan atau ingin mereka ketahui. Namun sekali lagi, media sosial bukanlah instrumen yang sempurna dalam memberikan informasi, karena validitas kebenaran informasi yang diberikannya amat bergantung pada itikad manusia yang menyebarkannya. Kelemahan media sosial itulah yang menimbulkan munculnya fenomena (yang sudah lama eksis namun sesungguhnya baru dikenal luas pada saat ini) bernama hoax. Kebohongan menjadi sesuatu yang mudah disebarkan kepada manusia melalui media sosial, menjadikan media sosial bisa berubah menjadi mesin propaganda yang bisa mengubah manusia menjadi seperti apapun, bergantung kepada tendensi seseorang atau pihak yang menyebarkan kabar bohong tersebut. Dan ketika banyak manusia sudah terlanjur larut ke dalam sisi jahat media sosial, sementara kita masih berada dalam keadaan sadar bahwa media sosial berpotensi membawa manusia ke sisi jahatnya yang haus akan nafsu dan kebutuhan untuk eksis, masihkah media sosial layak untuk kita miliki. Mungkin tidak, mungkin juga iya. Jawaban apapun yang dapat kita berikan terhadap perlu tidaknya media sosial untuk kebaikan hidup manusia sendiri, sejatinya adalah relatif. Mematikan akun media sosial mungkin adalah pilihan terbaik apabila kita merasa tidak cukup memiliki kekuatan untuk mengendalikan kehidupan kita sendiri. Sebaliknya, memilih untuk mempertahankan media sosial yang sudah kita miliki pun pilihan yang salah apabila kita meyakini bahwa kita mampu menyikapi penggunaan media sosial dengan bijaksana. Menunjukkan sesuatu kepada siapa saja melalui media sosial mungkin memang perlu untuk menunjukkan eksistensi kita di dunia ini, namun memamerkan segala sesuatu yang kita miliki atau kita berikan kepada manusia lain adalah sesuatu yang sebaiknya tidak perlu kita lakukan, atau paling tidak kita melakukan dengan kadar secukupnya saja. Apapun pilihan kita, media sosial adalah alat terbaik untuk membuktikan kepada kita sendiri, apakah kalimat pepatah “langit tidak perlu berkata bahwa dirinya tinggi” atau “laut tidak perlu berkata bahwa dirinya dalam” itu benar – benar kita amalkan dalam kehidupan kita. Categories |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |