Blog Archives

Komunikasi adalah bagian dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Tidak ada satu pun aktivitas manusia yang bisa berjalan tanpa melakukan komunikasi dengan sesamanya. Tanpa komunikasi, eksistensi manusia menjadi tiada artinya dan manusia akan lekas mati. Dengan berkomunikasi, manusia saling berbagi keadaan dirinya dengan sesamanya, menyampaikan pesan mengenai dirinya sendiri, orang lain, atau hal – hal lain yang ada diluar dirinya.

Tapi kenyataannya, komunikasi antar manusia tidak selalu berjalan seperti yang kita harapkan : Saling memahami, rukun, akur, damai, tenang, harmonis, terus terang, dan disertai rasa saling percaya satu sama lain. Ada saja sumber masalah yang membuat komunikasi dengan orang lain justru menjadi biang kesalahpahaman sampai pada permusuhan yang tidak perlu terjadi. Salah satunya adalah menggunjing.

Menggunjing sudah menjadi bagian dari kehidupan sosial manusia, tidak memandang kebangsaan, suku, ras, agama, status sosial, atau jabatan yang melekat pada manusia, siapa saja bisa menggunjingi orang lain atau menjadi bahan gunjingan. Sayangnya, walaupun sebagian besar orang mengatakan “tidak” pada menggunjing, kenyataannya di kehidupan sosial, banyak sekali diantara kita yang suka bergunjing. Bergunjing itu gratis, bisa dilakukan di mana saja, bahkan menjadi semacam “keharusan” yang ada ketika kita berkumpul dengan teman, rekan kerja, atau keluarga di rumah sendiri, kantor, kafe, dan dimana saja kita berada. Tidak hanya itu, bergunjing menjadi tradisi bagi banyak orang karena bergunjing memang bisa menghidupkan suasana berkumpul, atau mengubah suasana pertemanan yang jika dirasa kaku dan kurang mengasyikkan, menjadi luwes dan menghibur bila ditambah “bumbu – bumbu” berupa menggunjing. Beberapa alasan mengapa orang senang menggunjing, yaitu :

Kesamaan minat. Fitrah manusia sebagai makhluk sosial, secara langsung maupun tidak, memotivasi orang untuk mengembangkan minat yang ada dalam egonya dengan orang lain. Apabila seseorang sudah menemukan orang yang memiliki minat yang sama dengan minat pribadinya, kecocokan menjadi teman atau rekan pasti bisa terjadi. Jika kesamaan minat diantara mereka adalah minat yang berkonotasi positif seperti berolahraga dan menciptakan karya seni, tentu tidak menjadi masalah. Tapi jika kesamaan minat yang ada diantara mereka adalah membicarakan orang lain, wajar jika kita bisa melihat pertemanan tidak sehat yang menuju kebiasaan menggunjing. Terlebih di masyarakat tempat saya berada adalah masyarakat yang menjunjung nilai kolektivitas tinggi, dimana tradisi berkumpul bersama menjadi kegiatan yang rentan diisi dengan menggunjingkan orang lain.
Kekosongan pekerjaan. Waktu luang, bagi sebagian orang tidak digunakan untuk melakukan hal yang positif seperti membuat karya di samping pekerjaan utamanya atau berolahraga, tapi justru digunakan untuk menggunjingkan orang lain. Seperti kalimat diatas, menggunjing memang membuat suasana berkumpul dan berbicara bersama menjadi luwes, hangat, dan menyenangkan, sehingga bergunjing menjadi sesuatu yang “perlu” untuk dilakukan dalam pertemanan.
Rendahnya kepercayaan diri. Bagi sebagai orang, khususnya yang memiliki kadar kepercayaan diri rendah, memberikan penilaian negatif atau kritik tak berdasar bisa menjadi senjata ampuh untuk menutupi ketidakberdayaan mereka sendiri. Kita mungkin biasa bertemu dengan orang yang suka membanding – bandingkan diri kita dengan orang lain atau memperbandingkan dua orang di sekitar kita. Meski kita sudah tahu bahwa bergunjing itu tidak baik. Kenyataannya, suka atau tidak suka, orang tetap akan menggunjingkan orang lain, termasuk diri kita sendiri, seberapapun kadarnya dan seberapa sering kita melakukannya. Mengapa? Kembali lagi pada realita bahwa manusia itu homo economicus, makhluk sosial, ia membutuhkan interaksi dengan manusia lain untuk menyatakan dan mempertahankan eksistensinya di dunia ini, paling tidak, di lingkungan sekitar tempat dia berada. Dan cara manusia untuk bersosialisasi tidak memandang sudut pandang positif atau negatif, asalkan perilaku dan sikap sosial itu membuat manusia bisa memperoleh eksistensi dirinya di lingkungan sosial, maka manusia pun akan melakukannya. Pengakuan akan jati diri adalah salah satu bagian dari kebutuhan manusia seperti dalam Piramida Kebutuhan Manusia oleh Abraham Maslow. Jadi, bersikap menghindari gunjingan adalah hal yang sia – sia. Tidak peduli mau menjadi seperti apapun kita : Karismatik, pendiam, apatis, humoris, keras hati, toleran, proaktif, berjiwa sosial, kita akan tetap menjadi bahan gunjingan untuk orang lain, karena tidak ada satupun manusia di muka bumi yang bisa memberikan kepuasan atau citra positif untuk semua orang.
Gunjingan memang tidak bisa dihindar dalam kehidupan sehari – hari, tapi kita bisa (dan perlu) mengendalikan reaksi kita sendiri terhadap gunjingan. Ada beberapa sikap yang bisa dilakoni ketika kita menjadi sasaran gosip negatif, yaitu :

Abaikan gunjingan itu. Pepatah anjing menggongong khafilah berlalu mungkin bisa menjadi kiasan yang paling tepat untuk sikap yang satu ini. Bersikap seperti biasa di hadapan orang – orang yang mengetahui gunjingan itu. Lebih baik menggunakan waktu, tenaga, dan sumber daya yang kita miliki untuk melakukan pekerjaan yang kita lakoni sebaik dan sesempurna mungkin untuk membangun reputasi kita sendiri. Apabila kita memperoleh reputasi dan prestasi yang baik atas pekerjaan kita, orang tidak akan melihat lagi gunjingan yang melekat pada kita dan gosip itu akan tenggelam dengan sendirinya.
Menghadapi si biang gosip. Menghadapi penggunjing, bagi sebagian orang, mungkin terasa seperti masuk ke dalam sarang harimau. Tetapi, memasuki dan mempelajari musuh sudah diakui sebagai bagian dari strategi untuk mengalahkan lawan, baik dalam ilmu strategi perang, bisnis, hingga etika sosial. Tentu saja, tidak pantas apabila kita langsung mengatakan apa alasan si penggunjung meniupkan isu tidak sedap pada diri kita. Memperlakukan si penggunjing seakan – akan dia adalah teman baik kita sendiri adalah awal yang baik untuk menghadapinya sebelum mengetahui alasannya menggunjingkan kita. Secara perlahan – lahan, melakukan komunikasi yang pada intinya adalah menyampaikan pesan agar menghentikan kebiasannya dan mengajak saling memahami dengan kita untuk berdamai. Dalam proses itu, kita perlu tahu bahwa kita harus berada di pihak yang lebih banyak mendengar daripada berbicara, dan memperlakukan si penggunjing seakan – akan ia merasa kita menjadi temannya.

Kita tidak bisa menghindari digunjingkan orang lain, tapi kita bisa menyikapi dan mengendalikan gunjingan itu bergantung kepada pengetahuan dan kedewasaan kita. Apabila kita tidak ingin digunjing, jangan menggunjing orang lain karena Hukum Karma akan tetap terjadi sebagaimana kita bersikap. Dan akibat dari sikapmu menggunjingkan orang lain, suatu saat akan berbalik padamu dan pada akhirnya hanya penyesalan yang kamu peroleh, sebagai hasil dari dosa – dosamu yaitu menggunjingkan orang lain. Tidak perlu menjadi nabi atau manusia pilihan Tuhan untuk menemukan esensi dan kebijakan hidup, yang diperlukan hanya keinginan untuk belajar dari lingkungan di sekitar kita dan kesadaran dari diri sendiri untuk tidak sembarangan memperlakukan alam dan orang lain. Benar?

(Tulisan ini adalah re-blog dari tulisan sy di aditrenaldi.wordpress.com)

Menikah adalah salah satu bagian terpenting dari hidup manusia, dan menjadi wujud dari kebutuhan manusia akan seks dan sosialisasi dengan manusia lain. Pernikahan, seperti yang didefinisikan Duvall dan Miller (1986), adalah hubungan antara pria dan wanita yang diakui masyarakat yang melibatkan hubunagn seksual, dan didalamnya ada penguasaan dan hak mengasuh anak disertai dengan saling mengetahui tugas masing – masing antara suami (pria) dan istri (wanita). Yang membedakan pernikahan dengan hubungan pria – wanita di luar itu adalah, adanya ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita yang memiliki satu tujuan yang sama, yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dilandasi dasar keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Munandar, 2001).

Oleh karena itu, menjadi menarik melihat masyarakat mayoritas di sekitar saya sekarang ini justru seakan terobsesi pada pernikahan. Banyak anak – anak muda menganggap pernikahan adalah bentuk kesuksesan hidup yang setara dengan kelulusan kuliah bahkan prestasi di tempat kerja, tentu dengan dogma – dogma bahwa menikah adalah kemuliaan dari sudut pandang agama, norma sosial, dan budaya. Perkembangan paradigm masyarakat tentang pernikahan itu memunculkan pandangan umum bahwa status lajang bagi orang – orang yang belum menikah adalah aib, yang hanya dapat dihilangkan dengan jalan menikah sesegera mungkin. Mungkin pendapat saya tentang bagaimana masyarakat menyikapi pernikahan terdengar tidak menyenangkan, tapi itulah yang saat ini biasa saya saksikan dengan mata kepala sendiri.

Bagi lelaki lajang seperti saya, yang tahun ini akan memasuki usia kepala tiga, saya sudah biasa mendapat “intimidasi halus” dari teman kerja, keluarga, dan kenalan baru saya agar lekas menikah. Motivasi yang mereka berikan ke saya biasanya berupa iming – iming dan bayangan bahwa pernikahan itu indah, pasti berjalan sesuai ketentuan Tuhan yang dipenuhi janji – janji surga, dan tentu saja permintaan agar mereka diundang dalam pesta pernikahan saya nanti dengan cara yang semarak mungkin.

Masyarakat di tempat saya eksis pada saat ini, adalah masyarakat Indonesia yang bergerak menuju kepada masyarakat relijius dengan berlandaskan pada nafas Agama Islam. Tetapi dari sudut pandang saya, secara pribadi, terdapat unsur – unsur budaya Timur Tengah yang disisipkan dalam di dalam kepercayaan Islam, yang menafikan hubungan antar pria dan wanita hanya diakui dengan pernikahan. Akibatnya, hubungan pria – wanita dalam bentuk di luar pernikahan, sekalipun tidak masuk dalam pelanggaran norma sosial seperti berpacaran, pendekatan personal, atau pilihan hidup untuk tidak menikah menjadi sesuatu yang cenderung diharamkan. Celakanya, di dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang sedang demam dengan konservatisme bernuansa budaya Timur Tengah ini, beberapa figur publik yang tampil sebagai politisi, artis, atau pemuka agama seakan mendukung bahwa hubungan interpersonal di luar pernikahan, apapun bentuknya, seperti yang sudah dijelaskan di atas, tidak dapat dibenarkan. Anak – anak muda diberikan motivasi agar menyegerakan diri menikah tanpa tedeng aling – aling mereka telah siap secara fisik, mental, keuangan, wawasan sosial, dan tentunya keyakinan untuk menjaga komitmen yang sakral tersebut.

Apabila mereka sudah siap untuk menikah, pernikahan yang meriah menjadi semacam “keharusan yang tidak tertulis” untuk dilaksanakan. Hasil dari budaya pernikahan yang seperti ini, membuat banyak pasangan menikah beserta keluarganya, rela melakukan apapun untuk mengumpulkan modal besar agar pernikahannya paling tidak, sedikit mendekati pernikahan anak petinggi negara. Pernikahan dalam masyarakat yang seperti ini, sudah mengalami pergeseran makna, dari sebuah proses perjalanan hidup manusia yang sacral, menjadi sebuah takaran kesuksesan hidup seseorang beserta keluarganya, tanpa disertai dengan kematangan berpikir jauh ke depan, bagaimana pasangan menikah tersebut menjaga kelanggengan hidupnya dari berbagai tantangan seperti masalah ekonomi, ketidakcocokan antar pasangan, ketiadaan rencana jauh di masa depan, yang pada akhirnya tidak sedikit membawa mereka pada perceraian.

Saya, sebagai manusia biasa, tidak memandang pernikahan dilalui dengan cara “semudah itu.” Apabila cakrawala memandang masyarakat kita terhadap pernikahan terus berjalan seperti yang sudah dideskripsikan di atas, sesungguhnya kita bergerak kembali menuju masyarakat di masa lampau, yang melangsungkan pernikahan karena nafsu pribadi semata. Seperti yang dikatakan Kei Savourie (2016) bahwa seseorang dianggap meremehkan pernikahan apabila dia menikah hanya karena alasan ingin dianggap relijius, menyegerakan menikah supaya tidak didahului oleh teman atau saudara sekandung sendiri, dan bahkan menjadikan pernikahan sebagai bahan inspirasi untuk memotivasi orang yang belum menikah. Ayu Utami, seorang penulis novel yang terkenal dengan beberapa karyanya antara lain Pengakuan si Parasit Lajang, Larung, Saman, dan Cerita Cinta Enrico, menyampaikan pandangannya tentang pernikahan yang cukup dinamis, seperti yang saya kutip di bawah ini :

“Saya tidak mau menikah sebagai pernyataan bahwa : 1) Orang tidak boleh menikah (Konteks : Di Indonesia, ada tekanan kultural agar orang harus menikah). 2) Hukum perkawinan di Indonesia masih tidak adil sebab secara otomatis menempatkan suami sebagai kepala keluarga. Tentang siapa yang jadi kepala keluarga, atau apa yang harus ada kepala keluarga, serahkan saja pada pasangan yang menikah. Biar itu menjadi urusan pribadi orang. Jangan jadikan aturan negara, sebab itu tidak adil dan tidak benar. Praktiknya, banyak sekali istri yang menjadi tulang punggung keluarga, tetapi ia tidak mendapatkan pengakuan, perlakuan, dan penghargaan yang layak sebagai pencari nafkah utama. Saya memang kemudian menikah, tetapi tidak secara hukum negara. Saya menikah secara hukum Gereja Katolik, dan tidak mendaftarkan pernikahan saya ke catatan sipil. Dengan demikian, saya tetap konsisten menyuarakan kritik pada hukum perkawinan yang belum adil.”

- Ayu Utami, 2013 -

Sejujurnya, pendapat di atas, sedikit maupun banyak, juga menggambarkan sudut panang saya tentang pernikahan, yang sudah lama ada dalam benak saya meski saya enggan untuk mengungkapkannya kepada orang di sekitar saya, untuk menjaga diri saya sendiri dari gunjingan dan pandangan aneh dari mereka. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, dimana saya juga memiliki ruang yang semakin luas untuk membuka topeng sosial saya secara pelan – pelan, akhirnya saya sadar, sedikit atau banyak, saya harus lebih berani dan teguh memegang keyakinan pada pernikahan. Saya tidak benar – benar bersikap skeptic pada pernikahan, tetapi mengikuti pandangan mainstream bahwa pernikahan adalah pencapaian prestasi hidup jelas bukan visi dan misi hidup saya. Saya memilih untuk tetap melangkah lurus, dengan kecepatan yang konsisten untuk menemukan siapa wanita yang pantas berjalan bersama saya, di sisa hidup saya ini. Mungkin pandangan saya tentang pernikahan yang tidak lazim dianut oleh masyarakat di lingkungan sosial tempat saya berada, tidak dapat diterima oleh mereka, tetapi inilah realitas kehidupan, yang seringkali berjalan tidak sesuai denagn idealisme.

Akhirnya, tulisan saya tidak semata - mata bermaksud untuk melawan opini mereka yang mendukung tren pernikahan dan pandangan umum masyarakat mengenai pernikahan di saat ini, yang cenderung hanya menonjolkan simbol kemeriahan dan kesuksesan semata. Seluruh pendapat yang saya kemukakan dalam kolom catatan ini ini hanya pendapat pribadi saya tentang pernikahan, yang didasari oleh pengalaman pribadi saya dan orang lain, rasionalitas, spiritualitas pribadi yang saya yakini, dan pandangan jauh ke masa depan. Anda boleh saja memiliki pandangan menikah sebagai sebuah prestasi yang harus segera dicapai, dan saya tetap menghormati pandangan Anda sekalipun kita memiliki pandangan terhadap pernikahan yang berbeda. Dengan demikian, segala konsekuensi positif dan negatif yang akan diperoleh sebagai hasil dari keyakinan Anda, juga harus siap Anda jalani.

Selamat menikah. Semoga kita bahagia dan tidak pernah sedikitpun menyesal atas keputusan kita untuk menikah, terlepas dari keputusan kita menikah karena keinginan dan kesepakatan antara dua hati yang berbeda atau karena memenuhi obsesi untuk memenuhi tuntutan hidup masa kini.

(Tulisan ini merupakan re-blog dengan beberapa edit dari blog sy terdahulu di aditrenaldi.wordpress.com).

Hai, salam kenal!

Ini adalah blog pertama saya di website pribadi saya. Saat kamu membaca tulisan ini, kamu mungkin tahu bahwa saya masih mencoba - coba fitur dan meningkatkan fitur dari website ini.

Website ini saya buat sebagai tempat saya menulis, menggantikan halaman blog saya yang dulu. Tapi bukan hanya itu, website ini juga menjadi tempat menaruh portofolio dan karya lainnya, tempat kita untuk saling berbagi cerita dan ide, yang memang menjadi passion utama saya di website ini.

Terima kasih untuk sesi perkenalannya.

Aditya Renaldi.

0 Comments

Mencari suatu arti dalam keheningan.
サイレントしかし有意義。
Endless Curiousity.

Menggunjing

Married

Salam Kenal

Aditya Renaldi

Archives

Categories

Mencari suatu arti dalam keheningan. サイレントしかし有意義。Endless Curiousity.