|
Manusia datang dan pergi, satu sama lain, dalam siklus kehidupannya. Sesuatu yang alamiah terjadi dalam rentang kehidupan siapapun termasuk hidup kita sendiri. Sejak kecil, kita belajar mengenal kedua Orangtua kita sendiri, lalu saudara kita, dan anggota keluarga besar yang lain. Memasuki usia sekolah, kita mulai belajar mengenal teman dan orang lain yang berada di luar lingkaran keluarga kita, dan terus berlanjut pada saat kita beranjak dewasa, kita mengenal rekan kerja, pasangan hidup, teman dalam satu lingkaran komunitas sosial, hingga atasan kita.
Mungkin diantara semua orang yang pernah kita temui dalam hidup, tidak ada hubungan sosial yang lebih “berasa” untuk dialami dan diingat daripada hubungan romantis dengan lawan jenis kita, apapun bentuknya : Pacaran, hubungan tanpa komitmen, atau pernikahan. Kebanyakan dari kita menyebutnya sebagai cinta. Rasa cinta itu lahir secara alamiah, datang dan tumbuh dari naluri manusia untuk menyukai seseorang yang ia rasa, menarik dan perlu dimiliki di sisinya. Ia tidak akan bisa dihindari kehadirannya dalam setiap hati manusia, apalagi dimatikan. Rasa cinta ada karena manusia itu membutuhkannya, untuk memenuhi kebutuhannya akan memiliki seseorang yang dia anggap paling berguna dalam hidupnya di antara sekian banyak manusia lain yang ia temui dalam hidupnya. Tanpa rasa cinta, mustahil manusia bisa bertahan hidup lama, atau paling tidak memelihara hidupnya dengan proses yang wajar. Rasa cinta memang amat berharga bagi siapapun, meski untuk memilikinya membutuhkan pengorbanan yang tidak bisa diukur dari materi. Ada banyak hal yang harus dikorbankan agar manusia memenuhi cinta dan kasih yang sesungguhnnya kepada lawan jenisnya yang ia cintai, dan setiap manusia perlu melukai atau dilukai untuk memiliki seseorang yang ia anggap paling istimewa itu. Tak jarang, rasa cinta dan kasih harus diakhiri menjadi perpisahan, yang meninggalkan luka di hati masing – masing yang tidak akan pernah akan hilang bekasnya. Di dalam peradaban yang diisi oleh tradisi dan budaya bahwa hubungan cinta antar dua manusia hanya bisa dianggap sah melalui pernikahan, kita tidak memiliki pilihan lain bahwa satu – satunya mendapat pengakuan dari orang di sekitar kita tentang hubungan cinta kita dengan seseorang adalah dengan cara menikahinya. Seharusnya, pernikahan memang menjadi media untuk melanggengkan hubungan cinta dan kasih dengan pasangan, bagi siapapun. Menikah juga menjauhkan diri sendiri dari gunjingan dan fitnah yang diarahkan pada diri kita sendiri, sekaligus menunjukkan kedewasaan, kemapanan, dan status sosial bagi siapa saja yang melewatinya. Sayangnya, mencintai dan mengasihi dengan keikhlasan dan sungguh – sungguh saja, tidak akan pernah cukup menjadi syarat bagi manusia untuk menikah. Ada saja hal – hal yang dijadikan sebagai syarat lain agar seseorang layak menikahi kekasihnya. Ada banyak alasan mengapa hubungan cinta dan kasih antar dua anak manusia tidak dianggap sah untuk menuju ke pernikahan. Beberapa alasan mungkin bisa diterima oleh nalar yang memaksa ego dan perasaan untuk mengalah, tetapi bagaimana jika rasa cinta dan kasih itu harus berakhir karena sebuah perbedaan yang sudah ada sejak kedua manusia yang seharusnya berpasangan itu lahir. Padahal, salah satu dari sekian hakikat pernikahan adalah mengikatkan tali kasih antara dua manusia yang tidak hanya berbeda jenis, namun juga berbeda dalam berbagai identitas lainnya, baik yang tampak dari luar maupun yang ada dalam diri mereka. Kalau ada perbedaan yang tidak dipermasalahkan oleh keduanya, dan justru menjadi alasan untuk menyatukan mereka agar mereka belajar saling memahami dan menerima perbedaan satu sama lain, lantas mengapa perbedaan itu dijadikan alasan oleh keluarga dan masyarakat untuk tidak mensahkan hubungan cinta tersebut? Sungguh, kehidupan manusia itu penuh dengan paradoks. Apa yang diidealkan dalam sebuah teori dan kebijakan, tidak pernah diakui oleh masyarakat dan justru masyarakat sendiri yang melanggarnya. Sebelum kamu mencoba untuk menjalani hubungan cinta dan kasih dengan orang yang kamu minati, pastikan kamu tidak akan menyesal untuk mencintainya, apapun yang akan terjadi dalam perjalanan membangun hubungan kasih dan cinta dengannya.
0 Comments
Tuhan menciptakan manusia di dunia ini
Dengan suatu maksud dan tujuan masing – masing Tidak ada manusia yang diciptakan benar – benar sama di dunia ini Semua manusia itu terlahir unik, dan mereka akan berkembang dengan jalannya sendiri – sendiri. Tapi ada satu kesamaan yang tidak akan pernah bisa dihilangkan oleh manusia, yang sudah diteteskan oleh Tuhan sekalipun mereka mengingkarinya Kesamaan itu adalah keyakinan adanya sesuatu yang lebih kuat dari manusia itu sendiri Lalu manusia menciptakan keyakinan akan kekuatan itu pada diri mereka masing – masing Sesuai dengan jalan hidup yang mereka yakini Kekuatan yang mereka yakini ada dan lebih kuat dari manusia itulah yang mereka sebut sebagai Tuhan Dengan berbagai jalan, sudut pandang keyakinan, dan cara meyakini yang berbeda – beda Manusia menggantungkan dirinya pada Tuhan Sebagai pembimbing jalan hidup mereka di dunia ini Dan seharusnya kita berharap bahwa setiap manusia di dunia ini sama – sama meyakini eksistensi Tuhan dengan harmonis tanpa mempermasalahkan cara masing – masing mengagungkan keberadaannya. Sayangnya, manusia tidak cukup kuat untuk menciptakan keselarasan dan kedamaian dalam meyakini eksistensi Tuhan Perbedaan – perbedaan yang kompleks di antara manusia, pada akhirnya menimbulkan konflik antar manusia dengan mengatasnamakan sanjungan pada Tuhan Lantas, apakah benar Tuhan yang menciptakan konflik di antara kita dengan mengatasnamakan – Nya Ketika manusia menjadi kesetanan karena membahas Ketuhanan Itulah konflik terburuk yang harus dihadapi oleh kita. Dalam setiap kisah atau cerita, ada sesuatu yang selalu eksis
Namun tidak selalu bisa dilihat dan dipahami oleh banyak manusia yang mengikutinya Itu ada untuk memberitahukan kepada manusia Bahwa kisah dan cerita bukan angin semilir yang bertiup sesaat menerpa mereka untuk kemudian dilupakan begitu saja Ada makna yang berarti untuk manusia itu sendiri di balik cerita Agar mereka paham bahwa apa yang sudah terjadi di hari kemarin dan hari ini Adalah sesuatu yang bisa terulang kembali Namun penting untuk diketahui apakah itu perlu diulangi kembali atau sebaliknya untuk tidak diulangi kembali Sesuatu yang membangun semangat hidup manusia Yang menghidupkan kehidupan manusia Yang dibutuhkan oleh manusia agar mereka tahu apa sesungguhnya arti eksistensi mereka Pesan moral. Kita sebagai manusia, memang tidak bisa hidup sendiri. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan membawa diri kita memiliki hidup yang lebih baik, kita perlu hidup bersama dengan orang lain, entah kita berada di dunia kerja, dunia pendidikan, atau dunia komersial. Dalam kehidupan sosial apapun itu, kita sebagai manusia berusaha untuk menghidupkan dan dihidupkan oleh manusia lain. Manusia hidup untuk saling menghidupkan sesamanya, begitulah pada prinsipnya kehidupan semestinya berjalan. Untuk menjaga keseimbangan hubungan antar manusia, setiap dari kita hendaknya menyadari bahwa apa yang kita berikan kepada manusia lain, entah dalam bentuk pelayanan, perilaku, dan perkataan, memberikan dampak kepada mereka. Apa yang kita berikan kepada manusia lain, akan diberi balasan yang seharusnya kepada kita, sebagaimana hukum karma. Sayangnya, kita cenderung apatis atau lupa akan hukum karma yang berlaku dalam kehidupan sosial ini. Kita terlambat datang menghadiri sebuah pertemuan penting dengan klien, kita mencari alasan atau pembanaran kepada atasan karena pekerjaan kita tidak selesai sesuai dengan target dan jadwal, kita enggan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada kustomer karena sudah merasa cukup dengan apa yang bisa kita berikan sebagai pekerja saat ini, kita enggan mengembalikan hutang kepada teman sendiri, kita enggan berusaha memenuhi janji, kita selalu mencari kesalahan orang lain untuk mencuci tangan kita sendiri, kita berusaha menampilkan diri menjadi sosok yang diidolai meski itu bukan karakter asli kita, kita membeli sesuatu yang melampaui batas kemampuan finansial kita, kita enggan menggantikan kembali sesuatu yang telah kita rusak dari teman dan relasi kita, dan tentu saja masih ada beberapa contoh lain tentang kurangnya rasa bertanggung jawab terhadap apa yang kita lakukan dan dampaknya terhadap orang lain. Alkisah, di sebuah kantor yang sedang diisi oleh kegiatan rapat, seorang pegawai humas meminjam beberapa buah name plate dari pegawai pergudangan. Di kantor tersebut, ada peraturan bahwa ketika sebuah unit kerja meminjam peralatan dan perlengkapan dari unit lain harus menyertakan surat peminjaman inventaris kantor sebagai dasar peminjaman perlengkapan tersebut. Kemudian, dengan alasan dikejar oleh waktu sang pegawai humas hanya melakukan komunikasi lisan untuk meminjam barang dari unit pergudangan, dengan bahasa perintah yang mengatasnamakan kepentingan pimpinan perusahaan. Pegawai pergudangan yang diperintah tidak memiliki pilihan selain mengiyakan permintaan pegawai humas dan memberikan sejumlah name plate yang diminta. Sayangnya, setelah kegiatan rapat tersebut selesai, pegawai humas lalai menjaga keberadaan name plate sehingga barang inventaris pergudangan tersebut hilang entah dibawa oleh siapa, sehingga ketika pegawai pergudangan menagih pengembalian satu paket name plate tersebut, pegawai humas hanya bisa mengatakan permohonan maaf atas kehilangan barang tersebut karena diambil orang tidak dikenal yang tidak bertanggung jawab. Dalam kasus ini, memang orang tidak dikenal – lah yang bersalah karena menjadi penyebab atas hilangnya barang tersebut, namun jika kita berpikir lebih rinci lagi tentu siapapun paham bahwa pegawai humas juga menjadi pihak yang bertanggung jawab atas hilangnya name plate itu, karena membiarkan name plate setelah kegiatan selesai begitu saja hingga memberikan kesempatan pada orang asing untuk mencurinya. Tapi kelalaian pegawai humas tersebut tidak diakui dalam penjelasan itu. Kejadian ini seakan sudah menjadi hal yang biasa terjadi, sehingga ada banyak di antara kita yang tidak lagi mempermasalahkan rasa tanggung jawab terhadap sesuatu yang orang lain titipkan pada kita. Menghilangkan menjadi sebuah kehilangan, itulah yang terjadi dalam kasus di atas. Padahal, menghilangkan dan kehilangan adalah dua kata yang artinya sama sekali berbeda. Ada perbedaan mendasar pada dua kata kerja di atas. Kehilangan berarti barang menjadi tidak ada bukan karena diambil oleh seseorang semata, sedangkan menghilangkan berarti barang menjadi tidak ada karena ada seseorang yang mencurinya. Mengatakan bahwa barang hilang tanpa mengakui bahwa barang tersebut hilang karena lalai menjaganya adalah bentuk pengingkaran tanggung jawab tersebut. Bagi kita yang sudah terbiasa mengabaikan hilangnya barang kecil dan menjadikan kasus tersebut sebagai masalah sepele yang tidak perlu diselesaikan. Dan, di luar sana, tentu saja ada begitu banyak ungkapan yang menunjukkan bahwa tanpa sadar kita menganggap atau berharap bahwa terjadinya suatu hal yang tidak diharapkan bukan karena perbuatan kita. Pemilihan kata sebagai bentuk respon terjadinya suatu kasus sesungguhnya mewakili pola pikir dan cerminan karakter asli kita sendiri. Tidak mudah menjadi seseorang yang bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan dalam keseharian hidup yang dipenuhi oleh orang – orang di sekitar kita yang mungkin saja sudah apatis terhadap pentingnya rasa tanggung jawab. Di satu sisi, kita dituntut untuk berusaha, memberi, melayani, dan mengayomi orang lain dengan rasa tanggung jawab dengan sungguh – sungguh, sementara di tempat dan waktu yang sama atau berbeda, orang yang sudah kita layani dan kita beri dengan rasa tanggung jawab, tidak memberikan balasan berupa sikap melayani dan memberi yang baik pula. Disini, pepatah air susu dibalas dengan air selokan menjadi sebuah realita yang harus kita alami, dan bisa menimbulkan keengganan untuk menjaga sikap bertanggung jawab kepada orang lain di masa depan. Kita jangan sampai berbalik menjadi sama dengan mereka yang tidak peduli akan rasa tanggung jawab, karena itu bukan jalan keluarnya. Tetap bersikap bertanggung jawab atas apa yang kita berikan kepada mereka, baik dalam bentuk perbuatan maupun perkataan, tanpa mengharap diberi balasan yang lebih baik, bukankah merupakan cerminan bahwa kita lebih mulia dari mereka, bahwa tangan yang berada di atas tangan yang ada di bawah itu lebih baik? 行動はあなたが誰であるかを反映します。 Memulai usaha untuk mencapai apa yang kita inginkan itu sulit
Perlu usaha, ide, keyakinan, dan kesungguhan yang dilandasi dengan semangat dan itikad baik untuk mencapainya Tapi ada yang lebih sulit dari itu Yang memerlukan upaya yang lebih sungguh – sungguh lagi Mempertahankan apa yang sudah kita miliki Dan menjaga rasa syukur atas apa yang sudah kita miliki saat ini Sebelum hal itu lepas dari kita di masa depan nanti Karena kita tidak akan pernah memiliki sesuatu yang sama untuk kali keduanya. |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |