|
Kepada Tuhan yang kupercaya,
Tuhan Yang Maha Kuasa, yang meninggikan langit tanpa tiang, yang menciptakan kehidupan kepada seluruh makhluk di muka bumi ini, yang memiliki kekuatan yang tidak ada pembandingnya, yang disembah manusia tanpa mengharap pembelaan dari ciptaan – Nya sendiri, yang dapat menyaksikan perbuatan manusia dimanapun mereka berada, yang tidak membutuhkan siapapun untuk mengatur alam semesta dan seisinya. Ketika aku dihadapkan pada realitas bahwa kini manusia menjadikan – Mu hanya sesembahan karena mengharap surga – Mu dan menghindari neraka – Mu semata, saling membenci dan kemudian saling membunuh dengan mengatasnamakan Engkau, menjadikanmu sebagai merk material dagangan manusia, menggunakan nama – Mu untuk memperoleh kekuasaan di atas manusia lain, mengatasnamakan Engkau untuk melakukan diskriminasi dan penyiksaan terhadap manusia yang tidak meyakini – Mu atau meyakini – Mu dengan sudut pandang kepercayaan yang berbeda, aku masih mencoba untuk meyakini – Mu dengan segala kebaikan dan kekuatan – Mu. Meski ada satu waktu dimana aku pernah menyangsikan – Mu, dan mempertanyakan jalan kehidupan yang Engkau ciptakan untuk aku alami dalam rentang hidupku, aku masih percaya bahwa apa yang Engkau takdirkan kepada manusia melalui rentang kehidupan yang mereka dan aku lalui selama ini, tentu ada tujuan – Nya. Meski kini, dan mungkin suatu saat nanti, aku mengubah sudut pandang dan tata cara menyembah – Mu, aku tetap meyakini eksistensi – Mu sebagaimana aku yang dulu. Penyangkalan atas eksistensi – Mu dengan mengagungkan materialisme dan sains bukanlah jawaban atas kekecewaanku, karena aku percaya apapun yang datang kepada manusia dan mereka nikmati, selurhnya berkat atas daya dan izin – Mu. Kepada Tuhan yang kupercaya, yang memberiku usia, berkah, dan pelajaran, aku tetap setia dan yakin pada – Mu.
0 Comments
Manusia itu konon katanya adalah makhluk pembelajar, atau organisme hidup yang diberkahi kemampuan untuk berpikir terhadap apa yang mereka saksikan, dengar, dan rasakan terhadap makhluk atau lingkungan tempat manusia itu eksis. Karena manusia sedari awal diciptakan sebagai makhluk sosial (homo socialismus) yang menjadikannya tidak mampu mengembangkan dan mempertahankan hidupnya secara soliter total, maka manusia membutuhkan interaksi dengan manusia lain dan lingkungan, yang terproses melalui apa yang disebut sebagai “belajar.” Tak ada manusia yang tidak pernah belajar, sekalipun manusia tersebut tidak pernah memasuki ruang sekolah, akademi, atau universitas. Manusia harus mempelajari suatu dan berbagai lain hal untuk mempertahankan hidupnya sendiri, dan untuk memahami berbagai hal yang ada dalam dirinya, yang didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan.
Ketika peradaban manusia telah berkembang dari era nomaden dan era bertani menjadi era industrial, belajar tidak lagi menjadi suatu pekerjaan yang dilakukan manusia karena untuk memenuhi kebutuhan dasarnya semata. Lebih dari itu, belajar kemudian menjadi sebuah kegiatan yang “dilembagakan” dan menjadi kegiatan mandatori (wajib) bagi seluruh manusia di waktu, tempat, dan peran sosial apapun. Tanpa mengikuti proses pembelajaran, mustahil bagi mereka untuk mengakses kehidupan masyarakat dan mendapatkan peran dalam lingkungan kehidupan tersebut. Kegiatan belajar pun menjadi sebuah aktivitas harian manusia, dimana manusia dari berbagai usia, profesi, suku, ras, agama, kebangsaan, dan kelas sosial dikumpulkan dalam lembaga seperti sekolah, akademi, universitas, dan lembaga pelatihan, dan manusia diajarkan berbagai macam ilmu pengetahuan dari berbagai bidang sesuai tingkat usia, peran sosial, profesi, budaya, ideologi, keyakinan, dan spiritualitas. Kini, manusia siapapun pasti akan mengalami proses belajar, sebagai syarat untuk memperoleh peran (pekerjaan) dalam tatanan kehidupan sosial yang dibangun di atas prinsip ekonomi dan industri. Dalam taraf yang lebih tinggi tersebut, belajar pun berkembang definisinya menjadi “pendidikan” dan/atau “pelatihan.” Tidak ada yang salah ketika pendidikan dan pelatihan menjadi sebuah bagian dari proses industrialisasi, karena untuk meningkatkan taraf kehidupannya secara pribadi maupun meningkatkan kemajuan peradaban dalam ruang lingkup sosial, manusia membutuhkan kegiatan mendidik dan melatih manusia lain agar siap bekerja di berbagai bidang disiplin ilmu, untuk menghasilkan suatu produk yang memenuhi kebutuhan dan memberikan kembali penghasilan pada manusia itu sendiri. Akan tetapi, kenyataannya manusia tidak bisa belajar dengan tetap berpegang teguh pada dasar keyakinan dan kebutuhannya “untuk apa dia mempelajari sesuatu?” dan memang begitu adanya, yang kian menjadi kebiasaan di masa sekarang. Manusia yang bisa dengan mudah disaksikan saat ini, adalah mereka yang memandang bahwa belajar hanyalah bagian sederhana dalam kehidupan mereka sendiri, hanya sebagai media untuk mengantarkan mereka memperoleh apa yang menjadi hasrat manusia akan kemegahan duniawi : memperoleh profesi yang diakui, memiliki gelar akademik belaka, meningkatkan jenjang jabatan dalam karirnya sendiri, mendapatkan pengakuan sosial akan kecerdasannya, atau memperoleh peluang untuk melengkapi kekayaan pribadinya semata. Sungguh ironis, apabila manusia belajar bukan karena untuk mengembangkan kehidupannya dan membantu manusia lain merangkak ke strata kehidupan yang lebih baik. Pendidikan dan pelatihan tidak lagi menjadi sesuatu yang mendorong manusia untuk menghidupkan manusia yang lain, bahkan bisa berbalik menjadi sesuatu yang digunakan manusia untuk mengalahkan dan mematikan manusia lainnya. Pendidikan dan pelatihan menjadi sesuatu yang tidak bemakna humanis lagi bagi manusia, apabila hanya menjadi alat untuk meningkatkan peradaban manusia tanpa mengindahkan kemanusiaan manusia itu sendiri. Dan amat disayangkan, lagi – lagi ini sudah menjadi sesuatu yang lazim dianut, terus terjadi di manapun dan kapanpun. Lebih – lebih bagi sekolah dan universitas yang memungut bayaran mahal dari peserta didiknya sendiri, menjadikan pendidikan dan pelatihan adalah sebuah kemewahan yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki modal cukup besar, namun tidak bisa dikonsumsi oleh manusia – manusia yang kurang beruntung dari sisi strata ekonomi dan status sosial. Pendidikan dan pelatihan untuk manusia yang telah dijatuhkan nilai kemanusiaannya seperti ini, hanya menjadi kegiatan rutinitas semata yang kehilangan maknanya, bahkan eksistensi dan proses berjalannya tidak dihargai lagi oleh manusia. Agar manusia pada zaman ini tidak memalingkan pandangan dari realitas itu, mari kita mencoba untuk melihat, menyaksikan, mengalami, dan merenungi sendiri, sesungguhnya berapa banyak manusia yang datang ke sekolah, universitas, dan mengikuti kegiatan pelatihan karena hasrat dan kesadaran untuk mengembangkan keterampilan dirinya yang bisa ditransfer untuk memajukan manusia lain? Dari sekian jutaan anak – anak yang belajar di sekolah, berapa di antara mereka yang belajar untuk memahami kedalaman ilmu daripada mengejar nilai A atau memperoleh kelompok pergaulan di kelasnya? Hanya berapa mahasiswa yang mau datang ke kampus karena untuk mengabdikan ilmu yang ia peroleh kepada masyarakat dibandingkan mahasiswa yang datang untuk memperoleh gelar akademik atau memperoleh profesi impiannya, yang ingin ia emban karena hasrat pribadinya? Siapa kaum pekerja dan pengusaha yang kembali duduk di meja belajar untuk mengikuti pelatihan atau pendidikan keprofesian karena untuk memberikan ilmu lebih banyak lagi kepada rekan kerja, pelanggan, dan masyarakat, dibandingkan dengan yang kembali belajar karena hanya untuk memperkaya dirinya sendiri? Dari sisi yang lain, pendidikan dan pelatihan untuk manusia juga menjadi kehilangan esensi dan tujuannya untuk memanusiakan manusia, apabila ilmu pengetahuan diasimilisikan dengan kepercayaan dogmatik, baik yang dilandasi ideologi politik ataupun agama. Sebuah institusi pendidikan dari taraf sekolah dasar hingga universitas negeri apapun, jika sudah disusupi oleh tuntutan untuk patuh pada fundamentalisme agama tertentu dan ideologi negara pada level ekstrim, tidak menjadi lebih baik dari sebuah “kamp konsentrasi saintifik” yang memaksakan dogma – dogma kosong pada civitas akademika – nya untuk menghasilkan manusia – manusia yang tampak intelek dari luar namun di dalamnya hanya menjadi manusia tanpa jiwa. Kini, bahaya itu semakin tampak nyata ketika di banyak negara seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, Rusia, Asia Tenggara, dan Jepang, menunjukkan kembalinya kekuatan Kanan Garis Keras yang menguasai pemerintahan dan politik. Kalau membicarakan kemunduran pendidikan untuk manusia dalam skala global mungkin terlalu jauh untuk dikatakan, mungkin membicarakan masalah pendidikan dalam skala domestik, yang bisa kita saksikan sendiri dalam kehidupan sehari – hari, dan dibungkus dalam kemasan cerita dari orang lain, sudah cukup untuk menggambarkan betapa suramnya wajah pendidikan di zaman sekarang ini. Alkisah, ada seorang pegawai yang bekerja di divisi pelatihan sebuah perusahaan besar. Tugasnya adalah sebagai panitia pelaksana kegiatan diklat di kantornya, dimanapun lokasi penyelenggaraan pelatihannya. Ia awalnya seorang pegawai yang idealis dalam bekerja : Selalu memulai persiapan pelatihan dari beberapa minggu sebelum tanggal pelaksanaan, menganggarkan biaya pelatihan sedikit lebih besar dari anggaran yang dibutuhkan untuk menutupi kekurangan biaya yang mungkin terjadi, menyiapkan fasilitas dan perlengkapan pelatihan dengan kualitas terbaik yang bisa ia peroleh, mengkoordinasikan seluruh proses pelaksanaan diklat kepada peserta dan pihak lainnya yang berkepentingan pada diklat itu dengan sesigap mungkin, dan selalu berusaha memenuhi permintaan peserta maupun pengajar diklat. Ia mungkin berhasil melakukan usaha yang pertama, kedua, ketiga, dan keempat dengan sebaik mungkin, namun ia seringkali dihadapkan pada kekecewaan untuk melakukan usaha diklat yang kelima. Masalahnya, selalu ada saja permintaan dari peserta yang terkadang sebetulnya tidak perlu untuk dipenuhi : Ada yang menginginkan merchandise pelatihan lebih banyak, fasilitas kendaraan untuk jalan – jalan malam, mengeluhkan cita rasa makanan, minta disediakan hotel karena tidak puas dengan fasilitas penginapan dormitory peserta, minta disiapkan hari khusus untuk kunjungan ke lokasi objek wisata, dan lain sebagainya. Kalau keinginannya dipenuhi, rasa terima kasih atau seutas ucapan itu tidak disampaikan kepadanya, namun apabila apa yang mereka mau tidak bisa dipenuhi, maka segala bentuk ekspresi kekecewaan harus siap diterima olehnya. Seiring dengan berjalannya waktu dan semakin kenyang pengalamannya dalam menyelenggarakan pelatihan, dia pun semakin bersikap fleksibel pada peserta pelatihan. Sekarang baginya, tidak masalah pelatihan yang menjadi tanggung jawabnya terselenggara dengan unsur hiburan, budget dilebihkan lagi untuk menambah kemahalan biaya fasilitas dan makanan, memberikan toleransi waktu lebih bagi peserta yang terlambat atau bermalas – malasan, asalkan setelah pelatihan peserta pulang dari kegiatan diklat dengan puas. Sambil melalui proses pekerjaannya yang kini kian pragmatis, ia bernostalgia dengan pengalamannya bekerja sebagai guru untuk anak – anak di daerah tertinggal dalam program “Indonesia Mengajar” yang diadakan oleh sebuah lembaga non – profit yang didirikan oleh para segelintir filantrofis yang masih menaruh kepedulian tinggi terhadap rendahnya kualitas pendidikan di Negeri Nusantara ini, dimana ia mengajar anak – anak dari daerah Timur yang selalu mengikuti kelasnya dengan ceria dan penuh rasa ingin tahu tanpa meminta fasilitas lebih apapun, padahal tempat mengajarnya di sana adalah sebuah pulau kecil di Maluku yang berada agak jauh dari Ibukota Ambon, dan ia bersama anak – anak itu hidup dalam keterbatasan makanan, listrik, dan air tanah. Tapi, dari pengalaman inilah ia menjadi mengerti, bahwa kedewasaan manusia sesungguhnya bisa dilihat dari perilakunya dalam belajar. Usia, jabatan, tingkat pendidikan, dan latar belakang sosial tidak menjamin seseorang menyikapi kegiatan belajar dengan sungguh – sungguh. Sebaliknya, kejernihan dan kepolosan anak – anak di daerah yang belum terjamah arus modernisasi dan industrialisasi, justru malah menjadikan mereka sebagai manusia pembelajar terbaik yang pernah ia hadapi. Pendidikan dan pelatihan yang ia kerjakan, memperlihatkan beragam perilaku manusia yang saling berlawanan : Yang serius dan yang malas, yang bersyukur dan yang selalu mengeluh, yang mandiri dan manja, yang bekerja secara tim dan yang bekerja secara soliter, yang berusaha ingin tahu dan yang apatis, yang ingin mengabdikan ilmunya pada perusahaan dan masyarakat atau menyimpan ilmunya untuk diri sendiri, dan berbagai macam perilaku manusia dalam belajar di kegiatan diklat, baik yang positif maupun negatif. Pada akhirnya, ia mulai mengerti, bahwa sesungguhnya ia tidaklah berbeda dengan rekan – rekan kerjanya yang menjadi siswanya itu : Ia juga sedang belajar, belajar untuk memahami bahwa tidak semua idealisme dan harapan di dalam benak yang terbayangkan begitu indah akan terwujud menjadi kenyataan yang berkesan indah. Justru sebaliknya, ia harus berkali – kali menerima kenyataan yang bertolak belakang dengan ide - idenya, namun dari sanalah ia terus berusaha memperbaiki proses kerjanya sekaligus menjaga hubungan baik dengan teman kerjanya sendiri supaya ia tetap mendapat pengakuan dan eksistensi atas perannya di perusahaan yang telah menyokong kebutuhan hidupnya selama ini. Akhir kata, belajar itu seperti konflik dalam kehidupan : Kita mungkin tidak menyukainya, namun kita tidak bisa menghindarinya. Berbagai proses perjalanan hidup manusia itu ditempuh dengan belajar, tidak ada keberhasilan yang diraih tanpa melalui proses belajar, untuk berusaha memulai dan menjaga hubungan baik dengan manusia lain juga dengan belajar, untuk berusaha tidak mengulangi kegagalan yang sama juga dimulai dari belajar, bahkan untuk memahami siapa diri kita sendiri pun perlu dilakukan dengan mempelajari siapa kita. Jangan pernah berhenti belajar dalam hidup, dan belajar bukanlah sesuatu yang hanya bisa dilakukan di dalam kelas yang sempit, karena tanpa belajar manusia tidak akan memperoleh apa – apa dalam hidupnya. Manusia itu diciptakan oleh Tuhan untuk berpasang – pasangan, untuk menyukai sesuatu atau seseorang yang ia kenal dalam hidupnya, dengan apa yang mereka sebut sebagai “cinta” atau “kasih.” Naluri mencintai dalam diri manusia adalah hal yang wajar, dan tidak ada seorang manusia pun yang tidak memilikinya sekalipun mereka berusaha menyembunyikannya. Apakah engkau pernah merasakan cinta dalam hidup? Mungkin iya, mungkin juga belum, atau mungkin engkau tidak menyadarinya.
Rasa cinta, memang seperti minuman yang dicampur dengan gula dan diaduk hingga butir – butiran gula itu larut bersamanya, begitu manis di awal tegukan, hingga tetes terakhir. Begitu pun rasa cinta, mungkin akan datang saatnya perasaan itu habis dirasakan oleh dua manusia yang saling menumbuhkan rasa cintanya, tapi rasa manis itu mustahil akan terlupakan oleh manusia. Cinta bisa berakhir dengan kematian seseorang, ketidaksepahaman, intoleransi terhadap idealisme masing – masing, penyakit, kekecewaan, relasi antar keluarga, perbedaan suku ras dan agama, namun betatapun relasi yang dibangun dari perasaan mencintai, dia takkan pernah hilang dari manusia yang pernah merasakan dan mengalaminya. Cinta yang berkembang menjadi obsesi berkesudahan itu, akan memberikan goresan yang dalam pada dasar batin manusia. Cinta itu seperti goresan luka, walaupun ia bisa disembuhkan, ia akan tetap meninggalkan bekas pada manusia. Sebagian besar manusia mungkin memilih untuk menutupi perasaan luka itu dengan memulai menumbuhkan rasa cinta yang baru pada orang lain, dan sebagian manusia yang lain memilih untuk menunggu agar ia bisa melupakan goresan luka di dasar batinnya itu hingga ia cukup sanggup untuk memulai menumbuhkan cinta yang baru, dan ada sebagian kecil yang memilih untuk tidak melukai diri sendiri sekali lagi untuk selamanya. Pada dasarnya, manusia itu juga diciptakan untuk memahami cinta. Ada yang berusaha menemukannya, ada yang mendapatkannya namun tidak benar – benar menyadarinya, ada yang mencoba untuk berusaha tidak memahami walau nalar dan perasaannya tidak bisa mengesampingkan hal itu, dan ada yang tidak bisa benar – benar memahaminya meski ia memiliki cinta. Rasa cinta itu unik, ia ada karena untuk dipahami manusia, namun diawali, dijalani, dan diakhiri oleh manusia dengan cara – cara yang terkadang irasional. Rasa cinta selalu bisa membuat manusia yang paling rasional, idealis, terukur, dan kaku pun menjadi keluar dari kebiasaannya. Cinta bahkan mampu mengubah karakter dan membawa jalan hidup seorang manusia ke jalan yang baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cinta adalah material terbaik dari perjalanan hidup seorang manusia, karena cintalah yang mengembangkan kepekaan hati manusia pada sesamanya, mengembangkan kedewasaannya, meluruskan atau justru membelokkan arah hidup perjalanan manusia, dan jelas bahwa cintalah yang mempertemukan manusia dengan manusia lain yang ditakdirkan Tuhan menjadi pasangan hidupnya, tidak peduli akan berakhir seperti apa hubungan diantara mereka. Dan, dalam beberapa kasus yang dialami oleh beberapa manusia, yang terkatakan ataupun yang tidak terkatakan oleh banyak orang, ada di antara mereka yang pernah mengalami rasanya mencintai seseorang yang mereka kasihi, dan berakhir dengan tidak sesuai impian mereka. Cinta yang berakhir dengan menyisakan goresan luka di dasar hati yang terdalam, kurang lebih kita menyebutnya seperti itu, namun cinta itu tidak membuat manusia berpindah ke lain hati selain dia yang dikasihinya dan telah terlanjur menggoreskan luka di hatinya. Rasa cinta yang seperti itu bukanlah obsesi, ia sudah berkembang menjadi sebuah rasa loyalitas, cinta dengan kadar yang hanya bisa dibuat oleh manusia yang cukup tegar dan sabar melalui rumitnya alur perjalanan hidup seperti apapun dan memiliki rasa apresiasi yang tinggi pada sesuatu dan seseorang yang pernah ia miliki. Loyalitas yang tetap terjaga dalam hati seorang manusia meski cinta telah hilang pada dirinya, adalah sesuatu yang langka ditemukan pada zaman seperti sekarang ini, dimana segala sesuatu bisa diperoleh manusia dengan instan dan mudah untuk dicari lagi apabila yang sudah dimilikinya hilang. Pertanyaannya, ketika cinta hadir pada diri kita, sanggupkah manusia mengembangkannya menjadi loyalitas? Tahukah kamu, bahwa ada kalimat dalam satu ayat kitab suci salah satu agama yang menyebut, “apa yang kamu sukai mungkin bukan sesuatu yang baik bagimu, dan apa yang kamu benci mungin adalah sesuatu yang baik bagimu, dan sesungguhnya Tuhan lebih mengetahui apa yang kamu butuhkan?” Kalimat ayat kitab suci itu memang terdengar sangat mencerahkan untuk dikatakan, meski kenyataannya banyak manusia menghindari segala sesuatu yang ia benci dan berusaha hanya memperoleh apa yang mereka sukai.
Manusia itu hidup dalam realitas, dan realitas itu berisi banyak hal yang tidak sesuai dengai mimpi dan harapan kebanyakan manusia. Salah satunya, bisa kita saksikan dari pengalaman mereka yang pergi merantau dari daerah asal untuk memperoleh kehidupan di Ibukota, yang pada awalnya mereka kira sebagai “jalan cerah” untuk memperoleh kenaikan kesejahteraan dan gaya hidup mereka. Manusia memang berhak dan harus berusaha meningkatkan kesejahteraan hidupnya, karena hanya dengan jalan itulah manusia bisa benar – benar menemukan apa arti eksistensi mereka di dunia dan sebagai wujud pembuktian mereka dalam berusaha di kehidupan yang tidak berjalan lama ini. Arti hidup manusia tidak akan ditemukan hanya dengan berdiam diri di tempat terpencil, manusia akan menemukan arti eksistensi dan kegunaan dirinya dalam berusaha memberikan sesuatu kepada manusia yang lain. Akan tetapi, ketika mimpi untuk menggapai kesejahteraan dan gaya hidup menjadi obsesi, manusia yang paling baik, welas asih, dan sederhana pun bisa menjelma menjadi predator bagi manusia yang lain. Tanpa memandang identitas suku, ras, agama, kebangsaan, latar belakang, dan status sosial, mereka yang hidup dalam kota metropolitan akan tergerak menggunakan segala cara untuk memperoleh dan mempertahankan apa yang sudah mereka miliki dari apa yang mereka sebut sebagai “keberhasilan.” Kemajuan menjadi agama yang sesungguhnya bagi mereka, dan uang menjadi Tuhan yang baru bagi manusia – manusia penyembah keyakinan akan kemajuan itu. Bahkan, agama yang mereka yakini sebagai jalan kebenaran untuk mencapai kehidupan yang hakiki setelah kehidupan duniawi ini hanyalah menjadi topeng atau motif untuk menggapai impian duniawi itu sendiri. Apa yang terjadi dan sudah menjadi pengetahuan umum di kota metropolitan itu, memang sudah kuketahui jauh sebelum aku berada di sini, di kota metropolitan ini. Tapi, pada saat itu, aku belum memiliki pengalaman nyata menjadi bagian dari kaum urban disini. Aku hanya memiliki imajinasi, bukan pengalaman realis yang kualami dan kusaksikan sendiri. Dan, aku menyadari bahwa untuk mengetahui sesuatu hal, tidak cukup hanya dengan mengetahui saja. Manusia membutuhkan pengalaman dan kesaksian yang nyata terhadap suatu hal yang tidak mereka sukai, agar manusia benar – benar belajar, mengetahui secara langsung apa yang mereka butuhkan walau itu harus membuat mereka menderita. Seperti cahaya yang membutuhkan kegelapan agar cahaya itu tampak nyata terangnya, atau seorang pahlawan yang membutuhkan penjahat agar pahlawan itu dapat membuktikan kekuatan dan jati dirinya sebagai sosok yang dikagumi oleh banyak orang. Disini, aku sudah menjadi bagian dari kaum urban itu. Dua setengah tahun sudah aku merasakan menjadi bagian dari mereka. Perjalananku disini mungkin masih amat panjang, tapi dengan pengalaman selama itu aku sudah merasakan sendiri bagaimana sesungguhnya kehidupan masyarakat metropolitan yang penuh dosa, dosa – dosa yang dilumuri oleh kecemerlangan palsu dan bahkan nilai – nilai kemanusiaan dan kebenaran. Tempat aku berpijak sekarang, adalah tempat terkutuk, tempat dimana manusia berperilaku menjadi predator buas untuk manusia lainnya dengan mengatasnamakan kepercayaan akan apa yang mereka sebut sebagai kemajuan dan Perintah Tuhan. Memang, dulu aku pernah mengalami masa – masa mengeluhkan betapa beratnya menjalani hidup dengan terus berpura – pura, berakting, mendapat perlakuan tidak adil, dan apapun perilaku yang tidak seharusnya kulakukan dan kuterima. Kemudian, aku sadar bahwa aku harus mengubah sudut pandang, bahwa tempat ini bukanlah tempat untuk menjadi halaman rumahku yang menjadikanku sebagai manusia humanis. Ini adalah tempat untukku, dan mereka, berjuang melepaskan kebanggaan diri untuk mencapai derajat kehidupan yang lebih baik daripada manusia yang lain. Terus begitu, hingga suatu saat mereka, dan bisa saja aku, tidak lagi merasakan sakit dan derita oleh tekanan hidup kota metropolitan. Maukah engkau bergabung dengan mereka, dan denganku, untuk melumuri tangan dan menambah catatan dosa – dosamu menjadi bagian dari kami, di tempat aku berpijak saat ini? Tidakkah kamu ingin merasakan sendiri seperti apa tempat terkutuk dimana manusia – manusia berkumpul mempermainkan Tuhan untuk mencapai apa yang mereka mau, kemudian menyia – nyiakannya begitu saja? Dan di dalam hingar – bingar yang salah ini, aku masih tetap menjadi waras, sambil mengenakan topeng sosial kepada manusia – manusia di Ibukota ini yang, entah sudah menjadi predator bagi manusia lain, atau berakting sama seperti aku. |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |