|
Katanya, perasaan cinta itu bisa tumbuh di mana saja, tak terkecuali di tempat manusia melakukan profesi kesehariannya. Kebanyakan orang menyebutnya cinta lokasi, perasaan mencintai seseorang yang muncul dari kantor tempat ia bekerja. Bagaimana perasaan cinta bisa tumbuh dan kemudian berkembang di antara dua manusia sesungguhnya bukanlah sesuatu yang aneh, bahkan sangat wajar. Hampir setiap hari di luar waktu akhir pekan, kita bertemu dengan rekan kerja yang sama di satu tempat, berawal dari komunikasi interpersonal untuk menyampaikan pesan tentang pekerjaan, lambat laun muncul rasa saling mengenali kepribadian satu sama lain, menemukan kecocokan antara diri sendiri dengan dirinya, hingga kemudian terbit rasa keinginan memiliki dirinya, dan menganggap rekannya lebih dari sekedar rekan kerja. Dibandingkan dengan mencari cinta di perjalanan, keluarga, atau ruang pergaulan sosial lainnya, tempat kita bekerja adalah tempat yang paling mudah untuk menemukan cinta kita sendiri. Memiliki perasaan cinta di tempat kerja memang bukanlah sebuah dosa. Tidak ada pandangan budaya, ideologi, atau agama yang melarang manusia menjalin hubungan cinta dengan lawan jenisnya di tempat kerja. Sebagian manusia yang mengalaminya mendapatkan rasa cinta di tempatnya bekerja yang berakhir dengan manis, yaitu membawa hubungan cintanya lebih lanjut ke pernikahan. Namun bagi sebagian yang lain, cinta yang berawal dari meja kerja menjadi akhir dari karirnya sendiri. Tidak sedikit manusia yang pada awalnya bekerja dengan profesional, terarah, memenuhi komitmen, dedikatif, pada akhirnya menemui titik kehancuran karirnya karena menempatkan perasaan cinta di meja kerjanya sendiri. Bagaimana mungkin bisa memenuhi tuntutan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, jika itu membuatnya harus menghadapi konflik dengan menjaga perasaan dengan rekan kerjanya sendiri. Dan dimanapun manusia bekerja, tentu selalu ada rekan kerja yang menjadi musuh bertopeng teman, yang memiliki ego untuk menjatuhkan siapapun rekan yang tidak mereka sukai. Bagi seseorang yang memiliki mentalitas kuat menghadapi gangguan sosial di tempatnya bekerja, mungkin godaan untuk mencintai rekannya adalah sesuatu yang ia ketahui menjadi pantangannya dan ia mampu untuk teguh mematuhi pantangannya itu. Namun sebaliknya, bagi mereka kaum profesional yang polos memandang politik di tempat kerja, mencintai rekan kerja sendiri bisa menjadi candu yang di kemudian hari menjatuhkan dirinya dalam rasa sakit hati, dikhianati, dijatuhkan, dihancurkan karirnya, kehilangan tempat kerja, bahkan ada yang hidupnya berakhir karena itu. Cinta yang seharusnya manis dan memberikan motivasi untuk bekerja dari seseorang yang paling dikasihi dan dekat dengan dirinya, berakhir dengan cinta tragis. Seperti yang diceritakan pada bagian sebelumnya, bahwa dalam lingkungan kerja di manapun dan kapanpun, setiap manusia pasti akan mendapat musuhnya sendiri, yang menjadi tantangan atau masalah bagi siapa saja yang terjun dalam lingkungan kerja. Karena rasa permusuhan memiliki satu sifat yang sama dengan rasa pertemanan dan cinta, yaitu membuat seseorang tanpa sadar mencampurkan perasaan pribadinya dengan profesionalisme kerja, dan itu adalah kesalahan besar bagi siapapun tak peduli bidang profesi apa yang menjadi tanggung jawabnya. Permusuhan pribadi di tempat kerja yang biasanya berawal dari persaingan antar pekerja untuk menjadi insan perusahaan yang lebih baik dari rekannya, sangat mungkin menjadi alasan bagi seorang antagonistik di tempat kerja untuk menjatuhkan rekannya yang tidak ia sukai, dan memanfaatkan hubungan cinta internal yang sedang dijalani lawannya. Entah cara apa yang digunakan, seperti menjebak lawannya seakan – akan melakukan skandal atau pelecehan seksual, mendorong lawannya untuk melakukan perbuatan seksis, menghasut lawannya dan kekasihnya hingga terjebak pada konflik asmara yang kelak akan menghancurkan karirnya, atau menggunakan hubungan dekat dengan atasan agar lawannya atau kekasihnya dikeluarkan dari tempat kerja tanpa alasan objektif. Tidakkah itu kejam, perasaan cinta di tempat kerja bisa membawa manusia pada kekalahan yang tidak sepantasnya ia terima. Cinta di tempat kerja itu seperti kotak pandora, jangan pernah menyentuhnya atau sedikit saja manusia membukanya, maka ia akan menghadapi berbagai hal – hal buruk yang jeluar dari kotak itu. Dan sebagian korporasi atau entitas usaha yang lebih kecil menyadari adanya bahaya di balik potensi konflik interpersonal karyawan tersebut, sehingga mereka menarik garis tegas dalam bentuk peraturan tertulis bahwa dilarang hukumnya antar pegawai menjalin hubungan cinta pribadi, atau jika mau diteruskan ke jenjang pernikahan maka salah satu pegawai harus keluar dari entitas kerja tersebut. Mengesampingkan perasaan cinta dan kasih pada rekan kerja dalam kehidupan profesional memang terdengar tidak humanis, tapi sebagaimana pentingnya untuk tidak menanamkan rasa balas budi ataupun menyimpan rasa dendam dalam bekerja, itu adalah bagian dari etika profesi yang perlu ditanamkan pada diri sendiri. Categories
0 Comments
Di tengah – tengah keramaian yang diciptakan oleh manusia – manusia yang berekspresi langsung dengan sesamanya, seringkali keheningan seseorang dianggap suatu anomali atau abnormalitas, sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan banyak orang bahkan sebaiknya dinetralisir dari peradaban masyarakat kini. Ilmu Psikologi menyebutkan suatu perilaku abnormal, yang memerlukan metode penyembuhan khusus dan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki kualifikasi sebagai seorang psikolog atau psikiater. Setidaknya, itulah yang dipandang oleh kaum manusia yang memperoleh energinya dari luar diri mereka, sebut saja, kaum ekstrovert, terhadap mereka yang digolongkan sebagai kaum introvert. Dan kenyataannya, di dunia yang didominasi oleh kaum ekstrovert ini, kaum introvert menjadi layaknya angin yang terasa kehadirannya namun tidak dianggap, terdengar suaranya namun tidak ditanggapi, terlihat kehadirannya namun tidak dipandang sungguh – sungguh, terbaca tulisannya namun tidak dianggap arti dan nilainya, eksistensinya ada dalam suatu kelompok namun betapapun besar kontribusinya tetap tidak akan membuatnya lebih terkenal daripada karyanya sendiri. Betapapun kecilnya eksistensi introvert dalam kehidupan manusia, haruskah introvert menyerah pada kekuatan dan keterbukaan kaum ekstrovert begitu saja, membiarkan dirinya tidak terlihat dan karya – karyanya diperkenalkan oleh mereka yang tergolong kaum ekstrovert? Ini bukan tulisan tentang menaruh kebencian pada kaum ekstrovert, tapi untuk sedikit membuka lembaran yang tidak dibuka oleh banyak orang tentang introvert yang seringkali tidak dianggap eksistensinya oleh mereka, dan (mungkin) menimbulkan rasa kecewa, rendah diri, dikucilkan, tidak diakui, iri hati, dengki, dan jika sampai pada tingkatan yang paling kronis, rasa dendam. Untuk menjauhkan dirinya sendiri dari perasaan – perasaan negatif seperti itu, introvert perlu memperoleh kesadaran sendiri, bahwa meskipun dirinya tidak dianggap tetap saja bukan berarti ia tidak ada. Ia ada, namun hanya masalahnya kurang mendapatkan apresiasi sebagai akibat dari ketidakmauannya mengeluarkan apa yang ada dari dalam dirinya sendiri kepada sesama. Mau hidup di zaman seperti apapun, introvert tidak akan bisa menjadi dikenal seperti ekstrovert, namun bukan berarti introvert tidak memiliki sisi keunggulan sendiri yang membuatnya tidak bisa bersinar di tengah – tengah kaum ekstrovert. Mengapa tidak mencoba untuk belajar lebih tekun, bekerja lebih keras sekaligus kreatif dan efisien, berpikir dengan pola out of the box dan engage to brake rules, bergerak lebih cepat sekaligus tepat, mengeluarkan kata dengan lebih ekspresif namun tetap efisien dan sungguh – sungguh dalam memberikan kalimat kepada mereka yang ada di sekitarnya, konsisten dengan prinsip yang sudah dianut, memperhatikan kesempurnaan suatu pekerjaan hingga pada titik kesempurnaan yang tidak bisa dilakukan oleh banyak orang, dan setia melakukan suatu misi hingga selesai. Dengan begitu, introvert bisa mempertahankan eksistensinya sekaligus menunjukkan arti dan peran dirinya sendiri untuk banyak manusia di manapun dia berada dan berperan. Membuktikan bahwa diri yang hening itu bukan berarti dia tidak diperlukan kehadirannya, sebaliknya, seseorang yang hening itu memberikan suatu hasil yang bersuara lebih keras sebagaimana laut yang dalam dapat menenggelamkan kapal yang lebih besar, menghanyutkan manusia lebih banyak, dan memiliki kekayaan biota laut yang jauh lebih besar. CategoriesKehidupan sebagai pegawai kantor di korporasi besar itu terlihat menarik bagi hampir sebagian besar manusia, tanpa mengenal batas apakah mereka yang berasal dari kota metropolitan, kota satelit, hingga daerah pedesaan sekalipun. Ada banyak manusia mengusahakan segala cara agar menjadi bagian dari kehidupan yang katanya, memberikan kebahagiaan dan kemakmuran itu. Dan kemudian, dari seluruh manusia yang mendambakan kehidupan metropolitan seperti itu, hanya sebagian yang akhirnya terpilih untuk menjadi bagian dari, sebut saja, kaum metropolis. Menjadi bagian dari mesin kapitalisme raksasa yang memproduksi berbagai komoditas yang dibutuhkan dan diinginkan setiap manusia, sambil menjadi konsumen dari komoditas kapitalisme itu sendiri. Ada yang terus berusaha hingga akhirnya sukses, ada yang hanya menikmati proses tanpa sungguh – sungguh merasakan hasrat untuk menjadi sukses, ada yang menemui kegagalan hingga terjatuh ke dalam keputusasaan, ada yang gagal namun menerimanya dengan hati legowo. Kita tidak sedang berbicara tentang golongan pertama hingga ketiga, karena mereka adalah golongan manusia yang sudah menemukan arti dari menjalani gaya hidup metropolitan dengan populasi yang banyak, wajah – wajah mereka mudah ditemukan di tengah gemerlap cahaya gedung pencakar langit dan lampu penerangan mobil pada malam hari. Akan tetapi, kaum metropolis pada golongan terakhirlah yang sesungguhnya bisa menjadi manusia – manusia terpilih dari kaum metropolitan yang katanya kurang mengenal kemanusiaan itu. Mereka, yang memperoleh kegagalan atas apa yang mereka harapkan namun kemudian menerima kegagalan itu dan berusaha mengubahnya menjadi jalan untuk memperoleh kesuksesan yang lain, tampaknya sulit kita temukan namun sesungguhnya mereka eksis. Mereka ada namun tidak dapat dilihat atau ditemui secara langsung oleh manusia yang terbiasa mengekspresikan segala sesuatu, menilai sesuatu atau seseorang cenderung dari apa yang mereka lihat, dan terbiasa menyukai sesuatu yang hanya bersifat “identitas” atau “label.” Hidup di kota metropolitan itu bukan sesuatu yang mudah, karena keindahan yang tampak memukau di mata banyak orang itu sesungguhnya penuh dengan kepalsuan, tidak benar – benar nyata. Banyak yang menaruh harapan tinggi mengawang – awang pada awalnya, namun kemudian terjatuh dalam keputusasaan hingga ada yang mengakhiri hidupnya sendiri dengan tragis. Mereka yang mengalami hal seperti itu, umumnya adalah mereka yang menaruh hati terlalu dalam pada apa yang mereka cintai di kota metropolitan ini. Akibat dari rasa mencintai dan mengagumi yang terlalu dalam, muncullah ekspektasi tinggi dalam diri mereka seakan – akan impian dan pujaan itu tidak akan pernah lepas dari mereka, padahal sesuatu dan seseorang yang mereka puja itu tidak membutuhkan rasa itu bahkan mereka sama sekali tidak peduli pada mereka. Rasa cinta dan kagum itu memang irasional, dan seringkali menjatuhkan manusia pada sesuatu yang tidak mereka duga atau di luar nalar mereka sebelumnya. Celakanya, rasa cinta yang terlalu dalam membawa manusia untuk luput belajar memahami bahwa kehidupan menjalani suatu profesi dan kehidupan sebagai pribadi adalah sesuatu yang pantang untuk dicampurkan dalam satu tempat dan waktu. Sebagian kecil dari perasaan pribadi boleh saja ditambahkan sebagai tambahan rasa ketika manusia sedang memberikan pelayanan yang terbaik kepada sesamanya, yang berwujud dalam keramahtamahan, keceriaan, senyum sapa, dan kepekaan pada kebutuhan pelanggan. Akan tetapi, apabila perasaan pribadi itu terlanjur larut dalam profesionalisme diri seseorang, maka siapapun dia harus bersiap menghadapi kemungkinan mendapat konfrontasi dari rekan dan kliennya sendiri, yang kemudian bisa mengganggu proses pekerjaannya. Dalam taraf yang amat kritis, konfrontasi yang muncul sebagai akibat dari tercampurnya kehidupan pribadi dan kehidupan profesional membuat seseorang tersisih dari pekerjaannya sendiri hingga hidupnya berakhir sampai di situ saja. Oleh karena itu, bisakah manusia mencoba untuk tidak menaruh rasa terlalu dalam pada sesuatu yang menjadi alasan mereka terobsesi? Agar kita ingat bahwa kita tidak selamanya memegang apa yang kita cintai dan miliki saat ini? Agar kita paham bahwa kehidupan pribadi tidak sepantasnya dibawa ke dalam profesi dan peran sosial yang kita jalani? Dan agar kita tahu, bahwa hidup tidak melulu tentang bagaimana membahagiakan diri sendiri dan sesama manusia di sekitar kita, tapi bagaimana tentang menjaga citra kita agar diri kita masih berada dalam batas – batas keamanan yang menjauhkan kita dari jebakan – jebakan hidup. CategoriesFotografi, yang dikenal oleh banyak orang sebagai teknik mengambil gambar dengan kamera atau peranti apapun yang berfungsi membuat sebuah gambar dalam format tercetak atau digital, kini seakan telah menjadi kegiatan yang bisa dilakukan semua manusia tanpa mengenal batas usia, gender, profesi, atau identitas lainnya, selama smartphone atau kamera ada di tangan mereka. Tidak seperti pada abad ke dua puluh dimana kamera masih merupakan sebuah peranti yang berat dan hanya bisa digunakan oleh kalangan tertentu yang memiliki akses, profesi, dan dana yang tidak dapat dijangkau oleh semua manusia. Terlebih dengan munculnya media sosial yang memudahkan manusia untuk membagikan foto seperti Instagram, VSCO, dan 500px, membuat foto kian mudah digunakan manusia untuk menceritakan berbagai hal yang ia potret kepada manusia di seluruh dunia, seakan tidak diperlukan lagi sebuah usaha besar untuk membuka pameran karya seni untuk mempublikasikan karya sendiri. Di balik segala kemudahan, fleksibilitas dan dinamisnya dunia fotografi saat ini, ada arti menarik di balik seni fotografi. Manusia itu, tidak semuanya benar – benar paham apa sesungguhnya esensi dari memotret, bahkan ada dari mereka yang memotret tanpa kesadaran untuk apa mereka memotret sesuatu. Mungkin tidak semuanya salah, karena manusia memotret untuk mengambil momen terbaik mereka bersama teman, kekasih, keluarga, atau rekan kerja yang mereka hormati, dan mengambil momen seperti tidak membutuhkan alasan dan pemikiran yang mendalam, asalkan mereka yang terabadikan dalam foto tersebut menjadi senang karenanya. Tapi fotografi memiliki arti lebih dari sekedar mengabadikan suatu momen yang disukai banyak orang. Lebih dari itu, dalam satu cekrekan yang kita lakukan dengan menggunakan kamera atau smartphone, kita sesungguhnya sedang melukis. Iya, fotografi adalah suatu kegiatan yang tidak ubahnya melukis sebuah karya lukis atau menulis sebuah cerita dengan tinta di atas kertas. Fotografi adalah sebuah seni tentang bercerita, karena ada sebuah cerita di balik setiap foto yang kita saksikan atau kita ciptakan sendiri. Foto seperti apa saja yang bisa diambil dari kamera kita, jawabannya adalah tidak terbatas, yang membatasi kemampuan foto dalam menceritakan sesuatu sesungguhnya adalah keterbatasan manusia yang membuatnya serta alat dan teknik pengambilan fotonya. Di alam semesta ini, Tuhan telah memberikan apapun yang bisa kita jadikan foto, tinggal bagaimana kita mengambilnya dan untuk alasan apa kita menggunakannya. Kita bebas mengambil objek foto apapun yang kita mau, tanpa ada batasan kecuali kita sendiri yang membatasinya. Dimulai dari mikro organisme, buah, bunga, makanan, furnitur, sepeda, mobil, rumah, jembatan, gedung, planet, dan tentunya manusia itu sendiri. Tidak hanya objek, fotografi menjadikan manusia mampu mengabadikan sebuah peristiwa, tak peduli apapun konotasinya apakah itu sebuah selebrasi yang dirayakan oleh banyak manusia atau tragedi yang patut ditangisi oleh mereka, fotografi menjadikan sebuah peristiwa lebih mudah diingat daripada memori otak manusia yang melakukannya. Sejarah membuktikan, bahwa sebuah foto bisa bercerita lebih banyak daripada kesaksian seorang pelaku sejarah itu sendiri, dan foto akan terus eksis selama manusia, waktu, dan kekuatan alam tidak memusnahkannya. Dari sebuah foto, ada kisah tentang perang, wabah penyakit, meletusnya berapi, peresmian sebuah pesawat dan kapal laut terbaru, deklarasi berdirinya sebuah korporasi atau partai politik, kemerdekaan sebuah negara baru, luluh – lantaknya sebuah kota setelah gempa bumi dan tsunami menerpa, terbunuhnya seorang selebriti atau petinggi negara, tertangkapnya seorang pelaku kriminal yang paling dicari kepolisian, hingga penghormatan terakhir untuk seseorang yang diakui prestasi dan sumbangsihnya untuk banyak orang. Manusia bisa melalui semau itu dengan penuh perasaan namun di kemudian hari manusia bisa melupakannya begitu saja seakan peristiwa itu hanya angin yang berlalu sesaat, namun foto tidak akan pernah melupakan peristiwa apapun selama eksistensinya masih terjaga di bumi ini. Karena sifatnya yang statis, foto juga menjadi saksi kehidupan manusia dan sejarah yang tidak bisa berbohong. Ketika seorang polisi sedang menginterogasi seseorang yang dinyatakan sebagai saksi atau tersangka, ia bisa berbohong untuk suatu kepentingan yang mengarah pada usaha untuk menyelamatkan dirinya sendiri, namun foto sebagai saksi dari sebuah kejadian apapun tak akan pernah berbohong. Foto tak ubahnya seorang anak kecil lugu yang tidak mengerti apa – apa selain mengatakan apa yang ia dengar dan saksikan sendiri, ia menceritakan suatu kejadian tanpa ada rasa apapun, atau itikad untuk melindungi nama baiknya sendiri, atau juga menjaga kepentingan seseorang atau pihak yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Betapa kekuatan sebuah foto mampu menentukan arah kehidupan manusia, catatan sejarah, bahkan siklus eksistensi bumi ini sendiri. Maka tak salah, jika sesungguhnya kita tidak boleh bermain – main dengan foto. Manusia itu, janganlah meremehkan sebuah foto. Karena di balik selembar foto, siapa tahu ia akan menemukan takdirnya sendiri atau kesaksian terhadap suatu peristiwa besar yang tidak pernah ia sangka dalam imajinasinya. CategoriesAlkisah, di dunia kehidupan nyata, ada sebuah media sosial baru yang menyodorkan sebuah konsep yang out of the box, lain daripada yang lain. Sementara media sosial lain mengedepankan media teks atau kombinasi teks dengan audio visual, media sosial yang satu ini mengedepankan media visual sebagai ciri khasnya. Setiap pemakai media sosial ini dapat mengirim dan mempublikasikan fotonya sendiri dengan beberapa teks yang dibatasi sekian karakter, seakan – akan pengguna membuka galeri foto mereka sendiri. Tak salah lagi, media sosial yang mulai dikenal pada Dekade 2010 tersebut bernama Instagram. Instagram adalah sebuah revolusi kecil dalam media sosial. Ia lahir ketika Friendster dan Myspace berada pada titik nadirnya, Facebook dan Twitter sedang berada di puncak kejayaan. Ia menawarkan sesuatu yang tampak sederhana namun memukau masyarakat yang melek teknologi pada saat itu : Mempublikasikan foto, bukan berbagi cerita dengan orang lain. Instagram tidak mendorong pengguna untuk terhubung dengan teman baru, teman lama, atau orang asing sebanyak – banyaknya, yang pada saat itu sudah mengubah banyak paradigma masyarakat menuju ke arah kemunduran dari sisi sosial. Oleh karena itu, Instagram perlahan berkembang menjadi media sosial yang digandrungi fotografer, pekerja seni, atau sekedar penggemar fotografi yang ingin memamerkan karya fotonya pada pengguna lain tanpa harus mengeluarkan biaya seperti seorang seniman besar yang membuka eksibisi karya seni ciptaannya. Hanya itu, tidak ada yang lain. Sebuah konsep media sosial yang sangat sederhana dan berkonsep tidak lazim, namun akhirnya disukai banyak orang. Pada awalnya, Instagram berkembang dengan tidak mencolok. Ia pun tidak didesain untuk bisa diakses di browser komputer, hanya dapat diakses melalui aplikasi gadget dengan sistem operasi Android dan iOS (walau pada akhirnya muncul di Windows yang membuatnya bisa juga diakses di komputer namun dengan keterbatasan tanpa mengunduh foto). Instagram memang didesain agar penggunanya dapat mempublikasikan foto atau mengakses foto milik orang lain di mana saja dan kapan saja, langsung dari tangan mereka sendiri. Oleh karena itu ia menjadi lebih populer bagi kalangan remaja dan dewasa muda yang cenderung lebih terbuka pada teknologi baru dan menyukai kebebasan daripada kalangan tua yang cenderung konservatif. Berbagai foto yang mengedepankan sentuhan teknik fotografi dari penggunanya sendiri pun bermunculan, mulai dari foto lanskap alam, foto makro yang memamerkan detail serangga dan tanaman, keindahan makanan dan minuman di meja, hingga kecantikan atau ketampanan seorang model. Instagram pun melahirkan tren baru yang sesungguhnya sudah dilakukan penggemar fotografi terdahulu : food photography, retro photography, instastories, dan lain sebagainya. Kemudian Instagram pun berkembang dengan memunculkan fitur video yang membuat penggunanya dapat mengunduh video mereka sendiri dengan batas durasi kurang dari satu menit, sehingga Instagram memungkinkan videographer juga ikut aktif dalam media sosial baru ini dan memunculkan tren vlogging : Menciptakan sebuah cerita layaknya seorang blogger yang menulis cerita di media blog namun dengan format video. Sekalipun Instagram dilahirkan untuk kaum millennials yang menyukai modernitas dan gandrung menggunakan gadget berteknologi terbaru, Instagram melahirkan peluang munculnya kembali mode fotografi retro, yaitu memotret dengan menggunakan kamera analog dan memfokuskan pada gaya fotografi pada zaman kejayaan kamera analog yang bernuansa modern – klasik. Pendek kata, Instagram menjadi sebuah media sosial pembebas bagi mereka yang tidak menyukai keramaian akan hal sosial, politik, SARA, maupun hal – hal sensitif lain yang sudah biasa ditemukan di media sosial lain. Hanya berbagi foto dan menceritakan tentang foto kita sendiri atau memberikan komentar tentang foto orang lain, itu saja, yang Instagram berikan pada penggunanya. Sayangnya, kebebasan dan ketenangan yang diberikan Instagram itu, kini seakan hanya menjadi cerita masa lalu. Seperti sebuah perusahaan kecil yang awalnya dibentuk oleh rasa kekeluargaan dan semangat sederhana dari sejumlah kecil penemunya dan kemudian berkembang menjadi korporasi raksasa yang membuat pegawainya bekerja sebagai faktor produksi semata serta menjadikan pelanggannya sebagai alat untuk mempertahankan eksistensinya memproduksi produk – produk baru, Instagram pun perlahan mulai digunakan oleh kalangan industrialis, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, korporasi media, politisi, hingga pemuka agama untuk mempublikasikan opini, ideologi, pesan politik, hingga firman Tuhan dalam format gambar dan video kepada banyak pengguna Instagram lain. Pengguna Instagram pun kian terfragmentasi dalam berbagai kalangan yang tidak memiliki batasan fotografi lagi, hingga Instagram tampil tidak ubahnya seperti media sosial lain yang lebih dulu eksis. Terlebih ketika Instagram secara bisnis sudah diakusisi kepemilikannya oleh raksasa media sosial lain, membuat Instagram didesain ulang menjadi sebuah media sosial yang lebih fleksibel dalam penggunaannya, tidak lagi hanya sebatas mempublikasikan foto dan video semata, tapi menjadi media sosial dengan fitur serba ada yang membuat penggunanya seakan memiliki buku harian sendiri. Alhasil, pesan – pesan tentang isi hati pribadi, idealisme agama, ideologi politik, dan pemberitaan suatu kejadian yang disisipkan pesan propaganda menjadi sesuatu yang lebih mudah ditemukan daripada karya fotografi itu sendiri di Instagram terkini. Mungkin karena itulah, kini banyak pengguna Instagram yang dulunya bersikap terbuka dengan membiarkan galerinya bebas diakses siapa saja, kini diubah ke private mode yang membuat penggunanya dapat menerima atau menolak pengguna lain untuk mengikuti galeri Instagram miliknya. Sekali lagi, perubahan Instagram dari sebuah media sosial fotografi sederhana menjadi media sosial umum berskala massal agaknya membuktikan bahwa perkembangan dan kemajuan tidak selalu membawa manusia atau ciptaan mereka sendiri ke arah yang lebih baik. Sudah menjadi hukum alam bahwa kemajuan yang diperoleh manusia dalam satu hal akan memunculkan kemunduran mereka dalam hal yang lain, begitu juga dengan apapun yang diciptakan manusia itu sendiri, dan Instagram bukanlah perkecualian. Sekarang, tampak berkurangnya kebebasan pengguna Instagram akibat kian ramainya ruang Instagram oleh berbagai hal di luar konteks fotografi dan videografi. Kemajuan dan pendewasaan yang dialami oleh Instagram membuatnya menjadi media sosial yang mengurung penggunanya hanya pada diri mereka sendiri atau hal – hal yang mereka inginkan saja, sebagaimana pendewasaan diri seseorang yang membuat dirinya berubah dari seseorang berhati polos dan tulus menjadi seseorang yang hanya memikirkan ambisi pribadinya sendiri. Instagram memang tidak akan abadi menjadi seperti yang disukai penggunanya di awal – awal kehadirannya dulu, tapi dari sebuah media sosial bernama Instagram, pada akhirnya kita akan bisa memahami bahwa idealisme hanya bisa dipertahankan oleh seseorang atau sekelompok kecil yang memiliki ikatan kuat, bukan ketika dimiliki oleh banyak orang dan kemudian menjadi populer. Categories |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |