|
Manusia menyadari eksistensi Tuhan adalah suatu keniscayaan, karena manusia tidak bisa mengingkari bahwa eksistensi dirinya karena suatu zat yang memiliki kekuatan dan kemampuan menciptakan apapun melebihi dirinya. Rasa inferior terhadap kekuatan lain atau marabahaya juga turut menciptakan hasrat untuk mengikuti dan berserah diri kepada Tuhan, dan dari itulah manusia mengembangkan kepercayaan terhadap Tuhan. Pada kenyataannya, manusia tidak pernah memiliki satu sistem kepercayaan yang abadi. Seiring dengan meningkatnya kualitas peradaban, kemajuan teknologi, perang, dan bencana alam yang kemudian menciptakan sejarah peradaban manusia, ada banyak agama atau aliran kepercayaan yang muncul, berkembang, dan ditinggalkan oleh manusia. Seperti halnya arsitektur, karya seni, bahasa, dan tradisi, agama pun menjadi identitas budaya manusia yang eksistensinya bertahan selama masih ada manusia yang memeliharanya Dengan adanya agama sebagai bagian dari budaya manusia, manusia diharapkan dapat hidup selaras dengan alam dan membawa manusia tetap patuh pada Tuhannya. Pada dasarnya, agama atau aliran kepercayaan itu bermaksud baik pada manusia yang mengimaninya, tanpa memandang Tuhan apa yang disembah, intisari kitab sucinya seperti apa, dan siapa yang menjadi nabi atau panutan dari agama tersebut. Asalkan agama tersebut memberikan harapan, rasa aman, menumbuhkan kepatuhan pada Tuhan dengan segala kebaikan dan keagungannya, dan mengajarkan manusia untuk berbaik hati kepada manusia dan alamnya yang beragam, tidak ada yang salah dari sebuah agama atau aliran kepercayaan tersebut. Manusia membutuhkan agama agar mereka memiliki pedoman dan prinsip dalam hidupnya, dan agama pun membutuhkan manusia sebagai umatnya agar tetap eksis di dalam ukiran sejarah peradaban manusia. Namun sayangnya, harapan itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Manusia yang terbagi dalam berbagai keberagaman budaya, kemudian saling bertentangan karena perbedaan sudut pandang dalam meyakini Tuhan. Banyak manusia mengetahui dan mempelajari agama, namun tidak sampai pada tahap esensi agama itu sendiri. Manusia seringkali mengabaikan bahwa agama ada sebagai petunjuk untuk menemukan Tuhan – nya, bukan semata – mata mencari sesuatu yang dijanjikan oleh kitab suci agama tersebut. Dan ironisnya, naluri manusia untuk menjadi lebih maju, lebih makmur, lebih cerdas, dan lebih berkuasa dari manusia lainnya, menjadikan manusia menggunakan agama sebagai alat untuk memperoleh kekuatan itu. Pada akhirnya, agama seperti sebuah ideologi politik, tidak lebih menjadi alat untuk mengendalikan banyak orang agar siapapun yang menggunakannya menjadi pemimpin untuk banyak manusia. Agama bahkan bisa dijadikan sebagai dasar tujuan agar manusia memperoleh kemegahan, sesuatu yang sesungguhnya bertolak belakang dengan dasar ajaran agama itu sendiri. Ketika agama atau aliran kepercayaan sudah berubah fungsinya dari media spiritual manusia untuk menemukan Tuhannya yang seharusnya dijalani dengan segenap kerendahan diri dan hati, muncul suara dan tulisan pemberontakan terhadap penguasa yang menggunakan agama sebagai alat kekuasaannya. Pun, agama itu yang pada awalnya diikuti masyarakat sebagai pedoman hidup, kemudian mulai dipertanyakan kebenarannya oleh mereka yang berpikir kritis atau memilih lebih mengedepankan nalar sehat daripada fanatisme. Sejarah pun membuktikan, bahwa pada fase perkembangan ini, sebuah agama sedang menuju pada keruntuhannya sendiri, atau peradaban manusia yang mengimaninya perlahan bergerak menuju ke suatu fase apa yang disebuth sebagai sekularisasi, yaitu pemisahan antara agama dan kehidupan dalam negara. Dalam kekacauan itu, kemudian muncullah mereka yang menyuarakan bahwa seharusnya manusia kembali pada alam. Alam yang masih jauh dari sentuhan peradaban manusia, adalah bumi pada awal rupanya dan sebagaimana mestinya bumi itu sendiri eksis. Entah hutan, gurun pasir, pegunungan, tepi pantai, laut, sungai, dan apapun rupanya, alam adalah tempat terbaik untuk mengembalikan manusia pada jati dirinya, dan kemanusiaannya itu sendiri. Tanpa sentuhan buatan manusia, alam akan eksis mengikuti siklus sejatinya. Dalam harmoni itu, manusia yang tadinya terjebak dalam kemegahan peradaban dan obsesi untuk menjadi lebih dari manusia yang lain, bisa kembali pada kemanusiaannya kembali. Dan pada saat itulah, manusia sejatinya dapat menemukan kembali Tuhan yang ia lupakan kemarin. Mendekatkan diri kembali pada alam adalah cara terbaik bagi manusia untuk mempertemukan dirinya kembali pada Tuhan, karena hanya dengan keadaan yang kosong dan tanpa hasrat untuk memiliki sesuatu apapun, manusia bisa memusatkan perhatiannya pada Tuhan semata, dengan dikelilingi unsur – unsur alam yang memberinya kehidupan tanpa meminta kembali pada manusia agar alam itu tetap eksis. Mengapa demikian? Karena alam adalah perwujudan Tuhan bagi manusia, yang memberinya kehidupan sekaligus mematikannya. Kita berasal dari alam, dan hanya kepada – Nya lah kita kembali, kembali pada alam. Categories
0 Comments
Leave a Reply. |
Aditya RenaldiKolom tempat saya bercerita, mendongeng, berbagi. Tempat kita saling mengenal dan berkomunikasi. Archives
January 2025
Categories |